Senin, 09 April 2018

Zuhairi: Koalisi Turki, Iran, dan Rusia


Koalisi Turki, Iran, dan Rusia
Oleh: Zuhairi Misrawi

Pertemuan Erdogan (Turki), Rouhani (Iran), dan Putin (Rusia) di Ankara (4/4) untuk membahas masa depan Suriah menjadi peristiwa penting, tidak hanya bagi Suriah yang masih berkecamuk, tetapi juga bagi peta geopolitik di Timur-Tengah.

Kita tahu bahwa sebelum pertemuan bersejarah ini, Muhammad bin Salman (MBS) melakukan kunjungan ke Mesir, Inggris, dan Amerika Serikat. Secara eksplisit dapat dipahami bahwa dalam posisi yang bersebarangan, Arab Saudi bersama dengan Mesir, Inggris, dan Amerika Serikat sebagai kubu tersendiri. Bahkan, hubungan antara Arab Saudi dengan Inggris dan Amerika Serikat juga terkait dengan belanja alat tempur. Di pihak yang sama, Turki dan Iran juga melakukan kerja sama dan pembelian alat tempur dari Rusia.

Yang mengkhawatirkan, MBS dalam kunjungan ke Amerika Serikat menyatakan bahwa tidak menutup kemungkian dalam 10 tahun yang akan datang akan terjadi peperangan antara Arab Saudi dan Iran.

Maka dari itu, peristiwa yang terjadi di Timur-Tengah dalam sebulan terakhir menggambarkan banyak hal. Pertama, isu Suriah akan menjadi lokus pertaruhan yang tidak sederhana. Ada pertarungan yang lebih besar dari sekadar stabilitas politik di Suriah.

Sebelumnya Donald Trump berencana akan menarik pasukan Amerika Serikat dari Suriah, karena misi untuk melawan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) sudah berakhir. Tidak ada alasan untuk memperpanjang keberadaan militer Amerika Serikat di Suriah. Apalagi Trump mempunyai slogan America First, mengingat besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk Suriah.

Namun melihat show of force yang dilakukan Turki, Iran, dan Rusia, Amerika Serikat (AS) dikabarkan menunda rencana penarikan pasukannya. AS akan memperpanjang keberadaan tentaranya di Suriah untuk memberikan dukungan penuh terhadap kelompok oposisi. Bahkan tidak ada batas waktu yang jelas sampai kapan tentara AS akan bertahan di Suriah.

Kedua, perang proksi yang selama ini hanya melibatkan Arab Saudi versus Iran, ada Turki sebagai negara dengan militer dan persenjataan yang paling kuat di Timur-Tengah saat ini. Bahkan Turki menjadi tuan rumah dalam pertemuan tersebut. Itu artinya, Turki sudah mengambil sikap yang jelas.

Turki berada satu grup dengan Iran dan Rusia karena ingin memastikan agar suku Kurdi tidak terlepas dari Turki. Iran, Irak, Suriah, dan Turki mempunyai masalah dengan suku Kurdi karena mereka ingin memisahkan diri dan membentuk negara tersendiri.

Di samping itu, Turki juga kecewa dengan Amerika Serikat yang dianggap melindungi Fathullah Gullen, sosok yang ditengarai oleh Erdogan sebagai dalang kudeta. Bahkan diplomat AS di Turki ditangkap karena dianggap terlibat dalam aksi kudeta yang gagal. Turki memandang AS tidak lagi bisa dipercaya sebagai mitra strategis di Timur-Tengah karena dapat mengancam kedaulatan Turki. Maka dari itu, Erdogan berpaling ke Rusia untuk belanja persenjataan alat tempur.

Ketiga, Israel tidak bisa lagi menganggap Suriah dan Iran sebagai lawan yang biasa-biasa saja. Kedua negara ini mempunyai modal dukungan publik masing-masing. Tetapi yang lebih penting dari itu semua, Israel akan berpikir panjang untuk mengganggu Suriah dan Iran. Ada Rusia dan Turki yang menyokong kedua negara yang dikenal keras menentang Israel.

Selama ini ada kesan, Israel dan Amerika Serikat menggunakan tangan Arab Saudi untuk melawan Iran. Apalagi hubungan antara Arab Saudi dan Israel saat ini sangat mesra menyusul diperbolehkannya wilayah udara Arab Saudi digunakan sebagai lalu-lintas maskapai Israel dari dan ke India. Banyak pihak yang menyatakan, bahwa semua di Timur-Tengah akan menjadi musuh Arab Saudi, kecuali Israel dan Mesir.

Maka dari itu, Bashar al-Assad bisa bernapas, bahkan tersenyum lebar. Setidaknya ia tidak sendiri untuk mempertahankan kekuasaannya dan menjadikan Suriah seperti sebelum terjadinya protes dari oposisi pada tahun 2011 lalu. Dukungan dari Iran, Rusia, dan Turki membuktikan ia sebagai pemimpin yang berhasil mengendalikan keamanan dan stabilitas politik.

Yang menarik dari pertemuan ketiga pemimpin dunia tersebut, yaitu memastikan hasil pertemuan di Sochi, Rusia pada 31 Januari lalu dapat diimplementasikan di Suriah. Ada 12 kesepakatan yang ditandatangani, yang di antaranya memberikan mandat kepada Bashar al-Assad untuk memulihkan kembali stabilitas politik di Suriah yang tidak terpecah-belah dan menjadikan demokrasi sebagai instrumen untuk menjadikan pilihan rakyat sebagai penentu bagi masa depan Suriah.

Iran, Turki, dan Rusia sepakat untuk menjadikan Suriah sebagai wilayah yang bebas dari anasir-anasir terorisme dan para pemberontak yang ingin menjadikan Suriah sebagai negara yang terus-menerus berada dalam goncangan. Karenanya, mereka tidak akan pernah menolerir para pemberontak atau oposisi yang menggunakan senjata untuk menghadapi krisis politik.

Sebenarnya tidak hanya Suriah yang mendapatkan keuntungan dari koalisi tersebut, melainkan Iran juga semakin menunjukkan kemenangan dalam membangun kekuasaan besar yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Asa Arab Saudi untuk menyerang Iran hampir bisa dipastikan tidak akan pernah terwujud, karena Iran telah berhasil membangun koalisi dengan Turki, Suriah, dan Rusia.

Hemat saya, pertemuan Erdogan, Rouhani, dan Putin mempunyai makna simbolik sebagai penyeimbang dari kekuatan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang selama ini cenderung memainkan peran destruktif bagi stabilitas politik di Timur-Tengah. Walhasil, AS tidak akan mudah mendikte negara-negara yang selama ini mengambil jalan menentang bagi kebijakan AS di Timur-Tengah.

Timur-Tengah membutuhkan stabilitas politik dan intervensi negara-negara Barat yang dalam sepuluh dekade terakhir telah menyebabkan perpecahan di kawasan. Salah satunya berdirinya negara Israel yang menyebabkan negara-negara Timur-Tengah terlibat dalam perang proksi.

Pertemuan Erdogan, Rouhani, dan Putin akan menjadi koalisi yang dapat menjadikan Timur-Tengah bisa menemukan keseimbangan baru. Setidak-tidaknya Israel dan Amerika Serikat tidak akan mudah memecah-belah Timur-Tengah hingga berkeping-keping. []

DETIK, 05 April 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar