Kamis, 26 April 2018

Mahfud MD: Berhukum Pancasila


Berhukum Pancasila
Oleh: Moh Mahfud MD

DALAM perjalanan bangsa yang telah mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara terkadang masih ada yang agak usil, ingin memberlakukan hukum agama tertentu sebagai hukum negara, padahal Indonesia bukan negara agama. Dasar dan bangunan negara Indonesia merupakan jalan tengah (prismatika) antara paham negara Islam dan paham negara kebangsaan. Istilah prismatika bisa diartikan sebagai jalan tengah antara dua paham yang sebenarnya saling bertentangan, tetapi diambil unsur-unsurnya yang baik untuk dipertemukan dalam satu konsepsi.

Untuk konteks Indonesia, misalnya, ada jalan tengah antara negara kapitalisme dan komunisme dan jalan tengah antara paham negara agama dan paham negara sekuler. Itulah negara Pancasila.

Pada mulanya memang ada dua kelompok utama di kalangan pendiri Negara Indonesia yang menghendaki dasar negara yang berbeda. Kelompok yang pertama adalah kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara kebangsaan sekuler, sedangkan kelompok yang satunya adalah kelompok yang mengehendaki Indonesia menjadi negara Islam.

Kelompok yang menghendaki Indonesia dijadikan negara Islam berargumen bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah orang-orang Islam, sedangkan kelompok yang menghendaki negara kebangsaan sekuler beralasan bahwa penduduk Indonesia ini tidak semuanya Islam. Harus diketahui, kelompok pendukung negara sekuler sebagian besar juga beragama Islam, bahkan juga tercatat sebagai orang-orang Islam yang taat, seperti Soekarno, Hatta, Yamin. Mereka adalah penganut-penganut Islam yang taat, tetapi dalam hal paham bernegara mereka memilih jalur inklusif.

Setelah melalui perdebatan yang panjang dan penuh retorik, akhirnya disepakati bahwa Indonesia didirikan bukan sebagai negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia disepakati sebagai negara kebangsaan yang berketuhanan (religious nation state). Di dalam negara Pancasila yang berpaham “religious nation state” ini, negara tidak memberlakukan hukum agama tertentu, tetapi harus memberikan perlindungan (proteksi) terhadap warga negara yang ingin beribadah menurut ajaran agamanya masing-masing.

Artinya, dalam masalah hubungan antara negara dan agama dapat dirumuskan bahwa “negara tidak memberlakukan hukum agama, tetapi melindungi warganya yang ingin beribadah menurut agamanya masing-masing”. Dari sudut hukum, Pancasila sebagai dasar ideologi negara menjadi sumber dari segala sumber hukum yang kemudian melahirkan hukum-hukum nasional.

Hukum nasional Indonesia tidak didasarkan pada satu agama tertentu, tetapi merupakan produk eklektisasi (pencampuran) dari nilai-nilai berbagai agama dan kultur yang kemudian dijadikan hukum nasional.

Hukum nasional adalah produk kesepakatan bersama yang diolah melalui lembaga legislatif baik legislatif nasional maupun legislatif daerah-daerah. Hukum nasional yang berlaku sama bagi semua warga negara dan diberlakukan oleh negara ini adalah bidang-bidang hukum publik seperti hukum tata negara, hukum pidana, hukum lingkungan. Ada bidang hukum perdata dan peribadatan mahdhah (ritual) berlaku hukum agama masing-masing bagi para pemeluknya secara sukarela berdasarkan kesadaran hukumnya.  

Masalah keperdataan tertentu dalam hukum agama bisa saja dijadikan hukum nasional sepanjang disahkan lebih dulu di lembaga legislatif. Itu pun bukan memberlakukan hukumnya secara mutlak, melainkan mengatur proses perlindungannya bagi mereka yang mau melaksanakannya dengan sukarela.

Contoh yang bisa disebut dalam hal ini adalah adanya UU tentang Haji, UU tentang Zakat, Ekonomi Syariah, dan sebagainya. Semua itu bukanlah memberlakukan hukumnya melainkan memberikan mekanisme perlindungan bagi yang ingin melaksanakan ibadah menurut agamanya masing-masing.

Dengan demikian, penegakan hukum agama dalam bidang perdata dan peribadatan di Indonesia tidak dapat dilakukan dengan paksaan oleh aparat negara melalui ancaman sanksi heteronom, tetapi boleh sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan kesukarelaan sendiri. Hukum-hukum perdata Islam yang sudah menjadi fiqh (Islamic jurisprudence) dan fatwa ulama boleh ditaati karena diyakini benar dan baik oleh kaum muslimin, tetapi pelaksanaannya tidak bisa dilakukan aparat penegak hukum negara.

Sanksi yang berlaku bagi pelanggaran hukum agama hanyalah sanksi otonom, yakni sanksi dalam bentuk  derita batin seperti merasa berdosa, malu, gelisah, merasa mendapat karma, dan sebagainya, yang datang dari hati masing-masing yang dalam konsep agama disebut sebagai dosa.

Hukum Islam di Indonesia tidak harus menjadi hukum formal yang resmi diberlakukan oleh negara, tetapi bisa menjadi hukum yang hidup (living law). Hukum yang hidup mempunyai dua arti, yakni norma-norma yang ditaati meskipun tidak diberlakukan secara resmi oleh negara dan hukum-hukum yang bersifat kenyal (fleksibel) sehingga selalu bisa diaktualkan dengan perkembangan zaman.

Seperi dikemukakan di atas, terkadang, seperti yang terjadi belakangan ini, ada gerakan yang ingin menggantikan negara Pancasila dengan negara Islam dalam apa yang disebut khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam. Alasannya, Indonesia telah gagal membangun kesejahteraan masyarakat, gagal memberantas kemiskinan dan kesenjangan sosial, gagal memberantas korupsi, dan gagal menegakkan hukum dan keadilan, dan sebagainya.

Berdasarkan jelajah atas sejarah pemikiran dan praktik bernegara di kalangan kaum muslimin, saya berpendapat sistem pemerintahan di Indonesia berdasarkan Pancasila adalah sistem yang secara syar’i tidak bertentangan dengan Islam, karena ia merupakan produk ijtihad dari ulama-ulama Indonesia setelah berjuang secara maksimal untuk ikut merumuskan dasar dan konstitusi negara. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila adalah produk kesepakatan luhur yang dalam istilah agamanya disebut “mietsaqon ghliedza” atau modus vivendi yang harus ditaati.

Adapun masalah ketidakpuasan atas fakta tentang kesenjangan sosial dan ekonomi, korupsi, dan ketidakadilan hukum tidak bisa dijadikan alasan untuk mengganti dasar dan sistem pemerintahan, sebab itu semua lebih disebabkan oleh integritas moral penyelenggara negara.

Di negara-negara kaum muslimin atau di dalam khilafah yang pernah ada sekali pun, banyak juga pelanggaran moral dan kegagalan pemerintahan dalam menegakkan hukum, keadilan, dan kesejahteraan sosial. Jadi, masalah kita terletak pada integritas moral yang tampaknya sedang terserang oleh penyakit mental yang kronis sekaligus akut. []

KORAN SINDO, 21 April 2018
Moh Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar