Selasa, 17 April 2018

(Hikmah of the Day) Mbah Ngis, Sudut Pandang, dan Kerendahan Hati


Mbah Ngis, Sudut Pandang, dan Kerendahan Hati

Dalam tradisi masyarakat Jawa, bagaimana seseorang memanggil orang lain sangat ditentukan oleh hubungan di antara mereka. Orang yang lebih muda atau lebih rendah memanggil orang yang lebih tua atau di atasnya harus dengan embel-embel tertentu seperti “Mbak”, “Mas”, “Paklik”, “Bulik”, “Pakde”, “Bude”, dan sebagainya. 

Sebaliknya orang yang lebih tua atau lebih tinggi, boleh memanggil orang yang lebih muda atau di bawahnya tanpa embel-embel apa pun sehingga cukup menyebut namanya saja. Namun, bagi Mbah Ngismatun Sakdullah Solo (wafat 1994)—biasa dipanggil Mbah Ngis—tradisi ini bisa tidak berlaku karena Mbah Ngis biasa menggunakan sudut pandang lain sehingga memungkinkannya memanggil orang yang lebih muda atau di bawahnya dengan embel-embel di atas.

Mbah Ngis adalah adik dari Mbah Umar, Mbah Mustaqimah, Mbah Muslihah, Mbah Nidzom Mbah Jisam, dan sebagainya. Mbah Ngis biasa memanggil Mbah Mustaqimah dan Mbah Muslihah dengan embel-embel “Bude”; dan memanggil Mbah Umar dengan embel-embel “Pakde”. Demikian pula ketika memanggil Mbah Nidzom dan Mbah Jisam. 

Padahal Mbah Ngis seharusnya atau sewajarnya, memanggil beliau-beliau itu cukup dengan “Mbak” atau "Yu", “Mas” atau “Kang” karena Mbah Ngis adalah adik. Sudut pandang yang digunakan Mbah Ngis memanggil beliau-beliau dalam hal ini adalah sudut pandang anak-anak Mbah Ngis sehingga memungkinkannya memberikan penghormatan yang lebih tinggi sekaligus untuk “mbasakke” anak-anak sendiri.

Terhadap para keponakan dari putra-putri Mustaqimah, Mbah Muslihah, Mbah Nidzom, Mbah Jisam, dan sebagainya,  Mbah Ngis selalu memanggil mereka “Mas” atau “Mbak”, padahal seharusnya atau sewajarnya Mbah Ngis memanggil mereka cukup dengan menyebut namanya saja karena bagaimanapun Mbah Ngis adalah bibi bagi mereka. Tetapi Mbah Ngis memilih menggunakan sudut pandang anak-anak sendiri bukan saja untuk “mbasakke” mereka tetapi lebih dari itu Mbah Ngis ingin memberikan penghormatan atau penghargaan yang lebih tinggi. 

Apalagi banyak dari keponakan-keponakan Mbah Ngis adalah orang-orang terpandang di komunitas masing-masing, seperti menjadi pengasuh pesantren atau pemuka agama di masyarakat. Tidak jarang bahasa yang digunakan Mbah Ngis untuk berbicara dengan para keponakan yang sudah berkeluarga adalah bahasa Jawa krama hinggil.

Demikian pula cara Mbah Ngis memanggil adiknya sendiri yang bernama Mbah Umi. Mbah Ngis selalu memanggil beliau “Lik Umi” atau “Bulik Umi”. Tentu saja sudut pandang yang digunakan Mbah Ngis adalah sudut anak-anak sendiri yang bukan saja untuk “mbasakke” mereka tetapi lebih dari itu memberikan penghargaan yang lebih tinggi.

Terhadap orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan, Mbah Ngis tetap berusaha memanggilnya dengan embel-embel tertentu. Misalnya, kepada para tetangga atau relasinya, Mbah Ngis memanggil mereka “Pak”, “Bu” atau “Mbok” bagi mereka yang sudah berkeluarga. 

Kepada yang masih muda dan belum keluarga, Mbah Ngis biasa memanggil mereka dengan embel-embel “Mas”, “Kang” atau “Mbak”. Bahkan kapada para santri di pondok yang masih remaja atau anak-anakpun, Mbah Ngis tidak jarang memanggil mereka “Mas”, atau “Mbak”.

Tidak hanya itu, kepada anak tertua Mbah Ngis selalu memanggilnya “Mbak” dan “Mas” untuk suaminya. Hal ini selain untuk “mbasakke” adik-adik dari anak-anak tertua tersebut juga untuk memberikan penghargaan yang lebih tinggi.

Singkatnya, Mbah Ngis selalu mencari celah bagaimana bisa menghormati atau menghargai orang lain dalam hal memanggil dengan cara menggunakan sudut pandang atau posisi yang lebih rendah dari posisinya sendiri. Mbah Ngis jarang memanggil orang lain dengan embel-embel “Nduk”, “Le” atau “Dik” karena Mbah Ngis sering kali tidak ingin menunjukkan posisinya yang lebih tinggi dari pada orang lain. 

Mbah Ngis memang orang Jawa yang rendah hati (tawadhu’) dan senantiasa berhati-hati dalam tindak-tanduk hingga nyaris tidak ada orang lain yang merasa pernah direndahkannya. Mbah suka menjunjung tinggi akhlak mulia yang islami. 

Sebuah syair bahasa Arab berbunyi: 

تواضع تكن كالنجم لاح لناظر *** على صفحات الماء وهو رفيع
ولاتكن كالدخان يعلو بنفسه *** على طبقات الجو وهــو  وضيع

Artinya: 

“Tawadhu'lah, maka  engkau akan seperti bintang yang terlihat rendah di permukaan air tapi sesungguhnya ia tinggi di langit.”

“Dan janganlah engkau seperti asap yang meninggi dengan sendirinya, padahal asalnya ia rendah.”

[]

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar