Mbah Ngis, Sudut Pandang, dan Kerendahan Hati
Dalam tradisi masyarakat Jawa, bagaimana
seseorang memanggil orang lain sangat ditentukan oleh hubungan di antara
mereka. Orang yang lebih muda atau lebih rendah memanggil orang yang lebih tua
atau di atasnya harus dengan embel-embel tertentu seperti “Mbak”, “Mas”,
“Paklik”, “Bulik”, “Pakde”, “Bude”, dan sebagainya.
Sebaliknya orang yang lebih tua atau lebih
tinggi, boleh memanggil orang yang lebih muda atau di bawahnya tanpa
embel-embel apa pun sehingga cukup menyebut namanya saja. Namun, bagi Mbah
Ngismatun Sakdullah Solo (wafat 1994)—biasa dipanggil Mbah Ngis—tradisi ini
bisa tidak berlaku karena Mbah Ngis biasa menggunakan sudut pandang lain
sehingga memungkinkannya memanggil orang yang lebih muda atau di bawahnya
dengan embel-embel di atas.
Mbah Ngis adalah adik dari Mbah Umar, Mbah
Mustaqimah, Mbah Muslihah, Mbah Nidzom Mbah Jisam, dan sebagainya. Mbah Ngis
biasa memanggil Mbah Mustaqimah dan Mbah Muslihah dengan embel-embel “Bude”;
dan memanggil Mbah Umar dengan embel-embel “Pakde”. Demikian pula ketika
memanggil Mbah Nidzom dan Mbah Jisam.
Padahal Mbah Ngis seharusnya atau sewajarnya,
memanggil beliau-beliau itu cukup dengan “Mbak” atau "Yu", “Mas” atau
“Kang” karena Mbah Ngis adalah adik. Sudut pandang yang digunakan Mbah Ngis
memanggil beliau-beliau dalam hal ini adalah sudut pandang anak-anak Mbah Ngis
sehingga memungkinkannya memberikan penghormatan yang lebih tinggi sekaligus
untuk “mbasakke” anak-anak sendiri.
Terhadap para keponakan dari putra-putri
Mustaqimah, Mbah Muslihah, Mbah Nidzom, Mbah Jisam, dan sebagainya, Mbah
Ngis selalu memanggil mereka “Mas” atau “Mbak”, padahal seharusnya atau
sewajarnya Mbah Ngis memanggil mereka cukup dengan menyebut namanya saja karena
bagaimanapun Mbah Ngis adalah bibi bagi mereka. Tetapi Mbah Ngis memilih
menggunakan sudut pandang anak-anak sendiri bukan saja untuk “mbasakke” mereka
tetapi lebih dari itu Mbah Ngis ingin memberikan penghormatan atau penghargaan
yang lebih tinggi.
Apalagi banyak dari keponakan-keponakan Mbah
Ngis adalah orang-orang terpandang di komunitas masing-masing, seperti menjadi
pengasuh pesantren atau pemuka agama di masyarakat. Tidak jarang bahasa yang
digunakan Mbah Ngis untuk berbicara dengan para keponakan yang sudah
berkeluarga adalah bahasa Jawa krama hinggil.
Demikian pula cara Mbah Ngis memanggil
adiknya sendiri yang bernama Mbah Umi. Mbah Ngis selalu memanggil beliau “Lik
Umi” atau “Bulik Umi”. Tentu saja sudut pandang yang digunakan Mbah Ngis adalah
sudut anak-anak sendiri yang bukan saja untuk “mbasakke” mereka tetapi lebih
dari itu memberikan penghargaan yang lebih tinggi.
Terhadap orang lain yang tidak memiliki
hubungan kekerabatan, Mbah Ngis tetap berusaha memanggilnya dengan embel-embel
tertentu. Misalnya, kepada para tetangga atau relasinya, Mbah Ngis memanggil
mereka “Pak”, “Bu” atau “Mbok” bagi mereka yang sudah berkeluarga.
Kepada yang masih muda dan belum keluarga,
Mbah Ngis biasa memanggil mereka dengan embel-embel “Mas”, “Kang” atau “Mbak”.
Bahkan kapada para santri di pondok yang masih remaja atau anak-anakpun, Mbah
Ngis tidak jarang memanggil mereka “Mas”, atau “Mbak”.
Tidak hanya itu, kepada anak tertua Mbah Ngis
selalu memanggilnya “Mbak” dan “Mas” untuk suaminya. Hal ini selain untuk
“mbasakke” adik-adik dari anak-anak tertua tersebut juga untuk memberikan
penghargaan yang lebih tinggi.
Singkatnya, Mbah Ngis selalu mencari celah
bagaimana bisa menghormati atau menghargai orang lain dalam hal memanggil
dengan cara menggunakan sudut pandang atau posisi yang lebih rendah dari
posisinya sendiri. Mbah Ngis jarang memanggil orang lain dengan embel-embel
“Nduk”, “Le” atau “Dik” karena Mbah Ngis sering kali tidak ingin menunjukkan
posisinya yang lebih tinggi dari pada orang lain.
Mbah Ngis memang orang Jawa yang rendah hati
(tawadhu’) dan senantiasa berhati-hati dalam tindak-tanduk hingga nyaris tidak
ada orang lain yang merasa pernah direndahkannya. Mbah suka menjunjung tinggi
akhlak mulia yang islami.
Sebuah syair bahasa Arab berbunyi:
تواضع
تكن كالنجم لاح لناظر *** على صفحات الماء وهو رفيع
ولاتكن
كالدخان يعلو بنفسه *** على طبقات الجو وهــو وضيع
Artinya:
“Tawadhu'lah, maka engkau akan seperti
bintang yang terlihat rendah di permukaan air tapi sesungguhnya ia tinggi di
langit.”
“Dan janganlah engkau seperti asap yang
meninggi dengan sendirinya, padahal asalnya ia rendah.”
[]
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar