Lima Hak Asasi Manusia dalam Islam
Sejarah mencatat bahwa Musyawarah Nasional Alim
Ulama yang digelar Nahdlatul Ulama pada 17-20 November 1997 di Nusa Tenggara
Barat menghasilkan sejumlah keputusan penting. Beberapa persoalan yang
didiskusikan antara lain nasbul Imam dan demokrasi, hak asasi manusia dalam
Islam, kedudukan wanita dalam Islam, dan reksadana.
Persoalan-persoalan yang disebut di atas masuk
dalam kajian Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudlu’iyah yang fokus pada rumusan
konseptual. Berbeda dari bahtsul masail diniyah waqi‘iyah yang berorientasi
menemukan ketegasan status hukum “halal-haram”, bahtsul masail diniyah
maudlu’iyah mengaji tema-tema spesifik untuk dijelaskan secara
deskriptif-naratif.
Terkait hak hak asasi manusia dalam Islam
(al-huquq al-insaniyyah fil islam), musyawirin menjelaskannya dengan merujukkan
pada ulasan-ulasan yang pernah disinggung para ulama klasik ketika menjelaskan
tentang filosofi hukum Islam. Keterangan ini antara lain bisa ditemukan
kitab-kitab ushul fiqh seperti Al-Mustashfa min Ilm al Ushul karya Hujjatul
Islam Abu Hamid al-Ghazali. Imam al-Ghazali menyebutnya maqâshidusy syarî‘ah
(pokok-pokok yang menjadi tujuan syariat).
Berikut adalah kutipan lengkap hasil keputusan
Munas Alim Ulama yang diberlangsung di Pondok Pesantren Qomarul Huda Bagu,
Pringgarata, Lombok Tengah itu mengenai hak asasi manusia dalam Islam:
Islam merupakan ajaran yang menempatkan manusia
pada posisi yang sangat tinggi. Bahkan al-Qur’an menjamin adanya hak pemuliaan
dan pengutamaan manusia. Firman Allah SWT:
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ
مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al-Isra’: 70)
Dengan demikian manusia memiliki hak al-karâmah
dan hak al-fadlîlah. Apalagi misi Rasulullah adalah rahmatan lil alamin, di
mana kemaslahatan/kesejahteraan merupakan tawaran untuk seluruh manusia dan
alam semesta.
Elaborasi (pengejawantahan) misi di atas
disebut sebagai ushul al-khams (lima prinsip dasar) yang melingkupi hifdhud
dîn, hifdhun nafs wal ’irdl, hifdhul aql, hifdhun nasl dan hifdhul mal.
Hifdhud dîn memberikan jaminan hak kepada umat
Islam untuk memelihara agama dan keyakinannya (al-din). Sementara itu Islam
juga menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang bersifat lintas
etnis, oleh karena itu Islam menjamin kebebasan beragama, dan larangan adanya
pemaksaan agama yang satu dengan agama lainnya.
Hifdhun nafs wal ’irdh memberikan jaminan hak
atas setiap jiwa (nyawa) manusia, untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Dalam
hal ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar (hak atas
penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan, dan keselamatan, bebas dari
penganiayaan dan kesewenang-wenangan.
Hifdhul ‘aql adalah adanya suatu jaminan atas
kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan opini,
melakukan penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini Islam
melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan ekstasi,
minuman keras dan lain-lain.
Hifdhun nasl merupakan jaminan atas kehidupan
privasi setiap individu, perlindungan atas profesi (pekerjaan), jaminan masa
depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Free sex,
zinah menurut syara’, homoseksual, adalah perbuatan yang dilarang karena bertentangan
dengan hifdh al-nasl.
Hifdhul mâl dimaksudkan sebagai jaminan atas
pemilikan harta benda, properti dan lain-lain. Dan larangan adanya tindakan
mengambil hak dari harta orang lain, seperti mencuri, korupsi, monopoli,
oligopoli, monopsoni dan lain-lain.
Lima prinsip dasar (al-huquq al-insaniyyah) di
atas sangatlah relevan dan bahkan seiring dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi
manusia (HAM). Di samping itu, Islam sebagai agama tauhid, datang untuk
menegakkan kalimat Lâ ilâha illallâh, tiada Tuhan selain Allah. Suatu
keyakinan (aqidah) yang secara transendental, dengan menisbikan tuntutan
ketaatan kepada segenap kekuasaan duniawi serta segala perbudakan manusia
dengan berbagai macam jenis kelamin, status sosial, warna kulit dan lain sebagainya.
Keyakinan semacam ini jelas memberikan kesuburan bagi tumbuhnya penegakan HAM
melalui suatu kekuasaan yang demokratis.
Oleh karena itu, Munas Alim Ulama
merekomendasikan kepada PBNU agar rumusan-rumusan HAM yang bersifat substansial
ini, menjadi sebuah konsep yang utuh untuk memperjuangkan terwujudnya al-huquq
al-insaniyyah (HAM) secara aktif dan sungguh-sungguh di bumi Indonesia. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar