Kamis, 11 Januari 2018

Mahfud MD: Politisasi dan Politik Hukum e-KTP



Politisasi dan Politik Hukum e-KTP
Oleh: Moh Mahfud MD

HAMPIR pasti, salah satu isu yang akan menjadi rangkaian berita penting pada tahun 2018 ini adalah kelanjutan kasus korupsi e-KTP. Kasus e-KTP menarik untuk tetap menjadi berita penting karena tiga hal.

Pertama, berhasilnya KPK menyeret Setya Novanto ke pengadilan tindak pidana korupsi yang proses persidangan dan vonisnya pasti ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Maklumlah, selain dikenal licin menghindar dari berbagai kasus hukum yang diduga melibatkan dirinya, penersangkaan Setya Novanto juga melalui peristiwa-peristiwa dramatis.

Kedua, korupsi e-KTP merupakan salah satu megakorupsi karena  proyek senilai Rp5,7 triliun itu melibatkan puluhan orang yang mengolaborasikan pejabat eksekutif, pejabat legislatif, dan pengusaha. Ada yang menyebut, korupsi e-KTP adalah korupsi berjamaah yang paling besar jamaahnya.

Ketiga, tahun 2018 adalah tahun politik yang mempertemukan berbagai kegiatan politik besar dan masif. Pada 2018 akan ada pilkada serentak yang melibatkan 171 daerah provinsi/kabupaten/kota. Pada 2018 juga akan dimulai proses pendaftaran kontestan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) yang akan dilaksanakan secara serentak pada pertengahan 2019.

Ketiga hal itu menyebabkan timbulnya kerawanan-kerawanan politik yang bisa menyembulkan isu SARA dan upaya pencarian uang untuk kontestasi politik, baik melalui perampokan atas uang rakyat dan negara maupun melalui percukongan yang bisa menyandera para kontestan. Politisasi hukum karena persaingan dalam perebutan posisi politik juga tidak akan terhindarkan dari muara agenda politik 2018 itu.

Kasus e-KTP adalah salah satu isu yang sangat potensial untuk (terus) menjadi objek politisasi hukum. Politisasi hukum tentu berbeda dengan politik hukum. Politik hukum adalah kebijakan resmi (policy) tentang pemberlakuan dan penegakan hukum untuk mencapai tujuan negara dalam tahap dan periode tertentu, sedangkan politisasi hukum adalah upaya menjadikan hukum sebagai alat politik oleh kelompok atau orang tertentu untuk mendapat keuntungan politik dari kasus tertentu.

Wujud dari politisasi hukum itu bermacam-macam. Ada yang berusaha menjadikan suatu peristiwa biasa sebagai kasus hukum yang kemudian diramaikan, ada yang berusaha menutup satu kasus hukum agar tidak terungkap karena bisa merugikan diri atau kelompoknya. Ada yang ingin menjerumuskan seseorang ke dalam satu kasus karena persaingan dan dendam politik, ada yang ingin keluar dari kasus untuk menyelamatkan diri atau ingin mengeluarkan seseorang dari satu kasus demi keuntungan politik tertentu.

Jadi, pada dasarnya politik hukum itu baik, sedangkan politisasi hukum itu jelek. Dalam konteks ini, selain sebagai penegakan politik hukum kasus e-KTP sejak awal sudah terasa sarat dengan politisasi hukum.

Ada yang ingin mengungkapnya karena persaingan politik, ada yang ingin menyembunyikannya juga karena kepentingan politik atau bahkan untuk penyelamatan politik. Ada yang ingin menjerumuskan seseorang agar dinyatakan terlibat, ada yang ingin menyelamatkan seseorang agar dinyatakan tidak terlibat.

Bahkan terkait dengan soal ada atau tidaknya korupsi dalam kasus e-KTP ini juga terjadi pertentangan. Ada yang bilang kasus e-KTP adalah korupsi besar yang nyata, ada yang mengatakan bahwa kasus korupsi e-KTP itu hanyalah rekayasa KPK, tidak ada korupsinya.

Di sanalah terasa ada politisasi hukum. Mana yang benar? KPK-lah yang harus memilah dan memilih agar pelaksanaan politik hukum berlangsung tanpa politisasi hukum.

Kasus e-KTP itu jelas merupakan kasus korupsi besar. Faktanya, ada perusahaan yang menagih uang lagi ke Kemendagri, padahal Kemendagri sudah mengeluarkan seluruh biaya yang ditentukan dalam kontrak. Ada yang mengaku menerima uang haram dari proyek tersebut, ada yang mengembalikan uang “korupsi” ke KPK, dan ada yang sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor secara sah dan meyakinkan sehingga dijatuhi hukuman.

Bahkan Andi Narogong, selain tidak mengajukan eksepsi ketika didakwa, langsung menerima dan tidak menyatakan banding atas hukuman penjara 8 tahun yang dijatuhkan oleh pengadilan. Masa, yang sudah cetho wela-wela seperti itu masih mau dibilang tidak ada korupsinya? Itu sungguh terlalu.
Tetapi, karena kasus e-KTP ini banyak politisasi hukumnya, KPK harus fair dalam memilah dan memilih. Semua koruptornya memang harus dijebloskan ke penjara, tetapi mereka yang hanya dijerumuskan tanpa bukti yang kuat janganlah sampai dihukum.

Ini penting disampaikan kepada KPK karena dari fakta persidangan, selain banyak yang memang koruptor, ada juga yang tidak atau belum jelas bukti dan rangkaian faktanya. Misalnya, ada yang diduga menerima uang melalui si A pada bulan tertentu, padahal pada bulan tersebut si A sudah meninggal dunia.

Ada yang disebut menerima uang, tetapi tidak jelas kapan dan di mananya serta siapa yang menerima dengan atas namanya. Ada juga informasi dari Nazaruddin tentang “permainan” rencana proyek e-KTP pada pertengahan 2010, padahal pada saat itu Nazaruddin sedang menjadi buron KPK untuk akhirnya oleh KPK ditangkap di Cartagena, Kolombia. Itu semua harus clear.

Tanpa bermaksud membela, kita juga mencatat bahwa tudingan keterlibatan terhadap mantan menteri dalam negeri Gamawan Fauzi terasa terlalu kabur. Dugaan bahwa Gamawan ikut berkolusi dan menerima sesuatu sudah dibantah dengan runut dan masuk akal dalam persidangan, baik oleh Gamawan maupun oleh terdakwa.

Dugaan menerima ruko yang diberikan melalui adik Gamawan, misalnya, ternyata tidak ada buktinya. Ruko itu dibeli oleh dua perusahaan yang dimiliki oleh adik Gamawan dan seorang pimpinan parpol yang transaksinya dilakukan secara sah oleh swasta ke swasta dan tak pernah menjadi milik Gamawan sampai sekarang. Sementara pembeli yang satunya, selain adik Gamawan, tidak diperiksa sama sekali.

Kita mendukung sepenuhnya langkah KPK memerangi korupsi dalam kerangka politik hukum, bukan dalam jebakan politisasi hukum. Demi melaksanakan politik hukum KPK harus mengadili semua koruptor e-KTP. Dan demi menghindari politisasi hukum KPK tidak boleh menjadikan orang sebagai tersangka korupsi secara sembarangan. Ayo, KPK terus maju. []

KORAN SINDO, 6 Januari 2018
Moh Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar