Senin, 22 Januari 2018

Nasaruddin Umar: Bolehkah Bermigrasi ke Negara Nonmuslim?



Bolehkah Bermigrasi ke Negara Nonmuslim?
Oleh: Nasaruddin Umar

DUNIA Islam banyak yang tercabik-cabik dengan perang saudara. Akhirnya umat Islam melakukan migrasi besar-besaran ke negeri yang nonmuslim. Pertanyaan yang sering muncul dari kalangan umat Islam, bolehkah orang-orang Islam bermigrasi atau hijrah ke negara-negara nonmuslim? Sementara di negeri nonmuslim banyak sekali menyuguhkan pola kehidupan yang nonmuslim bahkan berbagai produk dan makanan-munuman yang tidak halal. Selain itu, pengalaman umat Islam hidup di negeri-negeri nonmuslim menemui banyak problem, khususnya problem fikih, seperti sulitnya melaksanakan salat Jumat, pengajian, dan akses pendidikan agama untuk anak-anak. Belum lagi perlakuan yang tidak kondusif untuk bermuamalah karena sistem perekonomian di sana tidak dirancang secara syariah, seperti negeri asalnya. Belum lagi kesulitan untuk mengawinkan anak perempuan yang tidak punya wali nasab. Kalau di dalam negara Islam tidak diragukan lagi pasti ada otoritas ulil amr yang akan berfungsi sebagai wali hakim. Masalahnya di sana ulil amr dalam arti fikih konvensional di sana tidak ada. Wali hakim dan saksi perkawinan dalam ilmu fikih harus laki-laki dan muslim serta persyaratan lengkap lainnya.

Sejauh pemahaman penulis, di dalam Islam tidak ada larangan tegas bagi seorang muslim untuk bermigrasi ke negara-negara nonmuslim. Yang penting ada jaminan bagi seorang muslim bisa menjalankan ajaran Islam di sana. Bahkan, banyak sahabat Nabi lahir di Mekah atau Madinah, tetapi meninggalnya di medan juang, di negeri nonmuslim, jauh dari negeri yang pernah melahirkannya. Alasan lainnya, umat Islam di sana berpotensi untuk mengalami reduksi keimanan dan keyakinan umat. Dasarnya ialah Firman Allah SWT: Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja. (QS Al-‘Ankabut/29:56). Nabi juga pernah memberikan respons terhadap umatnya di Mekah yang mengalami tekanan dari kaum kafir Quraish dengan mengatakan, “Sesungguhnya di negeri Habasyah ada seorang raja yang samasekali tidak akan mendhalimi seorang pun, datanglah ke negeri itu sampai Allah SWT memberikan jalan keluar dari apa yang kalian alami.” (HR Al-Baihaqi).

Dalam Tafsir Al-Qurthubi dan Tafsir Ibn Katsir mengomentari ayat di atas dengan bolehnya bermigrasi negeri nonmuslim. Namun, jika negara tempat tujuannya negara nonmuslim tidak ada jaminan keamanan, Ibn Hazm memberi komentar di dalam kitabnya, Al-Muhalla bi al-Atsar, jilid 12, halaman 125, seorang muslim boleh bermigrasi ke negeri nonmuslim jika di dalam negerinya mendapati ancaman, baik dari tekanan pemerintah maupun tekanan krisis ekonomi yang mengancam hidup mereka. Kebolehan ini dengan catatan sepanjang negeri nonmuslim tempat tujuan migrasi itu ada jaminan keselamatan, keamanan, termasuk jaminan menjalankan kehidupan dan ajaran agamanya di sana maka hukumnya boleh. Akan tetapi, jika di sana malah akan menimbulkan kemudaratan, baik secara personal maupun akidah dan kepercayaan, apalagi ia akan dimanfaatkan untuk membongkar rahasia negerinya sendiri, hukumnya haram.

Dasar pertimbangan larangan Ibn Hazm di atas bisa dihubungkan dengan kebijakan Khalifah Umar ibn Khaththab, yang melarang ekstradisi penzina perempuan ke luar negeri, sebagaimana dilakukan dalam tradisi Nabi dan Abu Bakr, dengan alasan dunia Islam sudah sedemikian kompleks. Dikhawatirkan jika pezina itu diekstradisi ke negara lain ia akan dimanfaatkan musuh di sana untuk membocorkan rahasia umat Islam. Umar kemudian mengganti hukum ekstradisi ini dengan penjara. Di penjara, selain yang bersangkutan dan negara akan aman, juga lebih lebih dimungkinkan untuk melakukan pembinaan. Dalam konteks masyarakat modern seperti sekarang, dunia internasional relatif sudah jauh lebih baik daripada masa Nabi atau masa sahabat.

Badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mengatur secara khusus nasib dan kehidupan para pengungsi. Dengan demikian, migrasi muslim ke negeri nonmuslim insya Allah sah dan boleh sepanjang tidak menimbulkan madarat bagi yang bersangkutan.

Tisser

Sejauh pemahaman penulis, di dalam Islam tidak ada larangan tegas bagi seorang muslim untuk bermigrasi ke negara-negara nonmuslim. Yang penting ada jaminan bagi seorang muslim bisa menjalankan ajaran Islam di sana. Bahkan, banyak sahabat Nabi lahir di Mekah atau Madinah, tetapi meninggalnya di medan juang, di negeri nonmuslim, jauh dari negeri yang pernah melahirkannya. []

MEDIA INDONESIA, 19 Januari 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar