Senin, 30 April 2018

(Do'a of the Day) 14 Sya'ban 1439H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma a'thinii kitaabii bi yamiinii, Allaahumma laa tu'thiinii kitaabii bii syimaalii.

Ya Allah, berikanlah kitabku dengan tangan kananku, ya Allah janganlah Kau berikan kitabku yang disambut dengan tangan kiriku.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 16.

(Buku of the Day) Nazham Tarjamah Al-Ajrumiyyah karya Syekh Mahmud Mukhtar Al-Bode Ulama dari Cirebon


Nazham Al-Ajrumiyyah Jawa dari Cirebon Ini Jadi Kurikulum Nahwu di Banyak Pesantren


Nazham Tarjamah Al-Ajrumiyyah adalah kitab mungil karangan Syekh Mahmud Mukhtar Al-Bode, ulama dari Cirebon. Kitab ini merupakan terjemah dari kitab Matan Al-Ajruymiyyah yang ditulis dalam bentuk syair berbahasa Jawa dengan menggunakan bahar Rajaz.

Kitab Matan Al-Ajrumiyyah sendiri adalah kitab ringkas yang memuat pokok-pokok ilmu Nahwu. Kitab untuk pemula ini telah tersebar di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Penulisnya adalah ulama besar Maroko pada zamannya, yaitu Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad Ibnu Ajrum As-Shanhaji (672 H-723 H).

Dalam kata pengantar kitab Nazham Tarjamah Al-Ajrumiyyah, Syekh Mahmud Mukhtar berkata,

"Wa ba'du ikilah tarjamah Jurmiyyah ** kanggo pelajar madrasah ibtidaiyyah

Kang masih ora ngerti bahasa Arab ** jalaran ora kulino ngaji kitab

Mulo podo ngajio kitab ulama ** luwih penting tinimbang ilmu dirgama

Akeh wong kang pinter ilmu dirgamane ** tapi bodoh ilmu syara' agamane

Ing hale ilmu syara' fardlu hukume **  ngaweruhi tinimbang ilmu umume

Zaman kewalik barang haq dadi batal ** salah dadi bener harom dadi halal

Wenang dadi ferdlu menang dadi kalah ** bid'ah dadi sunah koyo mu'tazilah

Akeh wong ahlis sunah pengakuane ** tetapi bid'ah amal perbuatane

Mugo-mugo Allah maringi hidayat ** lan maringi terjemah iki manfaat"

Artinya, "Wa ba'du, ini adalah terjemah kitab Al-Ajrumiyyah yang diperuntukkan kepada pejalar madrasah ibtida'iyyah, pelajar yang masih belum paham bahasa Arab karena tidak terbiasa mengkaji kitab.

Maka, pelajarilah kitab para ulama. Hal ini lebih penting daripada (mempelajari) ilmu umum.

Banyak orang yang pintar dalam ilmu umum, akan tetapi dia bodoh dalam ilmu syariat agamanya. Padahal yang hukumnya wajib adalah mempelajari ilmu syariat, bukan ilmu umum.

(Sekarang) adalah zaman yang terbalik. Hal yang haq jadi bathil. Salah menjadi benar. Haram jadi halal. Jaiz menjadi wajib. Menang jadi kalah. Bid'ah menjadi sunah, seperti Mu'tazilah. Banyak orang yang mengaku Ahlussunah, tetapi yang diperbuat adalah hal-hal bid'ah.

Semoga Allah menganugerahi kita hidayah dan menjadikan terjemah ini bermanfaat."

Kitab yang diterbitkan Pondok Pesantren Darul Ulumisy Syar'iyyah Bode Plumbon Cirebon dalam 16 halaman ini terdiri atas 26 bab yang memuat 171 bait. Ke-26 bab itu adalah Muqaddimah (10 bait), Babul Kalam (8 bait), Al-I'rab (5 bait), Ma'rifatu 'Alamatil I'rab (25 bait), Al-Af'al (10 bait), Al-Fa'il (6 bait), Naibul Fa'il (4 bait), Al-Mubtada' wal Khabar (8 bait), Kana wa Akhawatuha (3 bait), Inna wa Akhawatuha (2 bait), Zhanna wa Akhawatuha (3 bait), An-Na'tu (2 bait), Al-Ma'rifah wan Nakirah (13 bait), Al-'Athf (3 bait), At-Taukid (3 bait), Al-Badal (4 bait), Al-Maf'ul Bihi (7 bait), Al-Mashdar (5 bait), Az-Zharaf (7 bait), Al-Hal (3 bait), At-Tamyiz (2 bait), Al-Istitsna' (13 bait), La (7 bait), Al-Munada (7 bait), Al-Maf'ul min Ajlih (2 bait), dan dipungkasi dengan Babul Maf'ul Ma'ah (9 bait).

Berikut adalah contoh untaian bait Nahwu dalam kitab,

"Huruf Khofadl Yoiku Min Fi 'An 'Ala *** kaya mengkono Rubba Ba Kaf Lam Ila"

Artinya, "Huruf Khofadl (Jar) adalah Min, Fi, 'An, dan 'Ala. Begitu juga Rubba, Ba', Kaf, Lam, dan Ila."

Kitab Nazham Tarjamah Al-Ajrumiyyah sudah menyebar di berbagai daerah. Tidak hanya itu, kitab ini juga dijadikan kurikulum wajib banyak pesantren di Jawa, di antaranya adalah Pesantren At-Taujieh Al-Islamy 2 Banyumas Jawa Tengah. Di pesantren asuhan Sidna KH Zuhrul Anam Hisyam ini kitab karya Syekh Mahmud Mukhtar ini menjadi kurikulum wajib yang harus dihafalkan setiap santri. Para santri Pondok Pesantren At-Taujieh Al-Islamy 2 selalu melalar hafalannya secara berjamaah setiap hari sebelum memulai pelajaran.

Syekh Mahmud Mukhtar adalah ulama asal Desa Bode, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Kiai satu ini terbilang sangat produktif dalam menulis kitab. Selain Nazham Tarjamah Al-Ajrumiyyah, ia juga menulis puluhan kitab dalam berbagai fan ilmu lainnya. Kebanyakan kitab tersebut ditulis berupa nazham (puisi), baik dalam bahasa Arab maupun Jawa. Di antara kitab karangan Syekh Mahmud Mukhtar adalah Nafhat al-'Ithr fi Qishshatil Khadlir, Qashidatul 'Awam fil Istighatsati bil Auliya'il A'lam yang mempunyai nama lain At-Tiryaqul Mujarrab bil Waliyyil Muqarrab, Syarhus Shadr fit Tawassuli bi Ahlil Badr, I'anatur Rafiq ala Nazhmi Sullamit Taufiq, Burdatul Mukhtar fi Nazhmi Tarikh Khairil Akhyar, Manzhumatud Durratis Saniyyah fi 'Ilmit Tafsir, Bida'ul Masajid, Kifayatu Ghulam fi Ma Yajibu Alaihi minal Ahkam, Tarjamatul Mahmud linazhmil Maqshud, dan Ghayatuz Zain lil Muhtadin Nadzm Qurratul 'Ain bimuhimmatid Din.

Alfaqir (Penulis) meriwayatkan seluruh kitab-kitab Syekh Mahmud Mukhtar dengan ijazah dari Kiai Habib bin Makhmud Mukhtar, dari penulisnya. Ijazah ini alfaqir dapatkan sewaktu sowan ke kediaman Kiai Habib di Bode Plumbon Cirebon pada akhir Ramadlan 1438 H yang bertepatan pada bulan Juni 2017 M.

Syekh Mahmud Mukhtar wafat di Bode pada 2008 M. Ia dimakamkan di depan rumahnya, di samping masjid dan pesantren Darul Ulumisy Syar'iyyah, pesantren yang asuhannya semasa hidup. Rahimahullah Ta'ala wa nafa'ana bi ulumihi. Amin. []

(Direktur Turats Ulama Nusantara Nanal Ainal Fauz)

BamSoet: Menyusuri Kepulauan Terluar, Menjaga Kedaulatan NKRI


Menyusuri Kepulauan Terluar, Menjaga Kedaulatan NKRI
Oleh: Bambang Soesatyo

Hujan dan langit gelap menyelimuti Jakarta, Senin (23/4/2018) pagi. Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan langkah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bersama para petinggi TNI lainnya meninjau keamanan daerah terluar di Indonesia, di Kepulauan Natuna. Saya bersama Ketua DPD Oesman Sapta Odang serta anggota Komisi III Ahmad Sahroni turut dalam rombongan tersebut.

Pukul 07.45 WIB pesawat Boeing 737-400 VIP TNI Angkatan Udara lepas landas dari Lanud TNI AU Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Penerbangan dari Jakarta menuju Kepulauan Natuna ditempuh sekitar 1,5 jam.

Jelang memasuki kawasan ruang udara (Flight Information Region/FIR) Kepulauan Natuna, empat pesawat tempur F-16 bergabung untuk melakukan pengawalan. Dua pesawat F-16 berada di sisi kiri, dan dua lagi berada di sisi kanan.

Pengawalan dilakukan agar pesawat yang kami tumpangi bisa mendarat dengan aman di Lanud Raden Sadjat Ranai, Kepulauan Natuna. Pasalnya, hingga kini FIR Natuna sektor A masih dipegang oleh otoritas Singapura. Sedangkan, FIR Natuna sektor B dan C dipegang Malaysia.

Kondisi ini sangat ironis. Karena, kedaulatan udara wilayah kita justru berada pada genggaman negara tetangga. DPR melalui UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan telah mengamanahkan selambatnya dalam jangka waktu 15 tahun, FIR Natuna sudah harus diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah mempunyai batas waktu hingga 2024.

Presiden Joko Widodo sendiri di awal pemerintahannya secara tegas menargetkan masalah FIR di Natuna dapat diambil alih Indonesia paling lambat di tahun 2019. Jokowi memberikan target lebih cepat dari yang diamanahkan UU.

Berbagai langkah dilakukan lintas kementerian untuk mewujudkan hal tersebut. Pemerintah Indonesia telah membentuk tiga tim, yaitu tim teknis, tim regulasi, dan tim diplomasi. Tim telah melakukan berbagai perundingan dengan pihak Singapura dan Malaysia. Hasilnya cukup memuaskan. Jika tidak ada aral melintang, FIR sektor B dan C sudah bisa dipegang oleh Indonesia pada tahun ini.

Pengambilalihan FIR Natuna sangat penting, karena di Kepulauan Natuna sedang dibangun pangkalan militer untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI. Posisi Kepulauan Natuna yang menghadap Laut China Selatan sangat strategis dalam menjaga adanya intervensi asing ke Indonesia. Selain, mengantisipasi berbagai potensi ancaman yang datang dari kondisi politik global yang tak menentu.

Kegusaran yang sama dirasakan pula oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Pengambil alihan FIR Natuna seperti menjadi pertempuran era modern dalam menjaga napas NKRI. Saya menegaskan, tidak hanya Panglima TNI yang tak rela kedaulatan bangsa kita dikontrol negara tetangga. DPR juga berpandangan yang sama.

Sangat aneh juga rasanya jika pangkalan militer di Natuna sudah beroperasi, namun setiap pergerakan pesawat tempur Indonesia harus izin terlebih dahulu kepada otoritas udara di Singapura. Bangsa dan negara kita seolah menjadi tidak mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan.

Tinjau Kesiapan Prajurit

Usai mendarat di Pangkalan Udara Raden Sadjat Ranai, Kepulauan Natuna, rombongan Panglima TNI langsung bergerak menggunakan Helikopter EC-725. Tujuan kali ini menuju Pos Pengamanan Pulau Terluar sebelah utara Indonesia di Pulau Sekatung.

Sebanyak 20 prajurit TNI terdiri dari 10 anggota Korps Marinir dan 10 prajurit Raider berjaga di sana dengan sigap siaga. Prajurit TNI menyambut Panglima TNI laksana ayah kandung mereka. Tak segan mereka melemparkan berbagai curhatan.

Tidak hanya prajurit, warga setempat juga ikut menyampaikan keluhan mulai dari sulitnya air bersih, listrik PLN yang hanya bisa dinikmati di malam hari, sampai susahnya sinyal telepon seluler. Air bersih hanya digunakan untuk keperluan makan dan masak. Sedangkan untuk mandi menggunakan tadah air hujan. Tak hujan, berarti tak mandi. Satu hal yang menggembirakan hati. Walau mereka tinggal di perbatasan paling depan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka rata-rata memiliki handphone pintar atau gadget. Tak heran jika selama acara "Panglima Mendengar Curhat Prajurit di Perbatasan", mereka asyik ber-selfie ria.

Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan mengunjungi Tanjung Datuk, Sepempeng dan Selat Lampa. Masih dengan menggunakan Helikopter EC-725. Saat bertemu dengan para prajurit di sana, curhatan yang disampaikan tak jauh berbeda.

Panglima TNI menyimak dengan seksama curhatan anak buahnya. Panglima juga langsung meminta Aslog Laksamana Muda Bambang Naryono mencatat, dan menindaklanjuti berbagai kebutuhan prajurit tersebut. Dan, saya bersama Ketua DPD Osman Sapta Odang yang ikut mendampingi Panglima TNI memberikan perhatian penuh atas keluhan tersebut. Saya berjanji akan segera menindaklanjuti dengan kementerian terkait. DPR zaman now adalah lembaga yang responsif.

Berbagai masalah yang ditemukan di lapangan akan segera diselesaikan melalui berbagai fungsi yang dimiliki DPR. Dalam berbagai rapat kerja, Komisi I selalu mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk gencar membangun infrastruktur telekomunikasi hingga ke pelosok wilayah Indonesia. Sehingga tak ada lagi daerah tertinggal, terluar, terdepan di Indonesia yang sukar mendapatkan sinyal. Ternyata, dari hasil kunjungan masih ditemukan banyak blank spot di Kepulaun Natuna. Ini menjadi catatan serius dan koreksi bagi Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Begitupun dengan masalah listrik. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam berbagai rapat kerja dengan Komisi VII, menyampaikan rasio elektrifikasi per akhir Desember 2017 telah mencapai 94,91 persen. Capaian tersebut melampaui target yang telah ditetapkan APBN 2017 sebesar 92,7 persen. Diharapkan, rasio ini terus ditingkatkan pada 2018. Faktanya, di lapangan belum sepenuhnya daerah dialiri listrik 24 jam.

Pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus memperluas akses ketenagalistrikan ke seluruh wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar wilayah Indonesia, tanpa terkecuali. Kita ingin listrik bisa dinikmati oleh siapapun dan di mana pun. Setidaknya sampai akhir periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, rasio elektrifikasi harus mampu mencapai 99 persen.

Menjelang matahari lengser ke arah barat, kunjungan diakhiri dengan meninjau rumah sakit dan hanggar integratif TNI AU, AD, dan AL di Kepulauan Natuna. Fasilitas pembangunan pangkalan militer di Kepulauan Natuna bisa dikatakan hampir selesai. Diharapkan, tidak lama lagi pangkalan militer tersebut sudah bisa diresmikan. Selanjutnya, secara bertahap peralatan dan pasukan yang selama ini menumpuk di Pulau Jawa, bisa digerakkan ke sana.

Saya melihat keseriusan Panglima TNI yang luar biasa untuk meningkatkan pembangunan dan penggunaan pangkalan militer di Kepulauan Natuna bukan untuk menyiapkan perang maupun gagah-gagahan. Pembangunan harus menjadi babak baru dalam sistem pertahanan dan keamanan NKRI. Sehingga, bangsa Indonesia tidak dipandang sebelah mata dan semakin berdiri tegak diantara kekuatan militer negara lain.

Saya yakin di tengah derasnya semangat para prajurit dan semakin profesionalnya Tentara Nasional Indonesia di bawah komando Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, kekuatan militer kita akan terus semakin meningkat. Bukan hanya di tingkat ASEAN, tapi saya percaya kekuatan militer kita akan terus semakin menjadi perhatian dunia internasional.

Tak ada rasa lelah terlihat di wajah suami Nanik Istumawati yang berkumis tebal itu. Wajahnya tetap segar dan optimis ketika menaiki tangga pesawat untuk kembali ke Jakarta bersama rombongan. Waktu menunjukkan pukul 16.20 WIB ketika Pesawat Boeing 737-400 VIP TNI Angkatan Udara yang kami tumpangi lepas landas dari Lanud Raden Sadjat Ranai, Kepulauan Natuna menuju Jakarta. Empat pesawat F-16 kembali mengawal hingga pesawat Panglima TNI keluar dari FIR Natuna. Tepat pukul 18..15 WIB, pesawat yang membawa kami mendarat mulus di Lanud Halim Perdana Kusuma di tengah rintik air hujan.

Dalam perjalanan kembali ke kediaman menembus kemacetan Jakarta, pikiran saya tiba-tiba melayang mengingat-ingat berbagi peristiwa yang baru saja saya lewati di Natuna. Saya memiliki kesan luar biasa terhadap pria kelahiran Malang, 8 November, 54 tahun lalu itu. Walau hanya 10 jam bersama menemui para prajurit dan kesiapan operasi di berbagai fasilitas militer di Kepulauan Natuna, namun dia telah menunjukkan kemampuannya sebagai seorang panglima. Tidak hanya sebagai penerbang. Tapi juga pengetahuannya tentang intelijen, teknologi radar dan cyber, potensi ancaman, strategi pertempuran serta pentingnya penggalangan dan kesejahteraan prajurit.

Langkahnya melakukan sinergi dengan Polri dan parlemen patut diberikan acungan jempol. Dan, itu telah menyadarkan kita semua betapa pentingnya bangsa ini dibangun dan dijaga dengan semangat kebersamaan yang saling menghormati posisi masing-masing. Bukan malah di koyak-koyak dengan memperlebar perbedaan dan saling menghujat sesama anak bangsa. []

DETIK, 25 April 2018
Bambang Soesatyo | Ketua DPR, Fraksi Partai Golkar, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

(Hikmah of the Day) Peristiwa di Balik Hijrah Rasulullah


Peristiwa di Balik Hijrah Rasulullah

Hijrah pengertiannya secara etimologis adalah meninggalkan suatu perbuatan, menjauhkan diri dari pergaulan, pindah dari satu tempat ke tempat lain atau meninggalkan suatu daerah menuju daerah lain, misalnya berpindahnya orang Badui (penduduk padang pasir) menuju ke kota-kota (Lisanul Arab, hal. Vo. 15, hal. 121-122). Secara terminologis yang dikaitkan dengan syari’at agama, hijrah itu pada hakikatnya terdiri dari empat macam.

Pertama, berhijrah dengan meninggalkan semua kegiatan yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menghindari segala perbuatan yang tercela yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Berhijrah dalam arti demikian, misalnya disebutkan dalam hadis Nabi:

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ... وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ - رواه البخاري 

Dari Abdullah bin ‘Amr radliyallahu 'anh, Rasulullah shallallahu 'anh bersabda: “... Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari, No: 9). Dengan demikian, setiap orang yang telah meninggalkan larangan Allah berarti ia telah melakukan hijrah dalam arti yang pertama.

Kedua, berhijrah atau mengasingkan diri dari perbuatan dan tingkah laku orang-orang musyrik dan orang-orang kafir yang selalu memfitnah dan menyakiti orang-orang Islam. Demikian kerasnya tekanan dan permusuhan orang-orang kafir dan orang-orang musyrik terhadap orang-orang Muslim, sehingga orang-orang Muslim itu tidak mampu lagi melaksanakan ajaran agamanya. Apabila terjadi keadaan seperti ini, maka diwajibkan bagi setiap individu Muslim untuk berhijrah meninggalkan kaum yang dzalim itu, kecuali apabila mereka tidak mempunyai kemampuan untuk berhijrah.

Ketiga, berhijrah dari suatu daerah yang diliputi kezaliman, kerusakan, kehancuran akhlak, dan kemaksiatan yang telah merajalela, menuju daerah yang lebih baik. Di daerah baru, tempat berhijrah itu diharapkan pelaksanaan ajaran Islam dapat ditegakkan oleh masyarakatnya, bergaul dengan orang-orang saleh dan bertakwa. Dengan demikian orang-orang Muslim yang berhijrah itu akan dapat meningkatkan keimanan dan takwanya kepada Allah. Di daerah baru itu orang-orang Muslim hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh mengadakan perbaikan dan pengembangan ajaran Islam.

Keempat, berhijrah dengan sikap mental yang disebut al-hijrah al-qalbiyah, yaitu dengan jalan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan dilarang oleh agama, meskipun banyak orang yang di sekelilingnya mengerjakan keburukan itu. Tugas orang-orang muslim dalam masyarakat seperti ini adalah berjuang menegakkan nilai-nilai kebenaran Islam menurut kemampuan masing-masing yang dimilikinya.

Hijrah Rasul yang dimaksud dalam kajian ini adalah hijrahnya Nabi Muhammad tahun 622 M dari Makkah ke Madinah. Hijrah itu terjadi karena disebabkan oleh penindasan orang-orang musyrik Quraisy yang luar biasa terhadap Nabi dan para sahabatnya. Sejak awal bangkitnya dakwah islamiyah yang disampaikan Rasul Muhammad permusuhan orang-orang musyrik Quraisy terhadap beliau tidak pernah bergeming setapak pun. Dengan berbagai cara mereka lakukan untuk membendung dakwah Islam, dari cara yang halus sampai pada cara yang kasar dan sadis. Dari cara-cara yang masuk akal sampai cara yang tidak masuk akal, tetapi semua usaha mereka gagal sama sekali.

Cara yang amat halus misalnya, mereka mendatangi Abu Thalib sebagai pemimpin Quraisy yang amat berwibawa, agar mau membujuk Nabi, keponakan yang sangat dicintainya. Mereka menawarkan, andaikata dengan gerakan dakwahnya Muhammad menghendaki harta benda dan emas permata, atau ingin menjadi raja, atau ingin menikahi wanita-wanita cantik, akan mereka berikan kekayaan yang banyak, mereka jadikan raja dan mereka pilihkan wanita-wanita cantik untuknya. Hanya saja mereka mohon agar Muhammad meninggalkan kegiatan dakwahnya.

Bujukan yang teramat halus untuk mematikan dakwah Islam itu dijawab oleh Nabi dengan jawaban yang tegas dan tak kenal kompromi. Beliau menjawab: “Demi Allah wahai pamanku! Meskipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan dakwah Islam itu, aku tidak akan meninggalkannya, sehingga aku mendapat pertolongan dari Allah atau aku hancur binasa karenanya."

Mendengar jawaban keponakannya yang begitu tegar dalam membela kebenaran agama Allah, Abu Thalib merasakan adanya keagungan risalah yang dibawanya. Simpatinya atas Nabi justru bertambah. “Lanjutkan apa yang engkau perjuangkan, dengan segala kemampuanku aku senantiasa melindungimu,” katanya.

Cara yang tidak masuk akal misalnya, tokoh-tokoh musyrik Quraisy pernah mendatangi Abu Thalib, mereka mengatakan: “Wahai Abu Thalib, kalau engkau senantiasa menyayangi dan melindungi Muhammad karena ia memiliki wajah yang tampan, gagah dan menarik, sekarang kami bawakan seorang pemuda yang kegagahan dan ketampanannya menyaingi Muhammad. Kami serahkan pemuda ini kepadamu sebagai pengganti Muhammad dan Muhammad serahkan kepada kami.” Abu Thalib menjawab: “Wahai para pemimpin Quraisy, diletakkan di mana akalmu? Kamu serahkan anakmu kepadaku untuk aku pelihara dan aku harus menyerahkan anakku (keponakanku) untuk engkau bunuh”.

Setelah berbagai tipu daya mereka usahakan untuk mematikan cahaya kebenaran Islam, semuanya tidak berhasil, terakhir kali mereka mengadakan musyawarah penting di Dar al-Nadwa. Tempat ini merupakan tempat Qushay ibn Kilab, yang senantiasa dipakai untuk musyawarah. Di sanalah perkara-perkara penting Quraisy diputuskan. Musyawarah yang dihadiri oleh wakil seluruh Kabilah Arab itu mengajukan berbagai pendapat yang beraneka ragam, di antaranya: (1) Muhammad harus diusir dari kota Makkah; (2) Muhammad harus dimasukkan dalam penjara; (3) Muhammad harus dibunuh.

Usul yang pertama dan kedua ditolak oleh peserta musyawarah, usaha dengan jalan itu sia-sia. Karena jika Muhammad diusir, maka akan memberi kesempatan baginya untuk menyusun kekuatan di luar kota Makkah dengan para sahabatnya, usul ini dianggap membahayakan. Apabila Muhammad dimasukkan penjara, ia amat tabah dan sabar dalam menghadapi berbagai musibah, malah akan menimbulkan simpati bagi para sahabatnya dan mengakibatkan pengikutnya semakin bertambah saja. Usul yang ketiga dianggap paling tepat, Muhammad harus dibunuh.

Akan tetapi mereka menjumpai kesulitan, kalau salah seorang dari suku tertentu membunuh Muhammad akan menghadapi pembalasan dari suku Nabi Muhammad, yaitu suku Abdi Manaf. Masyarakat Arab waktu itu, sangat fanatik terhadap sukunya masing-masing. Kesulitan itu kemudian dapat mereka atasi dengan jalan menugaskan bagi setiap suku Arab agar mengirimkan satu utusan untuk membunuh Muhammad bersama-sama. Dengan demikian suku Abdi Manaf tidak dapat membalas, karena berhadapan dengan seluruh suku Arab, paling mereka harus membayar denda atau diyat. Tipu daya kaum musyrik Quraisy yang amat keji, sadis dan tidak mengenal perikemanusiaan seperti itu, disebutkan al-Qur’an:

 وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (QS. al-Anfal, 8: 30).

Di sisi lain ketika orang-orang Quraisy semakin mengganas, menyiksa dan menyakiti para sahabat Nabi dengan berbagai siksaan yang menyakitkan, Nabi menyuruh para sahabat agar berhijrah ke Madinah. Para sahabat Nabi, satu demi satu secara sembunyi-sembunyi berangkat hijrah ke Madinah, meninggalkan tanah kelahiran mereka, rumah tempat tinggal dan segala apa yang dicintainya menuju ridha Ilahi. Mereka semua rela mengorbankan apa saja yang dicintainya termasuk dirinya sendiri untuk menegakkan agama Allah. Agama yang mengantarkan umat manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Setelah para sahabat berhijrah, tinggalah sebagian kecil umat Islam di Makkah, di antaranya Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib yang tinggal serumah dengan beliau, dan Abu Bakar al-Shiddiq bersama keluarganya. Nabi belum berangkat berhijrah karena belum ada perintah dari Allah. Ketika orang-orang musyrik telah siap dengan suatu pasukan yang terdiri dari berbagai kabilah Arab, mereka bergerak untuk mencari dan membunuh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Pada suatu malam, mereka mengintai Nabi, dan mereka menjumpai Nabi sedang tidur di atas dipannya yang sederhana. Nabi waktu itu mengenakan “selimut hijau dari Arabia Selatan”, tepatnya dari Hadramaut. Orang-orang musyrik Quraisy merasa tenang, mereka yakin malam itu akan dapat membunuh Nabi. Rumah Nabi juga dijaga ketat, mereka tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan pembunuhan terhadap Rasul yang amat dicintai para sahabatnya.

Pada malam itu juga Nabi diperintahkan Allah agar segera berhijrah, Jibril a.s. menyampaikan: “Muhammad janganlah kamu tidur malam ini di tempat tidurmu, karena sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk berhijrah ke Madinah" (Ibn al-Atsir al-Kamil fi al-Tarikh, hal. 72).

Setelah menerima perintah untuk berhijrah, Nabi memanggil Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu beliau, yang senantiasa berjuang membela kebenaran, agar ia mencatat barang-barang berharga milik orang-orang Makkah yang dititipkan kepada Nabi. Ali segera mencatat satu-persatu dan esok harinya akan disampaikan kepada pemiliknya. Karena terkenal jujur dan baik, Nabi sering dititipi barang-barang berharga oleh orang-orang Quraisy. Selesai mencatat barang-barang itu, Nabi memerintahkan Ali agar tidur di tempat tidurnya, dan mengenakan selimut hijau dari Hadramaut yang biasa dipakai Nabi (Muhammad Husain Haikal, Hayatu Muhammad, hal. 210).

Di sini sayyidina Ali melakukan suatu kontrak, bukan kontrak rumah atau jual beli tanah, akan tetapi kontrak mati. Ali tidur di atas dipan Nabi, juga menggunakan selimutnya, padahal di luar, pemuda-pemuda Quraisy yang sadis siap membunuhnya. Akan tetapi Ali k.w. rela mati untuk membela Nabi dan membela kebenaran. Ali demikian juga sahabat yang lain lebih mencintai Nabi daripada cintanya terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri.

Malam itu, tanggal 2 Rabi’ul Awwal tahun ketiga belas dari kenabian, bertepatan dengan 20 Juli 622 M, Nabi berangkat dari rumah untuk berhijrah. (Said Ramadhan, Fiqh al-Sirah, hal 185). Keberangkatan Nabi dari rumah dilakukan malam hari setelah lewat dua pertiga malam. Nabi keluar dari rumah, kemudian mengambil segenggam pasir dan melemparkannya kepada orang-orang Quraisy yang akan membunuh beliau. Orang-orang Quraisy itu dengan takdir Allah, maka tertidur sejenak dan tidak mengetahui Nabi pergi meninggalkan rumahnya. Waktu keluar, Nabi membacakan awal surat Yasin sampai ayat:

 وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ

“Dan kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat." (QS. Yasin, 36: 9).

Setelah selamat, keluar dari rumah, Nabi terus menemui Abu Bakar. Ternyata Abu Bakar telah menyiapkan dua ekor unta untuk berhijrah. Malam telah larut, tinggal sepertiganya, dengan penuh pasrah kepada Allah, Nabi dan Abu Bakar as-Siddiq berangkat menuju suatu Gua di Bukit Tsur, sebelum berangkat ke Madinah (Khudri Bek, Nur al-Yaqien, hal 77).

Setelah tinggal di Gua Tsur kurang lebih selama tiga hari, Nabi dan Abu Bakar al-Siddiq melanjutkan perjalanan berhijrah ke Madinah. Jalan yang ditempuh Nabi sangat sulit, bukan jalan biasa yang dilalui orang, karena menghindari pengawasan kaum musyrik Quraisy. Nabi dan Abu Bakar ditemani oleh dua orang sebagai penunjuk jalan dan yang bertugas mengawal dua ekor unta yang mengangkut Nabi dan sahabatnya yang sangat dicintai itu. Perjalanan ke Madinah sangat berat dan mencemaskan, namun dengan ketabahan dan kesabaran serta keikhlasan beliau jalani semua dengan tawakkal kepada Allah. []

KH Zakky Mubarak, Rais Syuriyah PBNU