Bolehkah Bermigrasi ke Negara Nonmuslim?
Oleh: Nasaruddin Umar
DUNIA Islam banyak yang tercabik-cabik dengan perang saudara.
Akhirnya umat Islam melakukan migrasi besar-besaran ke negeri yang nonmuslim.
Pertanyaan yang sering muncul dari kalangan umat Islam, bolehkah orang-orang
Islam bermigrasi atau hijrah ke negara-negara nonmuslim? Sementara di negeri
nonmuslim banyak sekali menyuguhkan pola kehidupan yang nonmuslim bahkan
berbagai produk dan makanan-munuman yang tidak halal. Selain itu, pengalaman umat
Islam hidup di negeri-negeri nonmuslim menemui banyak problem, khususnya
problem fikih, seperti sulitnya melaksanakan salat Jumat, pengajian, dan akses
pendidikan agama untuk anak-anak. Belum lagi perlakuan yang tidak kondusif
untuk bermuamalah karena sistem perekonomian di sana tidak dirancang secara
syariah, seperti negeri asalnya. Belum lagi kesulitan untuk mengawinkan anak
perempuan yang tidak punya wali nasab. Kalau di dalam negara Islam tidak
diragukan lagi pasti ada otoritas ulil amr yang akan berfungsi sebagai wali
hakim. Masalahnya di sana ulil amr dalam arti fikih konvensional di sana tidak
ada. Wali hakim dan saksi perkawinan dalam ilmu fikih harus laki-laki dan
muslim serta persyaratan lengkap lainnya.
Sejauh pemahaman penulis, di dalam Islam tidak ada larangan tegas
bagi seorang muslim untuk bermigrasi ke negara-negara nonmuslim. Yang penting
ada jaminan bagi seorang muslim bisa menjalankan ajaran Islam di sana. Bahkan,
banyak sahabat Nabi lahir di Mekah atau Madinah, tetapi meninggalnya di medan
juang, di negeri nonmuslim, jauh dari negeri yang pernah melahirkannya. Alasan
lainnya, umat Islam di sana berpotensi untuk mengalami reduksi keimanan dan
keyakinan umat. Dasarnya ialah Firman Allah SWT: Hai hamba-hamba-Ku yang
beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja. (QS
Al-‘Ankabut/29:56). Nabi juga pernah memberikan respons terhadap umatnya di
Mekah yang mengalami tekanan dari kaum kafir Quraish dengan mengatakan,
“Sesungguhnya di negeri Habasyah ada seorang raja yang samasekali tidak akan
mendhalimi seorang pun, datanglah ke negeri itu sampai Allah SWT memberikan
jalan keluar dari apa yang kalian alami.” (HR Al-Baihaqi).
Dalam Tafsir Al-Qurthubi dan Tafsir Ibn Katsir mengomentari ayat
di atas dengan bolehnya bermigrasi negeri nonmuslim. Namun, jika negara tempat
tujuannya negara nonmuslim tidak ada jaminan keamanan, Ibn Hazm memberi
komentar di dalam kitabnya, Al-Muhalla bi al-Atsar, jilid 12, halaman 125,
seorang muslim boleh bermigrasi ke negeri nonmuslim jika di dalam negerinya
mendapati ancaman, baik dari tekanan pemerintah maupun tekanan krisis ekonomi
yang mengancam hidup mereka. Kebolehan ini dengan catatan sepanjang negeri
nonmuslim tempat tujuan migrasi itu ada jaminan keselamatan, keamanan, termasuk
jaminan menjalankan kehidupan dan ajaran agamanya di sana maka hukumnya boleh.
Akan tetapi, jika di sana malah akan menimbulkan kemudaratan, baik secara
personal maupun akidah dan kepercayaan, apalagi ia akan dimanfaatkan untuk
membongkar rahasia negerinya sendiri, hukumnya haram.
Dasar pertimbangan larangan Ibn Hazm di atas bisa dihubungkan
dengan kebijakan Khalifah Umar ibn Khaththab, yang melarang ekstradisi penzina
perempuan ke luar negeri, sebagaimana dilakukan dalam tradisi Nabi dan Abu
Bakr, dengan alasan dunia Islam sudah sedemikian kompleks. Dikhawatirkan jika
pezina itu diekstradisi ke negara lain ia akan dimanfaatkan musuh di sana untuk
membocorkan rahasia umat Islam. Umar kemudian mengganti hukum ekstradisi ini
dengan penjara. Di penjara, selain yang bersangkutan dan negara akan aman, juga
lebih lebih dimungkinkan untuk melakukan pembinaan. Dalam konteks masyarakat
modern seperti sekarang, dunia internasional relatif sudah jauh lebih baik
daripada masa Nabi atau masa sahabat.
Badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mengatur secara khusus nasib dan kehidupan para pengungsi. Dengan demikian, migrasi muslim ke negeri nonmuslim insya Allah sah dan boleh sepanjang tidak menimbulkan madarat bagi yang bersangkutan.
Tisser
Sejauh pemahaman penulis, di dalam Islam tidak ada larangan tegas bagi seorang muslim untuk bermigrasi ke negara-negara nonmuslim. Yang penting ada jaminan bagi seorang muslim bisa menjalankan ajaran Islam di sana. Bahkan, banyak sahabat Nabi lahir di Mekah atau Madinah, tetapi meninggalnya di medan juang, di negeri nonmuslim, jauh dari negeri yang pernah melahirkannya. []
MEDIA INDONESIA, 19 Januari 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar