Empat Hal yang Membatalkan
Wudhu
Wudhu sebagai sarana untuk mensucikan diri
dari hadats kecil bisa menjadi batal bila terjadi beberapa hal yang dapat membatalkannya.
Orang yang batal wudhunya tentunya ia tidak diperbolehkan melakukan shalat dan
amalan ibadah lain yang menuntut kesucian dari hadats kecil bila akan
melakukannya.
Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam
kitabnya Safinatun Naja—sebagaimana sebagian ulama Syafi’iyah
lainnya—menyebutkan ada empat hal yang dapat membatalkan wudhu sehingga
seseorang berada dalam keadaan berhadats. Keempat hal pembatal wudhu tersebut
berikut penjelasannya adalah:
1. Keluarnya sesuatu dari salah satu dua
jalan (qubul dan dubur) selain sperma.Berdasarkan firman Allah
dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
أَوْ
جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
Artinya: “Atau salah satu dari kalian telah
datang dari kamar mandi”.
Selain sperma, apa pun yang keluar dari
lubang depan (qubul) dan lubang belakang (dubur) baik berupa air kencing atau
kotoran, barang yang suci ataupun najis, kering atau basah, itu semua dapat
membatalkan wudhu. Sedangkan bila yang keluar adalah sperma maka tidak
membatalkan wudhu, hanya saja yang bersangkutan wajib melakukan mandi jinabat.
2. Hilangnya akal karena tidur, gila, atau
lainnya.
فَمَنْ
نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Artinya: “Barangsiapa yang tidur maka
berwudhulah.” (HR. Abu Dawud)
Orang yang tidur, gila, atau pingsan batal
wudhunya karena ia telah kehilangan akalnya.
Hanya saja tidur dengan posisi duduk dengan
menetapkan pantatnya pada tempat duduknya tidak membatalkan wudhu. Posisi tidur
yang tidak membatalkan wudhu tersebut bisa digambarkan; bila Anda tidur dengan
posisi duduk dimana posisi pantat sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan
Anda untuk kentut kecuali dengan mengubah posisi pantat tersebut, maka posisi
tidur dengan duduk seperti itulah yang tidak membatalkan wudhu.
3. Bersentuhan kulit seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang sama-sama telah tumbuh besar dan bukan mahramnya dengan
tanpa penghalang.
Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
Artinya: “atau kalian menyentuh perempuan.”
Tidak batal wudhu seorang laki-laki yang
bersentuhan kulit dengan sesama laki-laki atau seorang perempuan dengan sesama
perempuan. Juga tidak membatalkan wudhu persentuhan kulit seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang menjadi mahromnya. Wudhu juga tidak menjadi batal
bila seorang-laki-laki bersentuhan dengan seorang perempuan namun ada
penghalang seperti kain sehingga kulit keduanya tidak bersentuhan secara
langsung.
Pun tidak batal wudhunya bila seorang
laki-laki yang sudah besar bersentuhan kulit dengan seorang perempuan yang
masih kecil atau sebaliknya. Adapun ukuran seseorang itu masih kecil atau sudah
besar tidak ditentukan oleh umur namun berdasarkan sudah ada atau tidaknya
syahwat secara kebiasaan bagi orang yang normal.
Ada satu pertanyaan yang sering timbul di
masyarakat tentang batal atau tidaknya wudhu sepasang suami istri yang
bersentuhan kulit.
Pertanyaan tersebut dapat dijawab bahwa wudhu
pasangan suami istri tersebut menjadi batal dikarenakan pasangan suami istri
bukanlah mahram. Mengapa demikian? Bahwa seorang perempuan disebut sebagai
mahramnya seorang laki-laki adalah apabila perempuan tersebut tidak
diperbolehkan dinikahi oleh sang laki-laki. Sebaliknya seorang perempuan
disebut bukan mahramnya seorang laki-laki bila ia boleh dinikahi oleh laki-laki
tersebut. Sepasang suami istri adalah jelas dua orang berbeda jenis kelamin
yang boleh menikah. Karena keduanya diperbolehkan menikah maka sang istri
bukanlah mahram bagi sang suami. Karena bukan mahram maka saat kedua bersentuhan
kulit batallah wudhu mereka. Demikian.
4. Menyentuh kelamin atau lubang dubur
manusia dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan atau bagian dalam jari
jemari.
Rasulullah bersabda:
مَنْ
مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Artinya: “Barangsiapa yang memegang
kelaminnya maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)
Wudhu menjadi batal dengan menyentuh kelamin
atau lubang dubur manusia, baik yang disentuh masih hidup ataupun sudah mati,
milik sendiri atau orang lain, anak kecil atau besar, menyentuhnya secara
sengaja atau tidak sengaja, atau kelamin yang disentuh telah terputus.
Hal ini hanya membatalkan wudhunya orang yang
menyentuh dan tidak membatalkan wudhunya orang yang disentuh.
Tidak membatalkan wudhu bila menyentuhnya
dengan menggunakan selain bagian dalam telapak tangan dan bagian dalam
jari-jari, menyentuhnya dengan penghalang semisal kain, atau yang disentuh
adalah kelamin binatang. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar