Rabu, 24 Januari 2018

(Hikmah of the Day) Umar bin Abdul Aziz dan Tradisi Caci Maki di Mimbar Khutbah



Umar bin Abdul Aziz dan Tradisi Caci Maki di Mimbar Khutbah

Aktivitas politik yang melibatkan agama sebagai alat bukan monopoli masyarakat modern. Dalam sejarah umat Islam, konflik politik salah satunya kita jumpai ketika Muawiyah bin Abi Sufyan menolak kekhalifahan Sayyidina Ali, yang berakibat pada meletusnya perang Shiffin, peristiwa tahkim (arbitrase) yang diwarnai tipu muslihat, lalu berlanjut dengan usaha penyingkiran faksi yang tak sehaluan.

Perseteruan dua orang top itu pada akhirnya menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Gejala permusuhan dan saling serang terjadi antara pihak yang pro dan kontra. Ruang publik, termasuk tempat ibadah, pun disesaki oleh ujaran kebencian dan upaya saling menjatuhkan kepada kelompok yang berseberangan.

Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, wacana kebencian terhadap Sayyidina Ali direproduksi melalui mimbar-mimbar khutbah Jumat. Sudah menjadi kebiasaan para khatib kala itu menutup khutbah dengan mencaci maki menantu dan sepupu Rasulullah itu. Gerakan ini cukup efektif mengubur peluang Ali dan keturunannya untuk berkuasa.

Namun demikian, hawa politik berubah ketika kekhalifahan Bani Umayyah dipimpin Umar bin Abdul Aziz. Budaya caci maki di mimbar khutbah rupanya membuat panas telinga pemimpin yang berjuluk Umar II ini. Jumat adalah sayyidul ayyâm, hari agung, bagi umat Islam. Sembahyang Jumat adalah momen konsolidasi karena pada waktu itu umat sedang berkumpul. Sebab ini pula pesan ketakwaan pantas menjadi salah satu rukun khutbah. Lantas, bagaimana bisa podium di hari yang spesial itu menjadi wahana saling menghujat dan “memukul” sesama anak negeri, bahkan sesama umat Islam?

Muhammad bin Ahmad ad-Dasuqi dalam kitab Hasyiyah ad-Dâsuq ‘alasy Syarhil Kabîr bercerita, pada saat-saat yang menggelisahkan itu Umar bin Abdul Aziz membuat sebuah terobosan. Ia adalah orang yang pertama kali membaca Surat an-Nahl ayat 90 sebagai penutup khutbah yang sebelumnya diisi dengan kata-kata kasar. Ayat tersebut cukup akrab di telinga:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: “Allah memerintahkan berbuat adil, berbuat kebajikan, bermurah hati kepada kerabat dan Ia melarang melakukan perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Ia mengajarkanmu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Umar bin Abdul Aziz dengan demikian telah membuat langkah cerdas dan arif. Ia membuat tradisi baru dengan muatan pesan yang sangat substansial dan universal. Ayat ini masih terdengar sampai sekarang di mayoritas mimbar khutbah Jumat di berbagai belahan dunia.

Inovasi yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz secara tersirat mengungkapkan kekhawatiran terhadap umat Islam yang tengah diliputi api kebencian. Kebencian bisa menggelapkan hati orang lalu berbuat tidak adil. Ditambah nafsu politik, sikap macam ini sering kali menjerumuskan orang untuk mereduksi agama sekadar sebagai alat, lalu mengabaikan substansi beragama itu sendiri. []

(Mahbib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar