KHOTBAH JUM'AT
Larangan Ekstremisme dalam Islam
Khutbah I
الحَمْدُ
لِلهِ، الحَمْدُ لِله الَّذِيْ شَرَعَ عَلَيْنَا الجِهَادَ، وَحَرَّمَ عَلَيْناَ
الفَسَادَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
شهادَةَ أدَخَرَهَا لِيَوْمِ المِعَاد، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدنا مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللهمّ
صَلّ وسّلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ
هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ. فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي
كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا
جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ
الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً
إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ
إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Secara ajaran Islam menolak ekstremisme.
Meskipun dalam realitas sejarah ada penganutnya yang berperilaku ekstrem dengan
mengatasnamakan agama. Fakta ini bukan monopoli Islam. Hampir semua agama
memiliki kasus bahwa ada sebagian umatnya yang sangat fanatik, berpikiran
picik, lalu nekad melakukan tindakan melampaui batas yang berseberangan dengan
nurani dan ajaran luhur agama. Idealitas ajaran memang satu hal, sementara
kenyataan sejarah adalah hal lainnya.
Dalam khazanah Islam, ulasan tentang
ekstremisme didapati dalam sejumlah istilah seperti ghuluw, tatharruf,
atau lainnya. Secara bahasa kedua istilah itu memiliki arti yang mirip, yakni
sikap berlebihan, melampaui batas, keterlaluan, ekstrem.
Rasulullah sendiri empat belas abad lalu
mewanti-wanti umatnya agar menjauh dari sikap ghuluw.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِيَاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ ؛ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ
Artinya: “Wahai manusia, jauhilah
berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang
sebelum kalian adalah berlebih-lebihan dalam agama.” (HR Ibnu Majah)
Hadits ini memberi peringatan bahwa ghuluw
punya fungsi penghancur bila dilakukan. Hal tersebut sebagaimana terjadi
pada umat-umat terdahulu. Selain mengajak untuk belajar pada sejarah, yang
menarik Nabi menggunakan redaksi “yâ ayyuhan nâs” yang berarti “wahai
umat manusia”, bukan “yâ ayyuhal ladzîna âmanû” (wahai orang-orang
beriman). Kenyataan ini menunjukkan bahwa bahaya sikap berlebih-lebihan
bersifat universal, mencakup semua orang di berbagai belahan dunia, apa pun
latar belakang agama dan keyakinannya.
Dalam kalimat yang agak berbeda, Rasulullah
juga bersabda:
هَلَكَ
المُتَنَطِّعُوْنَ
Artinya: “Pasti akan binasa orang-orang yang
berlebih-lebihan dalam agama.” (HR Muslim)
Menurut Imam Nawawi, al-mutanaththi‘ûn berarti
orang-orang yang memperdalam dan berlebih-lebihan terhadap sesuatu yang
melampaui batas, baik perkataan-perkataan maupun perbuatan mereka. Ia
menjelaskan demikian ketika memberi syarah (penjelasan) kitab Shahih Muslim.
Jamaah sidang Jumat rahimakuullah,
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa suatu hari
ada sekelompok orang yang mengatakan “Aku tidak menikah”; sebagian lain berkata
“Aku shalat terus-menerus dan tidak tidur”; sebagian lagi bilang “Aku puasa dan
tidak berbuka”. Ketika informasi itu sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau pun bersabda:
مَا
بَالُ أَقْوَامٌ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ
وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ
مِنِّي
“Bagaimanakah bisa orang-orang tersebut
mengatakan demikian dan demikian? Padahal aku berpuasa dan berbuka, shalat dan
tidur, dan aku pun menikah. Barangsiapa yang membenci syariatku, dia bukanlah
bagian dari golonganku.”
Para sahabat Nabi berkata begitu karena ingin
menunjukkan betapa seriusnya mereka dalam beribadah hingga mengabaikan
kepentingan fisik mereka. Mereka rela melawan rasa kantuk, lapar, dan keinginan
menikah, lantaran sibuk dengan ritual ibadah. Namun, Rasulullah yang mendengar
kabar itu justru menampik anggapan positif dari pernyataan mereka. Nabi justru
membandingkan tindakan mereka dengan diri beliau sendiri sebagai pengemban
risalah suci, perantara turunnya syariat dari Allah. Ternyata Rasulullah tak
seekstrem itu dalam menjalankan agama.
Rasulullah sebetulnya hendak mengingatkan
tentang adanya batasan-batasan, termasuk dalam menjalan kebaikan sekalipun.
Jangan sampai ibadah melampaui kewajaran sebagai manusia yang mempunyai
keterbatasan-keterbatasan fisik dan kebutuhan-kebutuhan jasmani yang wajib
diperhatikan. Tidak ada yang lebih giat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan
Islam kecuali Rasulullah, namun faktanya beliau menjalankan aktivitas
sehari-sehari sewajarnya manusia pada umumnya. Beliau sangat total dalam
menjalankan syariat tapi sekaligus sangat bertanggung jawab atas kebutuhan
fisik yang menjadi sarana ibadha itu sendiri.
Jamaah sidang Jumat rahimakumullah,
Sikap ghuluw tidak hanya terjadi pada
kasus ibadah fisik seperti shalat atau puasa, tapi juga bisa terjadi pada
ideologi atau keyakinan. Orang yang berlebihan dalam hal keyakinan umumnya akan
menganggap siapa pun di luar dirinya sebagai “orang sesat”. Mereka eksklusif
atas kemungkinan kebenaran dari pihak lain, mengingkari keragaman pendapat, dan
cenderung memaksakan kehendak untuk mewujudkan pemahaman dan tafsirnya ke dunia
nyata.
Pemikiran yang ekstrem inilah yang menjadi
salah satu cikal bakal tindakan ekstrem. Mereka memandang dunia “serba gelap”
karena tidak sesuai dengan pemahamannya. Mereka meyakini bahwa kehidupan
melenceng dari kebenaran agama dan harus diluruskan. Mereka tidak bisa
membedakan antara kebenaran agama dan tafsir mereka atas kebenaran itu. Tidak
semua yang berbeda dengan tafsir seseorang berarti berseberangan dari ajaran
agama. Kebenaran Islam bersifat mutlak, tapi pemahaman pemeluknya atas
kebenaran itu selalu bersifat relatif. Manusia hanya bisa berikhtiar mencapai
yang terdekat dengan kebenaran.
Itulah sebabnya Islam melarang umatnya
gampang menghakimi sesat orang lain, mudah memvonis kafir orang lain, dan
gampang menyalah-nyalahkan, terlebih kepada saudara seiman dan seagama. Hal
demikian berangkat dari kesadaran bahwa hanya Allah yang memiliki kewenangan
untuk menilai juga memberikan balasan atas perilaku seseorang.
Pemutlakan pendapat biasanya juga tidak hanya
berhenti di level individu, melainkan pula hingga level kelompok. Inilah yang
kemudian melahirkan fanatisme golongan. Kondisi mirip dialami oleh suku-suku
zaman jahiliyah yang sarat kepentingan karena masing-masing menganggap
kelompoknyalah yang paling unggul, istimewa, dan benar. Literatur Islam
menyebutnya ‘ashabiyyah. Ibnu Mandzur dalam Lisânul ‘Arab
mengartikan ‘ashabiyah (fanatisme) sebagai sikap seseorang yang dalam
mengajak orang lain untuk memenangkan kerabatnya, bergabung bersama mereka
dalam menghadapi orang-orang yang menentang, (tak peduli) baik saat mereka yang
berbuat zalim ataupun mereka yang dizalimi.
Fanatsime merupakan ekstremitas yang berada
pada level yang lebih dalam, yakni mencakup keyakinan sekaligus perbuatan. Ini
tentu berbahaya karena mengandaikan perbuatannya tak pernah salah karena sudah
merasa dilandasi oleh pemikiran “yang benar”. Para pengidap penyakit ini rentan
dibutakan oleh kebenaran semu sehingga tidak lagi jelas apakah ia sedang
dizalimi atau justru mezalimi orang lain. Benih-benih aksi kekerasan,
terorisme, atau penghalalan darah orang lain biasanya muncul dari pola
keberagamaan semacam ini. Misi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan
lil ‘alamin) pun direduksi menjadi sekadar memenuhi ambisi dan kepentingan
segelintir golongan saja, tanpa memikirkan tanggung jawab terhadap kepentingan
yang lebih luas.
Dalam dua hadits Rasulullah yang disebutkan
di awal dijelaskan bahwa orang semacam ini tidak hanya halaka (binasa)
tapi juga ahlaka (membinasakan). Artinya, dampak buruknya tidak hanya
ditanggung dirinya sendiri tapi juga menimpa orang lain secara luas. Perilaku
ekstrem menggerogoti harmoni kehidupan masyarakat yang majemuk, merusak
kerukunan, bahkan memicu pertengkaran da pertumpahan darah. Na’udzubillah
min dzalik.
Semoga kita bisa terhindar dari sikap-sikap
dan pemahaman yang demikian dan dibimbing oleh Allah subhanahu wata‘ala tetap
kokoh iman hingga akhir hayat serta istiqamah dalam cara berpikir dan bersikap
yang lurus, adil, dan terbuka, sesuai pesan hadits:
أَحَبُّ
الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْــــــفِيَّةُ السَّـــمْحَةُ
“Agama yang paling dicintai allah adalah
agama yang lurus dan toleran.” (HR Bukhari)
بَارَكَ
الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ
بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا
فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ
وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ
اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ
اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ
اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ
اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ
الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ
وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ
عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى
اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا
وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ
! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ
وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ
نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar