Mbah Ngis Dilabrak
Perempuan Tak Sabaran
Suatu hari, Mbah
Ngismatun Sakdullah Solo (wafat 1994) – biasa dipanggil Mbah Ngis -
kedatangan tamu sepasang suami istri. Sang suami adalah kawan Mbah Dullah
sesama makelar. Bagi Mbah Ngis, sang suami tidaklah asing. Ia memang sering
datang ke rumah Mbah Ngis untuk menjemput atau mengantar pulang Mbah Dullah.
Sedangkan sang istri baru dikenal Mbah Ngis saat itu.
Kedatangan tamu
pasutri itu ke rumah Mbah Ngis sebenarnya terkait dengan cekcok diantara
mereka. Sebelumnya mereka bertengkar di rumah karena sang suami sering pulang
dari makelaran dengan tangan hampa. Sementara istrinya sangat membutuhkan uang
untuk mencukupi banyak kebutuhan keluarga.
Dalam pertengkaran
itu, sang suami mencoba menasehati agar sang istri bisa meniru Mbah Ngis dalam
hal kesabaran dan keramahan terhadap suami.
“Sabar…sabar…,” kata
sang suami.
“Sabar gimana?!
Kebutuhan tak bisa dicukupi hanya dengan bersabar. Mana uang?” Pinta sang
istri.
“Belum ada uang.
Rezeki belum berjodoh.”
“Kalau begini terus
gak kuat aku,” jawab sang istri.
“Mestinya kamu bisa
meniru istri kawanku, Bu Ngis, istri Pak Dullah. Ia sabar dan tak pernah
membentak-bentak suami.”
“Mana ada istri sabar
terus ketika suami pulang tak bawa uang?” Tanyanya pada sang suami.
“Ada saja. Ya Bu Ngis
itu. Kalau gak percaya tak tunjukkan orangnya.”
Pasutri itu kemudian
datang ke rumah Mbah Ngis. Sang istri ingin membuktikan kebenaran cerita sang
suami tentang Mbah Ngis. Sang istri akhirnya bertemu dengan Mbah Ngis.
Mereka berkenalan.
Tak lama setelah itu sang istri menanyakan kepada Mbah Ngis tentang kebenaran
cerita suaminya. Mbah Ngis mempersilakan Mbah Dullah menjawab masalah itu. Mbah
Dullah membenarkan semua cerita tentang Mbah Ngis.
Tak puas dengan
jawaban Mbah Dullah, sang istri meminta Mbah Ngis untuk menjawabnya sendiri.
Mbah Ngis pun membenarkan apa yang diceritakan Mbah Dullah tentang
dirinya.
Entah setan mana yang
merasuki sang istri, ia membentak-bentak Mbak Ngis. Ia mengatakan bahwa seorang
istri harus tegas terhadap suami. Jika tak ada uang, suami tak usah dilayani.
Ia menyalahkan Mbah Ngis sebagai seorang istri yang bodoh.
Menanggapi kemarahan
dan hujatan seperti itu, Mbah Ngis tak banyak berkomentar. Mbah Ngis hanya
mengatakan bahwa sikapnya pada Mbah Dullah sudah benar. Mbah Ngis menjelaskan
rezeki keluarga bisa melalui pintu mana saja dan tidak harus atau melulu lewat
suami. Mbah Ngis mencontohkan bahwa rezeki yang diterimanya dengan berjualan
makanan kecil-kecilan di pondok bisa jadi tertuju kepada Mbah Dullah d/a
Mbah Ngis.
Mendengar jawaban
itu, sang istri mengatakan penjelasan Mbah Ngis sulit diterima akal. Ia meminta
diri dan menarik pundak sang suami dengan kasar untuk mengajaknya segera
pulang. Memang butuh waktu untuk memahami dan meyakini sesuatu yang
transendental karena diperlukan juga ketajaman dan kejernihan mata batin.
[]\
Muhammad Ishom, dosen
Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar