Peristiwa di Balik Hijrah Rasulullah
Hijrah pengertiannya secara etimologis adalah meninggalkan suatu perbuatan,
menjauhkan diri dari pergaulan, pindah dari satu tempat ke tempat lain atau
meninggalkan suatu daerah menuju daerah lain, misalnya berpindahnya orang Badui
(penduduk padang pasir) menuju ke kota-kota (Lisanul Arab, hal. Vo. 15, hal.
121-122). Secara terminologis yang dikaitkan dengan syari’at agama, hijrah itu
pada hakikatnya terdiri dari empat macam.
Pertama, berhijrah dengan meninggalkan semua kegiatan yang dilarang oleh Allah
dan Rasul-Nya, yaitu menghindari segala perbuatan yang tercela yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Berhijrah dalam arti demikian, misalnya
disebutkan dalam hadis Nabi:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ... وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى
اللَّهُ عَنْهُ - رواه البخاري
Dari Abdullah bin ‘Amr radliyallahu 'anh, Rasulullah shallallahu 'anh bersabda:
“... Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan segala apa yang
dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari, No: 9). Dengan demikian, setiap orang yang
telah meninggalkan larangan Allah berarti ia telah melakukan hijrah dalam arti
yang pertama.
Kedua, berhijrah atau mengasingkan diri dari perbuatan dan tingkah laku
orang-orang musyrik dan orang-orang kafir yang selalu memfitnah dan menyakiti
orang-orang Islam. Demikian kerasnya tekanan dan permusuhan orang-orang kafir
dan orang-orang musyrik terhadap orang-orang Muslim, sehingga orang-orang
Muslim itu tidak mampu lagi melaksanakan ajaran agamanya. Apabila terjadi
keadaan seperti ini, maka diwajibkan bagi setiap individu Muslim untuk
berhijrah meninggalkan kaum yang dzalim itu, kecuali apabila mereka tidak
mempunyai kemampuan untuk berhijrah.
Ketiga, berhijrah dari suatu daerah yang diliputi kezaliman, kerusakan,
kehancuran akhlak, dan kemaksiatan yang telah merajalela, menuju daerah yang
lebih baik. Di daerah baru, tempat berhijrah itu diharapkan pelaksanaan ajaran
Islam dapat ditegakkan oleh masyarakatnya, bergaul dengan orang-orang saleh dan
bertakwa. Dengan demikian orang-orang Muslim yang berhijrah itu akan dapat
meningkatkan keimanan dan takwanya kepada Allah. Di daerah baru itu orang-orang
Muslim hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh mengadakan perbaikan dan
pengembangan ajaran Islam.
Keempat, berhijrah dengan sikap mental yang disebut al-hijrah al-qalbiyah,
yaitu dengan jalan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan
dilarang oleh agama, meskipun banyak orang yang di sekelilingnya mengerjakan
keburukan itu. Tugas orang-orang muslim dalam masyarakat seperti ini adalah
berjuang menegakkan nilai-nilai kebenaran Islam menurut kemampuan masing-masing
yang dimilikinya.
Hijrah Rasul yang dimaksud dalam kajian ini adalah hijrahnya Nabi Muhammad
tahun 622 M dari Makkah ke Madinah. Hijrah itu terjadi karena disebabkan oleh
penindasan orang-orang musyrik Quraisy yang luar biasa terhadap Nabi dan para
sahabatnya. Sejak awal bangkitnya dakwah islamiyah yang disampaikan Rasul Muhammad
permusuhan orang-orang musyrik Quraisy terhadap beliau tidak pernah bergeming
setapak pun. Dengan berbagai cara mereka lakukan untuk membendung dakwah Islam,
dari cara yang halus sampai pada cara yang kasar dan sadis. Dari cara-cara yang
masuk akal sampai cara yang tidak masuk akal, tetapi semua usaha mereka gagal
sama sekali.
Cara yang amat halus misalnya, mereka mendatangi Abu Thalib sebagai pemimpin
Quraisy yang amat berwibawa, agar mau membujuk Nabi, keponakan yang sangat
dicintainya. Mereka menawarkan, andaikata dengan gerakan dakwahnya Muhammad
menghendaki harta benda dan emas permata, atau ingin menjadi raja, atau ingin
menikahi wanita-wanita cantik, akan mereka berikan kekayaan yang banyak, mereka
jadikan raja dan mereka pilihkan wanita-wanita cantik untuknya. Hanya saja
mereka mohon agar Muhammad meninggalkan kegiatan dakwahnya.
Bujukan yang teramat halus untuk mematikan dakwah Islam itu dijawab oleh Nabi
dengan jawaban yang tegas dan tak kenal kompromi. Beliau menjawab: “Demi Allah
wahai pamanku! Meskipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan
rembulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan dakwah Islam itu, aku tidak
akan meninggalkannya, sehingga aku mendapat pertolongan dari Allah atau aku
hancur binasa karenanya."
Mendengar jawaban keponakannya yang begitu tegar dalam membela kebenaran agama
Allah, Abu Thalib merasakan adanya keagungan risalah yang dibawanya. Simpatinya
atas Nabi justru bertambah. “Lanjutkan apa yang engkau perjuangkan, dengan
segala kemampuanku aku senantiasa melindungimu,” katanya.
Cara yang tidak masuk akal misalnya, tokoh-tokoh musyrik Quraisy pernah
mendatangi Abu Thalib, mereka mengatakan: “Wahai Abu Thalib, kalau engkau
senantiasa menyayangi dan melindungi Muhammad karena ia memiliki wajah yang
tampan, gagah dan menarik, sekarang kami bawakan seorang pemuda yang kegagahan
dan ketampanannya menyaingi Muhammad. Kami serahkan pemuda ini kepadamu sebagai
pengganti Muhammad dan Muhammad serahkan kepada kami.” Abu Thalib menjawab:
“Wahai para pemimpin Quraisy, diletakkan di mana akalmu? Kamu serahkan anakmu
kepadaku untuk aku pelihara dan aku harus menyerahkan anakku (keponakanku)
untuk engkau bunuh”.
Setelah berbagai tipu daya mereka usahakan untuk mematikan cahaya kebenaran
Islam, semuanya tidak berhasil, terakhir kali mereka mengadakan musyawarah
penting di Dar al-Nadwa. Tempat ini merupakan tempat Qushay ibn Kilab, yang
senantiasa dipakai untuk musyawarah. Di sanalah perkara-perkara penting Quraisy
diputuskan. Musyawarah yang dihadiri oleh wakil seluruh Kabilah Arab itu
mengajukan berbagai pendapat yang beraneka ragam, di antaranya: (1) Muhammad
harus diusir dari kota Makkah; (2) Muhammad harus dimasukkan dalam penjara; (3)
Muhammad harus dibunuh.
Usul yang pertama dan kedua ditolak oleh peserta musyawarah, usaha dengan jalan
itu sia-sia. Karena jika Muhammad diusir, maka akan memberi kesempatan baginya
untuk menyusun kekuatan di luar kota Makkah dengan para sahabatnya, usul ini
dianggap membahayakan. Apabila Muhammad dimasukkan penjara, ia amat tabah dan sabar
dalam menghadapi berbagai musibah, malah akan menimbulkan simpati bagi para
sahabatnya dan mengakibatkan pengikutnya semakin bertambah saja. Usul yang
ketiga dianggap paling tepat, Muhammad harus dibunuh.
Akan tetapi mereka menjumpai kesulitan, kalau salah seorang dari suku tertentu
membunuh Muhammad akan menghadapi pembalasan dari suku Nabi Muhammad, yaitu
suku Abdi Manaf. Masyarakat Arab waktu itu, sangat fanatik terhadap sukunya
masing-masing. Kesulitan itu kemudian dapat mereka atasi dengan jalan menugaskan
bagi setiap suku Arab agar mengirimkan satu utusan untuk membunuh Muhammad
bersama-sama. Dengan demikian suku Abdi Manaf tidak dapat membalas, karena
berhadapan dengan seluruh suku Arab, paling mereka harus membayar denda atau
diyat. Tipu daya kaum musyrik Quraisy yang amat keji, sadis dan tidak mengenal
perikemanusiaan seperti itu, disebutkan al-Qur’an:
وَإِذْ
يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ
يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya
upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau
mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu.
Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (QS. al-Anfal, 8: 30).
Di sisi lain ketika orang-orang Quraisy semakin mengganas, menyiksa dan
menyakiti para sahabat Nabi dengan berbagai siksaan yang menyakitkan, Nabi
menyuruh para sahabat agar berhijrah ke Madinah. Para sahabat Nabi, satu demi
satu secara sembunyi-sembunyi berangkat hijrah ke Madinah, meninggalkan tanah
kelahiran mereka, rumah tempat tinggal dan segala apa yang dicintainya menuju
ridha Ilahi. Mereka semua rela mengorbankan apa saja yang dicintainya termasuk
dirinya sendiri untuk menegakkan agama Allah. Agama yang mengantarkan umat
manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Setelah para sahabat berhijrah, tinggalah sebagian kecil umat Islam di Makkah,
di antaranya Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib yang tinggal serumah dengan
beliau, dan Abu Bakar al-Shiddiq bersama keluarganya. Nabi belum berangkat
berhijrah karena belum ada perintah dari Allah. Ketika orang-orang musyrik
telah siap dengan suatu pasukan yang terdiri dari berbagai kabilah Arab, mereka
bergerak untuk mencari dan membunuh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Pada suatu malam, mereka mengintai Nabi, dan mereka menjumpai Nabi sedang tidur
di atas dipannya yang sederhana. Nabi waktu itu mengenakan “selimut hijau dari
Arabia Selatan”, tepatnya dari Hadramaut. Orang-orang musyrik Quraisy merasa
tenang, mereka yakin malam itu akan dapat membunuh Nabi. Rumah Nabi juga dijaga
ketat, mereka tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan pembunuhan
terhadap Rasul yang amat dicintai para sahabatnya.
Pada malam itu juga Nabi diperintahkan Allah agar segera berhijrah, Jibril a.s.
menyampaikan: “Muhammad janganlah kamu tidur malam ini di tempat tidurmu,
karena sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk berhijrah ke Madinah"
(Ibn al-Atsir al-Kamil fi al-Tarikh, hal. 72).
Setelah menerima perintah untuk berhijrah, Nabi memanggil Ali bin Abi Thalib,
saudara sepupu beliau, yang senantiasa berjuang membela kebenaran, agar ia
mencatat barang-barang berharga milik orang-orang Makkah yang dititipkan kepada
Nabi. Ali segera mencatat satu-persatu dan esok harinya akan disampaikan kepada
pemiliknya. Karena terkenal jujur dan baik, Nabi sering dititipi barang-barang
berharga oleh orang-orang Quraisy. Selesai mencatat barang-barang itu, Nabi
memerintahkan Ali agar tidur di tempat tidurnya, dan mengenakan selimut hijau
dari Hadramaut yang biasa dipakai Nabi (Muhammad Husain Haikal, Hayatu
Muhammad, hal. 210).
Di sini sayyidina Ali melakukan suatu kontrak, bukan kontrak rumah atau jual
beli tanah, akan tetapi kontrak mati. Ali tidur di atas dipan Nabi, juga
menggunakan selimutnya, padahal di luar, pemuda-pemuda Quraisy yang sadis siap
membunuhnya. Akan tetapi Ali k.w. rela mati untuk membela Nabi dan membela
kebenaran. Ali demikian juga sahabat yang lain lebih mencintai Nabi daripada
cintanya terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri.
Malam itu, tanggal 2 Rabi’ul Awwal tahun ketiga belas dari kenabian, bertepatan
dengan 20 Juli 622 M, Nabi berangkat dari rumah untuk berhijrah. (Said
Ramadhan, Fiqh al-Sirah, hal 185). Keberangkatan Nabi dari rumah dilakukan
malam hari setelah lewat dua pertiga malam. Nabi keluar dari rumah, kemudian
mengambil segenggam pasir dan melemparkannya kepada orang-orang Quraisy yang
akan membunuh beliau. Orang-orang Quraisy itu dengan takdir Allah, maka
tertidur sejenak dan tidak mengetahui Nabi pergi meninggalkan rumahnya. Waktu
keluar, Nabi membacakan awal surat Yasin sampai ayat:
وَجَعَلْنَا
مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ
لَا يُبْصِرُونَ
“Dan kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding
(pula), dan kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat."
(QS. Yasin, 36: 9).
Setelah selamat, keluar dari rumah, Nabi terus menemui Abu Bakar. Ternyata Abu
Bakar telah menyiapkan dua ekor unta untuk berhijrah. Malam telah larut,
tinggal sepertiganya, dengan penuh pasrah kepada Allah, Nabi dan Abu Bakar
as-Siddiq berangkat menuju suatu Gua di Bukit Tsur, sebelum berangkat ke
Madinah (Khudri Bek, Nur al-Yaqien, hal 77).
Setelah tinggal di Gua Tsur kurang lebih selama tiga hari, Nabi dan Abu Bakar
al-Siddiq melanjutkan perjalanan berhijrah ke Madinah. Jalan yang ditempuh Nabi
sangat sulit, bukan jalan biasa yang dilalui orang, karena menghindari
pengawasan kaum musyrik Quraisy. Nabi dan Abu Bakar ditemani oleh dua orang
sebagai penunjuk jalan dan yang bertugas mengawal dua ekor unta yang mengangkut
Nabi dan sahabatnya yang sangat dicintai itu. Perjalanan ke Madinah sangat
berat dan mencemaskan, namun dengan ketabahan dan kesabaran serta keikhlasan
beliau jalani semua dengan tawakkal kepada Allah. []
KH Zakky Mubarak, Rais Syuriyah PBNU