‘Sopir’ Itu Bernama
Kiai Wahab Chasbullah
Tidak ada yang
meragukan kemampuan KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) dalam setiap lini
kehidupan bangsa dan agama. Kiai yang dikenal ahli di bidang Ushul Fiqih ini
menjadi motor penggerak umat Islam Indonesia, terutama kalangan pesantren dalam
menghadapi penjajah bersama Hadlratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dan
kiai-kiai lain.
Dalam pergerakan
nasional, Kiai Wahab berjasa menumbuhkan dan mewariskan sikap nasionalisme
dalam diri bangsa Indonesia hingga saat ini. Madrasah Nahdlatul Wathan yang
dibentuknya sekitar tahun 1916 untuk membentuk generasi muda cinta tanah air
membuahkan warisan manis bagi persatuan bangsa Indonesia berdasar keyakinan
agama para pemeluknya. Sejak dulu, para ulama pesantren menekankan bahwa cinta
tanah air dan menjaga negara adalah kewajiban agama.
Besarnya jasa dan
peran Kiai Wahab Chasbullah dalam membawa setiap pergerakan keagamaan dan
kebangsaan ke arah persatuan dan kedaulatan bangsa membuatnya disebut sebagai
seorang ‘sopir’, pengemudi, pengendali. Meskipun dirinya juga pernah menjadi
sopir beneran ketika membawa para kiai ke sebuah kota di Banyumas, Jawa Tengah.
Riwayat Kiai Wahab
menjadi sopir diceritakan oleh KH Saifuddin Zuhri (Berangkat dari Pesantren,
1984). Peristiwa tersebut terjadi tahun 1932 ketika Saifuddin Zuhri berusia 14
tahun. Ia melihat sebuah mobil merek Chevrolet berisi ulama-ulama besar di
antaranya Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri.
Mobil merek terkemuka
pada zamannya hingga di era sekarang itu datang dari jurusan Cirebon, Jawa
Barat dan singgah di kota kecil kelahiran Saifuddin Zuhri, Sokaraja, Banyumas
untuk melantik berdirinya cabang NU. Kedatangan mobil yang membawa para tokoh
besar NU dan bangsa Indonesia itu membuat antusiasme tinggi masyarakat Banyumas
kala itu karena yang mengemudikannya adalah Kiai Wahab sendiri dengan setelan
sarung dan sorbannya.
Pemandangan tersebut
menggambarkan bahwa Kiai Wahab adalah ‘sopir’, pengemudi NU yang di dalamnya
berkumpul tokoh-tokoh ulama seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Abdullah Faqih,
dan Kiai Bisri Syansuri. Juga ‘sopir’ politik yang mengemudikan kebijaksanaan
politik Partai Masyumi yang di dalamnya duduk para politisi intelektual seperti
Dr Sukiman, Mr. Yusuf Wibisono, Mr. Kasman Singadimedjo, Muhammad Natsir, Mr.
Muhamad Roem, Mr. Syafruddin Prawiranegara, dan lain-lain.
Kiai Wahab telah
memegang kendali politik Partai Masyumi yang semula anti persetujuan Renville
untuk duduk di Kabinet Hatta yang salah satu programnya melaksanakan
Persetujuan Renville. Sebagian besar pimpinan pusat Partai Masyumi kala itu
menolak pinangan Hatta agar ada dari Masyumi yang duduk di kabinetnya. Namun,
Kiai Wahab mampu memberikan pemikiran brilian bahwa justru umat Islam hanya
akan jadi penonton jika tidak ada perwakilan yang duduk dalam pemerintahan.
Dengan diantar oleh
garis politik Kiai Wahab, Partai Masyumi mendukung para tokohnya duduk di dalam
Kabinet Hatta. Mereka terdiri dari Dr Sukiman, Muhammad Natsir, Mr. Syafruddin
Prawiranegara, dan Kiai Masykur. Secara berurutan, masing-masing duduk sebagai
Menteri Dalam Negeri, Menteri Penerangan, Menteri Kemakmuran, dan Menteri
Agama.
Dari ‘sopir’ mobil
para kiai, Kiai Wahab lalu mengemudikan NU yang beranggotakan banyak ulama kala
menjadi Rais Aam menggantikan Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari setelah sebelumnya
juga banyak menginisiasi dan menggerakkan banyak organisasi dan perkumpulan. Kiai
Wahab juga mengemudikan Partai Masyumi yang beranggotakan banyak tokoh-tokoh
politik dan intelektual dengan menjadi pimpinan tertinggi, Ketua Majelis Syuro.
Kedudukan Kiai Wahab tersebut sebagai pengambil keputusan terakhir kebijakan
politik Partai Masyumi. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar