Hikayat Perjuangan KH
Abdul Wahab Chasbullah
Ya lal wathan, ya lal
wathan, ya lal wathan. Hubbul wathan minal iman. Wala takun minal hirman.
Inhadhu ahlal wathon. Indonesia Biladi. Anta 'unwanul mufakhoma. Kullu man
ya'tika yauma. Thamihan yalqo himama (Pusaka hati wahai tanah airku. Cintamu
dalam imanku. Jangan halangkan nasibmu. Bangkitlah, hai bangsaku! Indonesia
negeriku. Engkau Panji Martabatku. Siapa datang mengancammu. Kan binasa dibawah
dulimu!)
Bait-bait syair lagu
Ya Lal Wathon, menggelora dari pekikan mulut-mulut mungil para siswa sebuah Madrasah
Ibtida'iyah (MI) yang terletak tak jauh dari Gunung Lawu. Lagu tersebut menjadi
penyemangat mereka saat hendak akan memulai kegiatan belajar di pagi hari,
selain juga tentunya lagu Indonesia Raya dan Bagimu Negeri yang wajib dihafal
oleh para murid.
Kata salah guru di
madrasah tersebut, lagu itu juga menjadi ikhtiar untuk membangkitkan rasa
nasionalisme kepada murid sedari dini.
Namun siapa sangka,
lagu tersebut ternyata sudah dinyanyikan para siswa perguruan Nahdlatul Wathan
di Surabaya, hampir seabad yang lalu. Lagu tersebut merupakan gubahan dari KH
Abdul Wahab Chasbullah yang ketika itu mengemban amanah sebagai Pimpinan Dewan
Guru (keulamaan) di Nahdlatul Wathan.
Mbah Wahab bersama
dengan KH Abdul Kahar sebagai Direkur, dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah
dibantu KH Ridwan Abdullah, mereka menjadikan NW sebagai markas penggemblengan
para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah
air. (Anam, 1983)
Kelak, perjuangannya
dengan membangun semangat nasionalisme melalui jalur pendidikan akan terus
dikenang generasi sesudahnya. Nama madrasah Nahdlatul Wathan yang bermakna
'Kebangkitan Tanah Air', juga sengaja dipilih Mbah Wahab dan kawan-kawannya,
untuk menegaskan cita-cita membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Tidak
hanya itu, Kiai Wahab juga membentuk cabang-cabang baru: Akhul Wathan di
Semarang, Far'ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Ahlul Wathan di
Wonokromo dan lain sebagainya. Semua sekolah tersebut memiliki kesamaan, yakni
pencantuman kata wathan yang berarti tanah air.
Usaha ini memang
tidak mudah, akan tetapi Mbah Wahab selalu yakin akan kemerdekaan yang akan
diraih bangsa ini. Pernah suatu ketika Kiai Abdul Halim (Cirebon) bertanya
kepadanya, apakah dengan usaha (jalur pendidikan dan perkumpulan ulama) macam
begini bisa menuntut kemerdekaan? Mendengar pertanyaan itu, Kiai Wahab segera
mengambil satu batang korek api dan menyulutkannya, sambil berkata: “Ini bisa
mengancurkan bangunan perang. Kita jangan putus asa. Kita harus yakin tercapai
negeri merdeka!” (Saifuddin Zuhri, 1972).
Resolusi Jihad
Bersama sejumlah
ulama lainnya, Kiai Wahab juga ikut membidani berdirinya organisasi Nahdlatul
Ulama (NU) pada tahun 1926. Pada awal berdiri, duetnya bersama sang Rais Akbar
Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari menjadikan NU sebagai salah organisasi yang
memiliki pengaruh besar dalam perjalanan bangsa ini. Salah satunya, ketika
dikeluarkan sebuah fatwa 'Resolusi Jihad'. Sebuah seruan yang ditujukan kepada
Pemerintah Republik Indonesia dan umat Islam Indonesia, yang mengajak kepada
semua untuk berjuang membela Tanah Air dari penguasaan kembali pihak Belanda
dan pihak asing lainnya.
Resolusi Jihad ini
dikeluarkan, ketika pada Oktober 1945, Belanda datang bersama pasukan Sekutu
untuk kembali menjajah Indonesia yang baru beberapa bulan memproklamirkan
kemerdekaannya. Satu demi satu kota jatuh ke tangan musuh. Bandung dan
Semarang, dua kota penting telah dikuasai pihak sekutu.
Mendengar kabar
tersebut, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah mengumpulkan
sejumlah ulama untuk mengikuti Rapat Besar Konsul-konsul Nahdlatul Ulama (NU)
se-Jawa dan Madura, 21-22 Oktober di Surabaya, Jawa Timur. Dari pertemuan itu
dikeluarkan sebuah seruan yang kemudian dikenal dengan “Resolusi Jihad fi
Sabilillah”.
Adapun isi seruan
tersebut sebagaimana termaktub dalam buku “Pertumbuhan dan Perkembangan
Nahdlatul Ulama” (Anam: 1983) yakni : “Berperang menolak dan melawan pendjadjah
itoe Fardloe 'ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam,
laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada
dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi
orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi
fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”.
Selain itu para ulama
juga memberikan beberapa seruan, antara lain: Pertama. Memohon dengan sangat
kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan
yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan
kemerdekaan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan
kaki tangan. Kedua. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat
“sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Usai disebarkannya
seruan itu ke segala penjuru, para pejuang di tiap daerah bersiaga perang
menunggu pendaratan tentara Inggris yang kabarnya sudah tersiar. Seruan untuk
berjihad fii sabilillah ini pula yang menjadi pemicu perang massa (Tawuran
Massal) pada tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945. Saat itulah, arek-arek Surabaya
yang dibakar semangat jihad menyerang Brigade ke-49 Mahratta pimpinan Brigadir
Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
Hasilnya, lebih dari
2000 orang pasukan kebanggaan Inggris tewasnya. Sang Brigadir Jenderal, A.W.S.
Mallaby juga tewas akibat dilempar granat. Perang Massa (Tawuran Massal) tanpa
komando yang berlangsung selama tiga hari yang mengakibatkan kematian Brigadir
Jenderal A.W.S. Mallaby itulah yang memicu kemarahan Inggris yang berujung pada
pecahnya pertempuran besar Surabaya 10 November 1945, yang kelak dikenang
sebagai tanggal peringatan Hari Pahlawan.
Pahlawan Sejati
Demikianlah, dedikasi
Mbah Wahab baik sebagai seorang ulama, pendidik, negarawan, maupun aktivis
pergerakan untuk bangsa ini memang sangat besar pengaruhnya. Gelar Pahlawan
Nasional yang diberikan kepadanya, tentu istimewa. Namun, jauh sebelum
pemberian gelar pahlawan ini, Mbah Wahab sejatinya sudah menjadi sosok yang
telah memberikan banyak inspirasi dan jasa.
Kini, meski ia telah
wafat, jasa dan ilmunya akan tetap dikenang, sebagaimana yang diungkapkan oleh
seorang penyair Arab yang termaktub dalam kitab Alala: “Akhul 'ilmi hayyun
kholidun ba'da mautihi, wa aushooluhu tahta turobi romiimun” (Para ahli ilmu,
hidup abadi (nama dan jasanya) meski telah mati dan jasadnya terkubur di dalam
tanah). Lahumu al-fatihah! []
(Ajie Najmuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar