Menggeledah Gerakan
Hizbut Tahrir
Penulis
: Mohammad
Nuruzzaman
Penerbit
: Belibis Pustaka,
Yogyakarta
Cetakan
: Pertama, 2017
Tebal
: 144 Halaman
ISBN
: 978-602-6940-62-9
Fatwa-fatwa penolakan
ulama terhadap Hizbut Tahrir (HT) yang diduga terlibat dalam serangkaian teror
dan kekerasan atas nama agama di belahan dunia mendapat perhatian sejumlah
kalangan, baik dari agamawan, aktivis keagamaan, bahkan pengamat politik.
Dalam kenyataan
sejarah yang selalu terjadi berulang kali, bahwa agama sama sekali memang tidak
dapat steril dan bersih dari berbagai hasrat dan kepentingan manusiawi,
sehingga dalam titik tertentu agama kerap kali ditunggangi, demi interest dari
kelompok tertentu. Agama menjadi semacam legitimasi sikap polaris dan
kepentingan suatu kelompok.
Walaupun Hizbut
Tahrir menentang ideologinya dikait-kaitkan dengan kekerasan dan terorisme,
pada kenyataannya, anggota-anggota mereka dididik dan terlibat langsung pada
kekerasan tersebut. Anti-terorisme hanya lipstik dan topeng semata.
Peristiwa 31 Juli
2006, dua bom ditemukan di kereta api Jerman. Keduanya ditemukan tersembunyi di
dalam koper sementara kereta sedang bergerak. Disusul tragedi tanggal 19
Agustus, Youssef Mohammed al-Hajdib, seorang pelajar Muslim Lebanon berusia 21
tahun, ditangkap di stasiun kereta api Kiel. Dia didakwa dengan percobaan
pembunuhan, termasuk organisasi teroris dan berusaha menyebabkan ledakan.
Kemudian pada tanggal 25 Agustus orang kedua-seorang Suriah bernama Fadi
Al-Saleh-ditangkap. Keduanya telah ditangkap di Lebanon. Salah satu tersangka
yang ditahan di Lebanon, yang memakai nama kode "Hamza," ditemukan
sebagai anggota Hizbut Tahrir.
Pertanyaannya,
bagaimana menguji kebenaran asumsi dan stereotip negatif itu? Buku ini selain
memberikan informasi penting seluk-beluk percobaan-percobaan kudeta gagal dan
serangkaian teror kekerasan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, juga menyediakan
ruang dialektika-kritis bagi pembacanya, bagaimana mestinya kita menyikapi
gerakan yang mengusung misi khilafah Islamiyah itu.
Mohammad Nuruzzaman,
penulisnya terlihat bersemangat dan berapi-api mengeksplorasi bahasan tema
dalam buku yang mempunyai ketebalan 144 halaman dan 5 sub bab ini. Hal itu
kemudian mendapat apresiasi dari Ketua PP GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, karena
dirasa buku ini sangat penting untuk dibaca masyarakat Indonesia, Gus Yaquf
menganggap buku ini sebagai upaya untuk membentengi aqidah masyarakat juga
sebagai bentuk upaya untuk tetap menjaga keutuhan NKRI.
Buku yang ditulis
Nuruzzaman ini menjadi salah satu karya yang berhasil memotret dan
merekam agenda-agenda tersembunyi Hizbut Tahrir di seluruh penjuru dunia secara
kritis dan komprehensif. Pada bab pertama, dijelaskan aspek historis, doktrin
yang diajarkan oleh Mohammed Tagiuddin al-Nabhani.
Menurut Michael R
Fischbach, pendirian Hizbut Tahrir al-Nabhani datang bersamaan dengan resminya
Ikhwanul Muslimin. Dia menjadi kecewa dengan Ikhwanul Muslimin (Moslems
Brotherhood) karena memiliki hubungan erat dengan pendirian Yordania. Jordan
tidak pernah berusaha untuk melarang MB, dimana ia beroperasi dengan nama
Islamic Action Front. MB telah mengirim banyak pejuang melawan Israel dan
awalnya berkolusi dengan kudeta “Pejabat Bebas” di Mesir, yang berlangsung pada
tanggal 23 Juli 1952. Pada bab ini Nuruzzaman juga memberikan perhatian khusus
sehingga tersaji secara sistematis, runtut, dan dramatis.
Menurut Nuruzzaman,
buku ini dilandasi beberapa faktor penting. Salah satunya yaitu adanya anggapan
masyarakat yang menilai bahwa keputusan pembubaran HTI oleh Kementerian Hukum
dan HAM adalah tindakan yang salah karena melarang dakwah Islamiyah di
negaranya sendiri. Padahal secara tegas Ketua MUI, KH Maaruf Amin mengatakan,
“Sekarang HTI itu dipertanyakan komitmen kebangsaannya oleh pemerintah. Karena
mereka mengusung isu Khilafah. HTI memang pantas untuk dibubarkan.” (Back
Cover-Endorsement).
Pada bab kedua,
Nuruzzaman membongkar keterlibatan Hizbut Tahrir dalam kekerasan dan
pengeboman. Peristiwa memilukan, Asif Hanif dari Hounslow, berhasil meledakkan
dirinya. Dia membunuh tiga orang dan melukai 65 lainnya. Temannya, Omar Sharif
dari Derby, tidak bisa meledakkan ikat pinggangnya dan melarikan diri. Mayatnya
yang membusuk ditemukan mengambang di laut 12 hari kemudian. Kedua orang
tersebut dikaitkan dengan kelompok radikal Al Muhajiroun, yang berevolusi dari
Hizbut Tahrir. Omar Sharif dijadikan radikal oleh HT di universitas, dan
menerima surat elektronik dari kelompok tersebut sampai saat dia mencoba
meledakkan dirinya.
Hizbut Tahrir, tentu
saja, mengklaim bahwa itu tidak ada hubungannya dengan mereka. Perpecahan bekas
Uni Soviet telah menciptakan negara-negara di Asia Tengah yang sejak
pertengahan 1990-an menjadi rentan terhadap kemajuan Hizbut Tahrir dan
"teologi pembebasan" militannya.
Pada bagian ketiga
dalam buku ini mengungkap dilema pelarangan Hizbut Tahrir. Nuruzzaman
mengatakan “Kita harus memulai dari Inggris, karena di sanalah pusat Hizbut
Tahrir berdiri.” Persoalan yang dihadapi oleh Inggris dilematis. Sehingga usaha
membubarkan Hizbut Tahrir tidak gampang seperti membalik telapak tangan.
Hizbut Tahrir
dilarang hampir di semua negara Arab di Timur Tengah, seperti Yordania, Suriah,
Lebanon, dan Mesir. Gerakan ini dilarang di Tunisia, Libya, dan juga Turki.
Mereka dianggap sebagai ancaman, dan bahkan dilarang di Arab Saudi dan juga di
Pakistan, yang sudah merupakan klimaks ekstremisme. Aliran ini dilarang di
semua negara bekas jajahan Soviet di Asia Tengah. Sejak Februari 2003 mereka
telah dilarang di Rusia. Mereka juga telah dilarang di Jerman karena
anti-Semitisme dan keinginannya menggunakan kekuatan untuk tujuan politik.
Sejak Maret 2003, mereka juga dilarang di Belanda. Sayangnya, masih saja ada
negara-negara yang mengalami dilema untuk melarang keberadaan Hizbut Tahrir.
Kesimpulan yang
menarik diberikan oleh Nuruzzaman pada bab ketiga ini adalah bagaimanapun,
ideologi Hizbut Tahrir dianggap berbahaya oleh para penguasa dengan sistem
pemerintahan yang kontra khilafah. Ideologi itu dianggap berbahaya karena
menyimpan potensi revolusi. Apabila revolusi terjadi, maka tidak tertutup
kemungkinan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan. Hampir negara-negara
yang melarang Hizbut Tahrir melihat percik-percik revolusi berupa kekerasan
muncul ke permukaan.
Di bab keempat,
diskusi tentang bagaimana fatwa-fatwa penolakan ulama dunia terhadap Hizbut
Tahrir. Dalam sinopsis bukunya, Nuruzzaman memantik pembahasan fatwa-fatwa
penolakan itu dengan tegas dan lantang. “Para ulama Muslim di berbagai penjuru
dunia tidak setuju dengan gagasan dan misi yang dibawa oleh Hizbut Tahrir.
Menurut ulama’; Asia, Timur Tengah, Eropa, bahkan Australia, Rusia, dan
sekitarnya secara tegas mengatakan bahwa konsep khilafah Hizbut Tahrir bukan
malah mempersatukan umat Islam tetapi malah akan memecah belah umat Islam.
Apalagi Hizbut Tahrir mengharamkan demokrasi, nasionalisme, dan patriotisme.
Jika Hizbut Tahrir dibiarkan jelas akan memicu perpecahan di tengah masyarakat.
Pada bab terahir,
Nuruzzaman mencurahkan tenaga dan pikiran untuk melakukan kajian kritis atas
ideologi dan citra Hizbut Tahrir Indonesia. Ia mengaku bahwa mengkritik
ideologi khilafah yang diusung Hizbut Tahrir, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia,
bukan perkara mudah. Sebab, organisasi ini mencitrakan dirinya terus-menerus
sebagai organisasi yang anti-terorisme, dan diam-diam mendukung aksi kekerasan,
intoleransi, dan anti-pluralisme, juga anti-demokrasi.
Pandangan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) atas Pancasila, memang menarik dan mengandung
kontradiksi. Di satu sisi, mereka menyebut Pancasila sebagai "ideologi
kufur" yang harus ditolak karena ketidaksempurnaan Pancasila dalam dirinya
sendiri. Di sisi lain, mereka menerima Pancasila sebagai seperangkat falsafah (set
of philosophy).
Di tahun 1990, secara
eksplisit HTI mengkafirkan Pancasila. Kemudian pada tahun 2012, HTI
menghaluskan pandangannya dengan menyebut Pancasila sebagai set of
philosophy: rangkaian filsafat buatan manusia.
Ismail Yusanto
mengatakan karena Pancasila mengakomodir pluralisme agama. Hal ini terdapat
pada sila Persatuan Indonesia yang menjaga dan menghormati kemajemukan bangsa,
salah satunya kemajemukan agama. Penghargaan atas kemajemukan agama ini
bertentangan dengan prinsip HTI yang menekankan kebenaran tungal agama Islam.
Kedua, karena Pancasila berisi kemajemukan ideologi-ideologi non-Islam, seperti
sosialisme, demokrasi, dan nasionalisme. Padahal menurut HTI, mabda’ yang
paling benar adalah mabda’ Islam. Dengan argumentasi itulah, maka Pancasila
adalah "falsafah kufur" yang bertentangan dengan Islam.
Bagi Hizbut Tahrir
Indonesia, Pancasila adalah gagasan filosofis yang baik. Hanya saja sebagai set
of philosophy, ia tidak mencukupi (not suffictient) untuk mengatur
tata pemerintahan di Indonesia. Mengapa? Selain karena jumlahnya yang hanya
lima sila, Pancasila hanya merupakan gagasan filosofis yang tidak memiliki
keturunan sistemik di dalam realitas politik. Turunan sistemik ini menyangkut
sistem hukum yang mewujudkan keadilan sosial, sistem politik yang mendukung
kerakyatan, sistem ekonomi yang mendukung kesejahteraan, dsb. Dengan tidak
adanya rumusan sistem sebagai ejawentah dari Pancasila ini, maka set of
philosophy tersebut tidak mencukupi dalam ketatanegaraan dan tata poitik.
Intinya, karya
Nuruzzaman ini merupakan kajian komprehensif dan kritis. Secara khusus buku ini
juga berusaha menggeledah gerakan Hizbut Tahrir beserta agenda tersembunyi dan
implikasi politik internasionalnya. Selamat membaca. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar