Empat Macam Air dan
Hukumnya untuk Bersuci
Di dalam fiqih Islam air menjadi sesuatu yang
penting sebagai sarana utama dalam bersuci, baik bersuci dari hadas maupun dari
najis. Dengannya seorang Muslim bisa melaksanakan berbagai ibadah secara sah
karena telah bersih dari hadas dan najis yang dihasilkan dengan menggunakan
air.
Mengingat begitu pentingnya air dalam
beribadah fiqih Islam mengatur sedemikian rupa perihal air, dari membaginya
dalam berbagai macam kategori hingga menentukan hukum-hukumnya.
Di dalam madzhab Imam Syafi’i para ulama
membagi air menjadi 4 (empat) kategori masing-masing beserta hukum
penggunaannya dalam bersuci. Keempat kategori itu adalah air suci dan
menyucikan, air musyammas, air suci namun tidak menyucikan, dan air
mutanajis.
Sebelum membahas lebih jauh perihal pembagian
air tersebut akan lebih baik bila diketahui terlebih dahulu perihal ukuran
volume air yang biasa disebut di dalam kajian fiqih.
Di dalam kajian fiqih air yang volumenya
tidak mencapai dua qullah disebut dengan air sedikit. Sedangkan air yang
volumenya mencapai dua qullah atau lebih disebut air banyak.
Lalu apa batasan volume air bisa dianggap
mencapai dua qullah atau tidak? Para ulama madzhab Syafi’i menyatakan
bahwa air dianggap banyak atau mencapai dua qullah apabila volumenya
mencapai kurang lebih 192,857 kg. Bila melihat wadahnya volume air dua qullah
adalah bila air memenuhi wadah dengan ukuran lebar, panjang dan dalam
masing-masing satu dzira’ atau kurang lebih 60 cm (lihat Dr. Musthofa Al-Khin
dkk, Al-Fiqh Al-Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013), jil. 1, hal.
34).
Air Suci dan Menyucikan
Air suci dan menyucikan artinya dzat air
tersebut suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Air ini oleh para ulama fiqih
disebut dengan air mutlak. Menurut Ibnu Qasim Al-Ghazi ada 7 (tujuh) macam air
yang termasuk dalam kategori ini. Beliau mengatakan:
المياه
التي يجوز التطهير بها سبع مياه: ماء السماء, وماء البحر, وماء النهر, وماء البئر,
وماء العين, وماء الثلج, وماء البرد
“Air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh
macam, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air
es atau salju, dan air embun.“
Ketujuh macam air itu disebut sebagai air
mutlak selama masih pada sifat asli penciptaannya. Bila sifat asli
penciptaannya berubah maka ia tak lagi disebut air mutlak dan hukum
penggunaannya pun berubah. Hanya saja perubahan air bisa tidak menghilangkan
kemutlakannya apabila perubahan itu terjadi karena air tersebut diam pada waktu
yang lama, karena tercampur sesuatu yang tidak bisa dihindarkan seperti
lempung, debu, dan lumut, atau karena pengaruh tempatnya seperti air yang
berada di daerah yang mengandung banyak belerang (lihat Dr. Musthofa Al-Khin
dkk, Al-Fiqh Al-Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013), jil. 1, hal.
34).
Secara ringkas air mutlak adalah air yang
turun dari langit atau yang bersumber dari bumi dengan sifat asli
penciptaannya.
Air Musyammas
Air musyammas adalah air yang
dipanaskan di bawah terik sinar matahari dengan menggunakan wadah yang terbuat
dari logam selain emas dan perak, seperti besi atau tembaga.
Air ini hukumnya suci dan menyucikan, hanya
saja makruh bila dipakai untuk bersuci. Secara umum air ini juga makruh
digunakan bila pada anggota badan manusia atau hewan yang bisa terkena kusta
seperti kuda, namun tak mengapa bila dipakai untuk mencuci pakaian atau
lainnya. Meski demikian air ini tidak lagi makruh dipakai bersuci apabila telah
dingin kembali.
Air Suci Namun Tidak Menyucikan
Air ini dzatnya suci namun tidak bisa dipakai
untuk bersuci, baik untuk bersuci dari hadas maupun dari najis.
Ada dua macam air yang suci namun tidak bisa
digunakan untuk bersuci, yakni air musta’mal dan air mutaghayar.
Air musta’mal adalah air yang telah digunakan
untuk bersuci baik untuk menghilangkan hadas seperti wudlu dan mandi ataupun
untuk menghilangkan najis bila air tersebut tidak berubah dan tidak bertambah
volumenya setelah terpisah dari air yang terserap oleh barang yang dibasuh.
Air musta’mal ini tidak bisa digunakan untuk
bersuci apabila tidak mencapai dua qullah. Sedangkan bila volume air
tersebut mencapai dua qullah maka tidak disebut sebagai air musta’mal
dan bisa digunakan untuk bersuci.
Sebagai contoh kasus bila di sebuah masjid
terdapat sebuah bak air dengan ukuran 2 x 2 meter persegi umpamanya, dan bak
itu penuh dengan air, lalu setiap orang berwudlu dengan langsung memasukkan
anggota badannya ke dalam air di bak tersebut, bukan dengan menciduknya, maka
air yang masih berada di bak tersebut masih dihukumi suci dan menyucikan. Namun
bila volume airnya kurang dari dua qullah, meskipun ukuran bak airnya
cukup besar, maka air tersebut menjadi musta’mal dan tidak bisa dipakai untuk
bersuci. Hanya saja dzat air tersebut masih dihukumi suci sehingga masih bisa
digunakan untuk keperluan lain selain menghilangkan hadas dan najis.
Juga perlu diketahui bahwa air yang menjadi
musta’mal adalah air yang dipakai untuk bersuci yang wajib hukumnya. Sebagai
contoh air yang dipakai untuk berwudlu bukan dalam rangka menghilangkan hadas
kecil, tapi hanya untuk memperbarui wudlu (tajdidul wudlu) tidak menjadi
musta’mal. Sebab orang yang memperbarui wudlu sesungguhnya tidak wajib berwudlu
ketika hendak shalat karena pada dasarnya ia masih dalam keadaan suci tidak
berhadas.
Sebagai contoh pula, air yang dipakai untuk
basuhan pertama pada anggota badan saat berwudlu menjadi musta’mal karena
basuhan pertama hukumnya wajib. Sedangkan air yang dipakai untuk basuhan kedua
dan ketiga tidak menjadi musta’mal karena basuhan kedua dan ketiga hukumnya
sunah.
Adapun air mutaghayar adalah air yang
mengalami perubahan salah satu sifatnya disebabkan tercampur dengan barang suci
yang lain dengan perubahan yang menghilangkan kemutlakan nama air tersebut.
Sebagai contoh air mata air yang masih asli ia disebut air mutlak dengan nama
air mata air. Ketika air ini dicampur dengan teh sehingga terjadi perubahan
pada sifat-sifatnya maka orang akan mengatakan air itu sebagai air teh.
Perubahan nama inilah yang menjadikan air mata air kehilangan kemutlakannya.
Contoh lainnya, air hujan yang dimasak tetap
pada kemutlakannya sebagai air hujan. Ketika ia dicampur dengan susu sehingga
terjadi perubahan pada sifat-sifatnya maka air hujan itu kehilangan
kemutlakannya dengan berubah nama menjadi air susu.
Air yang demikian itu tetap suci dzatnya
namun tidak bisa dipakai untuk bersuci.
Lalu bagaimana dengan air mineral kemasan?
Air mineral dalam kemasan itu masih tetap
pada kemutlakannya karena tidak ada pencampuran barang suci yang menjadikannya
mengalami perubahan pada sifat-sifatnya. Adapun penamaannya dengan berbagai
macam nama itu hanyalah nama merek dagang yang tidak berpengaruh pada
kemutlakan airnya.
Air Mutanajis
Air mutanajis adalah air yang terkena
barang najis yang volumenya kurang dari dua qullah atau volumenya
mencapai dua qullah atau lebih namun berubah salah satu sifatnya—warna,
bau, atau rasa—karena terkena najis tersebut.
Air sedikit apabila terkena najis maka secara
otomatis air tersebut menjadi mutanajis meskipun tidak ada sifatnya yang
berubah.
Sedangkan air banyak bila terkena najis tidak
menjadi mutanajis bila ia tetap pada kemutlakannya, tidak ada sifat yang
berubah. Adapun bila karena terkena najis ada satu atau lebih sifatnya yang
berubah maka air banyak tersebut menjadi air mutanajis.
Air mutanajis ini tidak bisa digunakan
untuk bersuci, karena dzatnya air itu sendiri tidak suci sehingga tidak bisa
dipakai untuk menyucikan.Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar