Kamis, 25 Januari 2018

(Ngaji of the Day) Pedoman Wirid (Amalan) tanpa Petunjuk Guru (Mursyid) bagi Ibnu Athaillah



AL-HIKAM
Pedoman Wirid (Amalan) tanpa Petunjuk Guru (Mursyid) bagi Ibnu Athaillah

Wirid adalah nama lain dari ibadah kepada Allah. Setiap orang memiliki wirid yang berbeda. Ada orang yang menjadikan shalat malam sebagai wiridnya. Sebagian lain menjadikan tadarus Al-Quran sebagai wiridnya. Walhasil segenap bentuk ibadah dapat menjadi wirid, yaitu sedekah, puasa, tafakkur, ta’lim, zikir, dan pelbagai aktivitas lain yang diniatkan ibadah.

Kita tidak perlu heran dengan perbedaan jenis wirid orang lain. Kita juga tidak perlu mempengaruhi apalagi merendahkan wirid orang lain. Perbedaan ini menunjukkan keragaman yang Allah SWT kehendaki sebagaimana disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut ini.

تنوعت أجناس الأعمال بتنوع واردات الأحوال

Artinya, “Jenis amalan tiap orang bermacam-macam seiring perbedaan inspirasi pada keadaan.”

Kita perlu sekali menjaga adab terhadap wirid orang lain. Untuk sebagian orang, wirid ditentukan oleh guru mereka. Di sini kita harus menghargai wirid orang lain. Tetapi untuk sebagian orang, wirid ditentukan oleh suasana batin yang bersangkutan. Kita juga perlu menghargai wirid mereka yang didasarkan pada suasana batinnya sebagai dijelaskan Syekh Syarqawi berikut ini.

تنوعت أجناس الأعمال) على العاملين (بتنوع واردات الأحوال) أى الواردات التى تنتج أحوالا قائمة بقلوبهم تقتضى ميلهم إلى تلك الأعمال، أو واردات قد يسمى حالا كما سيأتى يعنى أن بعض المريدين تجده مشتغلا بالصلاة وبعضهم بالصيام وهكذا، وسبب ذلك وارد إلهى اقتضى ميل هذا إلى كذا وهذا إلى كذا. وينبغى لكل أحد أن يعمل بمقتضى ميله المذكور إن لم يكن تحت تربية شيخ، وإلا فلا يشتغل بشىء إلا بإذنه وإرادته

Artinya, “(Jenis amalan tiap orang) hamba-hamba Allah yang beramal (bermacam-macam seiring perbedaan inspirasi pada keadaan), yaitu inspirasi yang menghasilkan suasana-suasana tertentu di hati mereka yang menuntut kecenderungan mereka pada sebuah amalan atau wirid tertentu. Inspirasi itu kadang disebut juga keadaan sebagai nanti diterangkan, yaitu di mana kau menemukan sebagian murid menyibukkan diri dengan shalat sebagai wiridnya, sebagian lain sibuk mengamalkan puasa sebagai wiridnya, dan seterusnya. Sebab dari semua itu adalah perbedaan inspirasi ilahi kepada mereka yang menuntut kecenderungan si fulan untuk wirid ini, si fulan untuk wirid itu, dan seterusnya. Jika tidak dalam bimbingan salah seorang mursyid, seseorang seyogianya mengamalkan sebuah wirid tertentu sesuai kecenderungan inspirasinya. Tetapi mereka yang berada di bawah bimbingan seorang mursyid tidak boleh mengamalkan wirid tertentu tanpa izin dan kehendak mursyidnya,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa keterangan tahun, halaman 11).

Sementara Syekh Ahmad Zarruq menangkap dua pengertian berbeda soal hikmah ini. Pengertian pertama adalah pengertian seperti dijelaskan di atas, yaitu jenis wirid seseorang diinspirasi oleh suasana batinnya. Sedangkan untuk pengertian kedua, wirid seseorang harus sesuai dengan tuntutan riil lapangan, yaitu kondisi sulit menuntut seseorang untuk bersabar dan kondisi lapang menuntut orang bersyukur.

قلت: التنوع التلون، والأعمال عبارة عن الحركات الجسمانية، والأحوال عبارة عن الحركات القلبية فحركات الأجسام تبع لأحوال القلوب. وإذا كانت كذلك فينبغى ألاَّ تبالى بفقد الفرع لوجود أصله عند تعذر الفرع، هذا مقتضى ما فى التنبيه...والذى أفهمه أن الأعمال عبارة عن الحركات الجسمانية والقلبية، والأحوال عبارة عن التقلبات الوجودية كالغنى والفقر، والعز والذل، والعافية والبلية..إلى غير ذلك مما ترتب عليه الأحكام فتختلف باختلافه فلكل حال عمل يخصه ويختص به فيكون عوضا عن مقابله فما فات مثلا فى الشكر على العافية استدرك بالصبر على البلية وبالعكس، وما نقص من الأعمال البدنية تحصل بالأعمال القلبية...ولما خير النبى صلى الله عليه وسلم بين أن يكون نبيا ملكا أو نبيا عبدا  قال: يا رب أجوع يوما وأشبع يوما، فاذا جعت تضرعت إليك، وإذا شبعت حمدتك وشكرتك، فلم يؤثر واحدا منهما على الآخر بل نظر إلى العبودية فى الجميع لأنها المقصود وبالله التوفيق.

Artinya, “Buat saya, pengertian ‘bermacam-macam’ itu berwarna-warni. ‘Amalan’ sendiri merupakan ungkapan atas gerakan fisik. ‘Keadaan’ adalah ungkapan atas gerakan batin sehingga gerakan fisik seseorang mengikuti suasana batinnya. Kalau memang demikian, seseorang tidak perlu fokus pada ketiadaan wirid ketika wirid uzur untuk dilakukan karena sudah ada suasana batinnya. Ini yang dituntut dalam Kitab Tanbih…

Yang saya pribadi pahami bahwa kata ‘amalan’ merujuk pada gerakan fisik dan batin. Sedangkan ‘keadaan’ merupakan ungkapan dari perubahan riil, yaitu kaya-fakir, mulia-hina, sejahtera-bala, dan seterusnya yang berdampak padanya sebuah hukum sehingga amalan tiap-tiap orang berlainan karena perbedaan tuntutan riil terkait dirinya. Setiap keadaan riil menuntut amalan tersendiri dan orang tertentu secara khusus sehingga keadaan itu saling menggantikan. Keluputan keadaan riil yang menuntut amalan syukur atas sejahtera, akan disusul dengan keadaan riil yang menuntut sabar atas sebuah bala, dan seterusnya. Kekurangan dalam amalan fisik dapat disempurnakan dengan amalan batin... Ketika ditawarkan pilihan pangkat nabi yang raja atau nabi yang rakyat jelata, Rasulullah SAW menjawab, ‘Tuhanku, hamba memilih lapar sehari dan kenyang di hari sesudahnya agar saat lapar hamba merendakan diri di hadapan Paduka dan saat kenyang hamba dapat memuji dan bersyukur kepada Paduka.’ Di sini Rasulullah SAW tidak mengutamakan salah satu keadaan dibanding lainnya, tetapi memerhatikan penghambaan kepada Allah pada segala keadaan karena penghambaan inilah yang menjadi tujuan hidup. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita. Amiiin,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 23).

Penjelasan Syekh Zarruq ini sejalan dengan firman Allah pada Surat Ad-Dzariyat berikut ini.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya, “Tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku,” (Surat Ad-Dzariyat ayat 56).

Dengan penjelasan itu, Syekh Zarruq ingin mengatakan bahwa kondisi riil setiap orang bersifat khusus dan menuntut amal yang khusus pula sehingga dalam kondisi apapun setiap orang tetap menjaga penghambaan kepada Allah dalam bentuk ibadah yang terus berubah seiring perubahan kondisi. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar