Jumat, 19 Januari 2018

Buya Syafii: Tahun Politik 2018: Akankah Ada Perbaikan pada Demokrasi?



Tahun Politik 2018: Akankah Ada Perbaikan pada Demokrasi?
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Alangkah berat dan malunya, sebuah bangsa besar di kawasan khatulistiwa gagal membangun sebuah demokrasi yang memberi harapan yang sudah digagas oleh otak-otak besar anak bangsa jauh sebelum Indonesia merdeka.

Sekali lagi, literasi perjalanan bangsa dan negara perlu dibaca ulang dan direnungkan dengan cara yang lebih mendalam, khususnya oleh kelompok elite yang biasa main di panggung politik nasional dan lokal. Tanpa asupan bacaan yang luas, pasti mereka akan gagap dalam berpolitik karena tidak punya tempat berpijak yang kokoh di kedalaman lautan sejarah bangsa.

Menurut KPU Pusat, biaya untuk pesta ini dipatok Rp 11,4 triliun, tetapi pada saatnya nanti pasti melambung di atas angka itu. Energi bangsa selama enam bulan ke depan pasti akan disedot oleh ingar-bingarnya kompetisi politik yang secara ideologis tampak sangat cair dan longgar.

Pasangan calon untuk gubernur, wali kota, dan bupati masih dalam proses gonta-ganti karena sisa ideologi pascahilangnya Marxisme tidak ada lagi yang solid, baik Islam maupun nasionalisme. Bahkan, boleh jadi ideologi itu sudah memudar beriringan dengan arus pragmatisme politik yang semakin menguat di tangan politisi yang sepi wawasan dan gagasan nasional jangka panjang. Parpol yang sok ideologis, kelakuannya tidak banyak berbeda dengan mereka yang tunaidelogi.

Demokrasi harus tumbuh untuk keadilan.

Pada sisi teknis dan prosedur pelaksanaan demokrasi Indonesia relatif sudah teratur. Pemilu sudah bisa dilangsungkan secara reguler dalam jangka waktu tertentu dalam siklus lima tahunan. Kenyataan ini patut dihargai sebagai suatu kemajuan dalam pelaksanaan teknis berdemokrasi. Sekiranya penyakit politik uang bisa ditiadakan sampai batas yang jauh, maka pemilu Indonesia akan menghasilkan elite politik yang punya karakter dan potensi sebagai negarawan.

Ibarat kanker, politik uang pasti akan membinasakan sekujur tubuh demokrasi yang masih belum stabil ini. Pertanyaan kita: parpol mana yang mau memberi contoh untuk tujuan bersih-bersih ini?

Mohammad Hatta beberapa hari sebelum pemilu pertama pada 29 September 1955 dalam suatu pidato radio berpesan:

Tiap-tiap sekali sekian tahun ... Dewan Perwakilan Rakyat kita itu akan dibarui, anggota-anggotanya dipilih kembali oleh rakyat. Hak ini diberikan kepada rakyat, supaya rakyat dapat mengamat-amati pekerjaan wakil-wakilnya di parlemen dan menguji kejujurannya dan kesungguhannya melaksanakan cita-cita dan kepentingan rakyat. Dengan pemilihan berkala itu rakyat nanti mendapat kesempatan untuk mengganti anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak jujur dan tidak sungguh kerjanya (Lihat Karya Lengkap Bung Hatta Buku 2: Kemerdekaan dan Demokrasi. Jakarta: LP3ES, 2000, hlm 413).

Pesan kenegarawanan Hatta itu nyaris tidak bisa dilaksanakan dalam berbagai pemilu kita karena hati nurani rakyat pemilih sering tidak berfungsi dengan jujur dan bahkan menjadi lumpuh lantaran ganas dan maraknya politik uang. Suara dibeli dengan harga murah.

Ada lagi isu penting yang patut diperhatikan dengan saksama pada tahun politik ini, yaitu virus perpecahan akibat Pilkada DKI beberapa waktu yang lalu. Kita sungguh berharap agar semua pihak mau menyadari bahwa polarisasi sosial dan politik yang tajam dan kotor sebagai bagian dari ekses Pilkada DKI jangan dibiarkan menular ke daerah lain.

Jika gagal mencegahnya, dengan menggunakan ayat suci, perilaku politik kumuh, dan berita hoax (palsu) secara masif bisa saja akan berulang untuk menggoncangkan Indonesia sampai jauh ke kawasan udik, seperti yang telah berlaku di Ibu Kota.

Dengan menggunakan jaringan medsos, gema politik identitas DKI itu dengan sangat kencang telah menjalar ke seluruh Tanah Air. Segala kemungkinan ini harus diantisipasi dari sekarang oleh aparat kepolisian, KPU, Bawaslu, dan rakyat banyak selama enam bulan ke depan.

Polarisasi di atas terasa sampai ke unit-unit sosial yang paling kecil. Anggota masyarakat saling mengintip dengan penuh curiga sambil menerka siapa pro siapa. Proses Pilkada DKI adalah contoh terburuk yang pernah kita alami. Maka pilkada serentak pada 27 Juni 2018 harus terbebas dari virus jahat Pilkada DKI.

Biarlah proses politik itu berlangsung secara alamiah, teratur, beretika, dan bermartabat. Jangan dikotori lagi. Selamat memasuki gerbang tahun politik. Hidup dan jayalah demokrasi Indonesia yang sehat, beretika, dan bermartabat! []

REPUBLIKA, 16 Januari 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar