Perbedaan Karamah Tak
Hakiki dan Karamah Hakiki
Dalam membicarakan seorang wali, biasanya
seseorang juga membicarakan karamahnya, baik secara lisan maupun tertulis. Hal
ini dapat dilihat pada keumuman membicarakan karamah seorang wali, misalnya
dalam setiap haulnya. Sedangkan secara tertulis, pembicaraan tentang karamah
biasanya diletakkan di bagian akhir sebuah kitab atau buku. Allamah Sayyid
Abdullah bin Alawi Al-Haddad menjelaskan ada dua macam karamah, yakni karamah
hakiki dan karamah tak hakiki.
Kedua macam karamah tersebut secara
substasial berbeda dan perlu diketahui terutama oleh para “murid” yang sedang
belajar menempuh perjalanan ruhani. Ulama dari Hadramaut Yaman tersebut
menjelaskan dalam kitabnya berjudul An-Nafais Al-Uluwiyyah fil Masailis
Shufiyyah, halaman 45, sebagai berikut:
فيكون
من جملة طلبه الحظوظ الدنيوية والأعراض النفسانية هذا اذا كان يطلبه الكرامات
الصورية من طي الأرض واللاخبار عن المغيبات واشابه ذلك, فان كان يطلب الكرامات
الحقيقية كزياد الأيمان واليقين, والتحقق بالزهد في الدنيا, والرغبة قي الأخرة وامثال ذالك كانت رغبته فيه محمودة, لأن
ذالك من الحق والدين الذي يطلبه ويزغب فيه.
Artinya: ”Seseorang hanya mementingkan
kepentingan duniawinya dan memuaskan keinginan nafsunya jika ia mengejar
‘karamah tak hakiki’ seperti melipat bumi, memperoleh berita-berita gaib dan
sebagainya. Tetapi jika ia mencari ‘karamah hakiki’ seperti meningkatnya iman
dan keyakinan, hidup di dunia dengan zuhud, dan condong pada kehidupan akhirat,
dan sebagainya, maka perbuatan itu merupakan hal yang terpuji. Inilah yang
harus dicari karena semua itu merupakan perkara haq dan sesuai dengan tuntutan
agama.”
Dari kutipan diatas dapat kita ketahui
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, karamah dibagi menjadi dua, yakni
al-karamat ash-shuriyyah (karamah tak hakiki) dan al-karamat al-haqiqiyyah
(karamah hakiki). Contoh karamah tak hakiki adalah jalan cepat yang seolah
dapat melipat bumi dan mendapatkan berita-berita gaib dari langit hingga,
misalnya, mengetahui suatu peristiwa sebelum terjadi. Sedangkan contoh karamah
hakiki adalah tebalnya iman, hidup secara zuhud dan menyukai kehidupan
ukhrawi.
Kedua, seseorang yang beribadah menempuh
perjalanan ruhani seperti melakukan amal-amalan tertentu dengan maksud mencari
karamah yang berupa kemampuan berjalan cepat yang seolah dapat melipat bumi,
atau memperoleh kasyaf sehingga mengetahui berita-berita dari langit, maka
orang tersebut telah melakukan perbuatan yang tidak terpuji karena ini berarti
ia mengejar hal-hal duniawi dalam ibadahnya kepada Allah subhanahu
wata'ala.
Ketiga, seseorang yang bersungguh-sungguh
melakukan amal-amalan tertentu dengan maksud meningkatkan iman, memantapkan
hidup dengan kezuhudan dan memburu kemanfaatan ukhrawi dan bukannya duniawi,
maka orang tersebut telah melakukan perbuatan mulia. Orang tersebut adalah
murid yang terpuji.
Selanjutnya, Allamah Sayyid Abdullah bin
Alawi Al-Haddad dalam kitabnya yang lain berjudul Risalatu Adabi Sulukil Murid,
halaman 47, menjelaskan sebagai berikut:
واعلم
أن الكرامة الجامعة لجميع أنواع الكرامات الحقيقيات والصوريات هي الاستقامة المعبر
عنها بامتثال الأوامر واجتناب المناهي ظاهرا وباطنا
Artinya: “Karamah yang mencakup semua jenis
karamah, baik yang hakiki maupun tidak hakiki, merupakan buah dari istiqamah,
yaitu menurut pada perintah-perintah Allh dan menjahui larang-larangan-Nya
secara lahir dan batin.”
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
karamah tak hakiki adalah karamah yang hanya kelihatannya saja. Karamah seperti
ini bisa berupa kemampuan luar biasa yang bersifat duniawi, seperti melipat
bumi. Sedangkan karamah hakiki adalah karamah berupa kemampuan luar biasa yang
bersifat ruhani atau ukhrawi, seperti kemampuan beribadah yang di atas
rata-rata orang. Seorang murid yang mengejar karamah tak hakiki bukanlah murid
yang baik, sedangkan mereka yang mengejar karamah hakiki adalah murid yang
terpuji.
Singkatnya karamah tak hakiki bersifat
duniawi, sedangkan karamah hakiki bersifat ukhrawi. Karamah yang mencakup
kedua macam karamah di atas berasal dari istiqamah (berlaku lurus dalam jalan
Allah). Dengan kata lain inti dari karamah adalah istiqamah. Itulah sebabnya
dalam ilmu tasawuf dikatakan bahwa istiqamah lebih utama dari pada seribu
(1.000) karamah sebagaimana disebutkan dalam kitab Marqaah al-Mafaatiih Syarhu
Misykaat Al-Mashabih, halaman 481, karya Syaikh Ali bin Sulthan Muhammad
Al-Qari: "Fainnal istiqamah khairun min alfi karamah (sesungguhnya
istiqamah lebih utama dari pada seribu karamah). []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar