Indonesia Bubar? (1)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Anak bangsa ini memang mudah heboh dan gaduh ketika mendengar
pernyataan seorang tokoh partai: Indonesia akan bubar pada 2030! Padahal,
pernyataan itu hanyalah berdasarkan novel Ghost
Fleet, karya fiksi dua penulis Amerika.
Saya tidak tahu mengapa karya yang hanya selintas menyinggung
Indonesia telah bikin geger bangsa ini. Apakah memang kita sedang
menyembunyikan perasaan cemas tentang hari depan Indonesia? Saya sendiri memang
pernah pula mengatakan bahwa jika kita tidak hati-hati dan gagal mengelola
keragaman Indonesia yang kaya ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa bangsa ini
akan masuk museum sejarah pada suatu hari.
Pernyataan-pernyataan sejenis ini sesungguhnya adalah peringatan,
khususnya kepada elite politik yang belum juga mau naik kelas menjadi
negarawan. Energi mereka ini habis terkuras untuk “berebut tulang”, apakah itu
mengakali APBN/APBD, BUMN/BUMD, dan sumber-sumber negara lainnya.
Mentalitas parasit semacam itulah yang merusak tatanan demokrasi
kita yang memang belum menemukan bentuknya yang pas, sekalipun telah mengalami
uji coba berkali-kali: DL (Demokrasi Liberal, 1945-1957), DT (Demokrasi
Terpimpin, 1959-1966), DP (Demokrasi Pancasila, 1966-1998), DTN (Demokrasi
Tanpa Nama, 1998-sekarang).
DL dinilai tidak berhasil membangun sistem demokrasi yang sehat
karena dominasi partai politik demikian kuat, lalu digantikan dengan DT sekitar
enam tahun. DT pun gagal menerjemahkan mimpi besarnya dan kemudian berakhir
dengan prahara nasional berupa ledakan G-30-S/PKI dan reaksi terhadapnya yang
menelan korban yang tidak sedikit.
Kekuasaan pencipta DT pun turut larut dilanda angin topan
perubahan yang tak terbendung, sedangkan pemikiran-pemikiran besarnya yang
autentik bertahan sampai hari ini karena memang disarikan dari pengalamannya
sebagai bapak bangsa dan negara dalam berbagai situasi sejak zaman kolonial.
Karena jasanya yang teramat besar dibandingkan dengan kelemahan-kelemahannya,
maka upaya Orba (Orde Baru) untuk mengecilkannya berujung dengan kegagalan total.
Di atas reruntuhan DT, dibangunlah DP di bawah pimpinan seorang
jenderal Angkatan Darat yang berlangsung sampai 32 tahun, rezim terlama
sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia. Rezim Orba ini telah berhasil sampai
batas tertentu meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga sebagian orang
sekarang masih saja terpukau oleh mantra: ”Piye kabare, le? Penak jamanku tho!”
Masa awal rezim ini dihadapkan kepada fakta tentang negara ini
yang nyaris bangkrut. Saat itu Indonesia termasuk negara termiskin di dunia.
Lautan penderitaan rakyat terlihat di mana-mana. Cari makan sulit, cari
pekerjaan sukar. Keluhan terdengar di seluruh negeri, tetapi tak berdaya untuk
berbuat sesuatu.
Pada tahun 1966/1967, inflasi membengkak sampai 650 persen,
pendapatan per kepala per tahun bergerak sekitar 70 dolar AS. Politik nasional
kacau, ekonomi berantakan, tingkat pengangguran sangat tinggi. Beban bangsa,
negara, dan rakyat memang berat sekali.
Tetapi, dengan segala malapetaka yang hampir tak tertanggungkan
itu, Indonesia masih tidak bubar, ikatan kebangsaan kita masih kuat, berkat
Sumpah Pemuda 1928 yang didahului oleh perjalanan panjang pergerakan nasional.
Modal sosial dan kultural untuk bertahan sebagai bangsa cukup besar
sekalipun belum sempurna. Bangsa ini masih dalam proses “menjadi”, belum jadi
betul 100 persen. Itulah sebabnya mesti dijaga dan dirawat terus-menerus, tanpa
henti, tanpa lelah.
Di era DP, pembangunan nasional dijalankan dengan gencar
berdasarkan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) demi Repelita. Pada satu
sisi, hasilnya cukup menggembirakan, tetapi pada sisi yang lain, kerusakan
lingkungan akibat pembangunan itu juga luar biasa. Pintu dibuka lebar-lebar
untuk penanaman modal asing demi pembangunan nasional.
Ternyata dalam perjalanannya, negara tidak mampu mengawasi
kelakuan modal asing ini. Akibatnya, rezim Orba mulai terancam untuk kemudian
penguasanya harus turun takhta pada Mei 1998 yang didahului oleh krisis moneter
yang dahsyat. []
REPUBLIKA, 03 April 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar