Mengenal Mahbub
Djunaidi, Sang Pendekar Pena
Mahbub Djunaidi
adalah ketua umum pertama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ia lahir
di Jakarta pada 22 Juli 1933. Ia dikenal sebagai wartawan-sastrawan, agamawan,
organisatoris, kolumnis, politikus, serta predikat baik lainnya yang
disemangatkan di pundaknya. Ini bukan predikat main-main, karena ia memang
seorang yang memiliki talenta luar biasa. Kritik-kritik sosial dalam tulisannya
begitu tajam, begitu dalam. Tentu saja dengan ciri khas yang dimilikinya: satire
dan humoris. Karena kepiawaiannya dalam menulis, ia disebut pendekar pena,
bahkan Bung Karno terkesan dengannya.
Kebiasaan menulis
telah ia lakukan sejak duduk di bangku SMP. Bahkan di masa itu, cerpennya
berjudul Tanah Mati dipublikasikan oleh Kisah, sebuah majalah kumpulan cerita
pendek bermutu, disertai komentar dan penilaian pengelolanya HB Jassin, sang
legendaris paus sastra Indonesia itu. HB Jassin sangat kagum dengan tulisan
Mahbub muda. Baginya, Mahbub mampu memandang persoalan dari seginya yang kocak.
Elaborasi antara humor dan satire (cemooh kocak) disertai dengan unsur kritik.
Gaya tulisannya ringan dan menyenangkan, seolah-olah main-main, tetapi
persoalan serius yang diangkat.
Keberaniannya
menyuarakan kebenaran dan membela wong cilik tak perlu diragukan. Sampai-sampai
ia dijuluki si burung parkit di kandang macan. Ia banyak menulis, memberi
perhatian dan pembelaan kepada kaum miskin. Termasuk kepada anak-anak pedagang
asongan dan para pengemis cilik di persimpangan-persimpangan jalan. Ia dikenal
sebagai pribadi yang ringan ceria, kocak berolok. Baginya semua orang tak ada
bedanya, tidak bermartabat lebih tinggi dan lebih rendah, hanya karena jabatan
dan pekerjaannya. Lapisan pergaulannya sangat luas, dan semua disapa dengan
Anda, dengan saudara, dengan bung.
Di dunia sastra,
Mahbub sangat menyenangi sastra Rusia karena dalam penilaiannya, sastrawan
Rusia banyak melahirkan karya sastra yang sarat dengan kritik tajam dan
dituturkan secara satire. Humor-humor kecil menjadikan kritik-kritik tersebut
terkesan lucu. Pandangan dan kesukaannya inilah yang banyak memengaruhinya
untuk memproduksi tulisan yang mengandung humor tinggi. Tak heran jika sebagian
besar kolom Mahbub berisi masalah-masalah politik dan sosial tetapi
penyajiannya bernilai sastra.
Tulisan-tulisannya
yang sarat humor ini membuat siapapun yang terkena tidak merasa sakit hati,
malahan menimbulkan guncangan yang tak perlu. Tak bisa dimungkiri, unsur
kejenakaan dalam tulisannya membuat pembaca tertawa dalam keadaan serius.
Apalagi ia mampu menyajikan efek haru yang syarat emosional. Menghibur dan
menggugat, melecut tawa dan menorehkan kepedihan, itulah humor pada kadar
tertingginya. Mahbub berhasil memunculkan paradoks humor itu.
Mahbub pernah
memimpin sejumlah media masa, juga menulis dan menerjemahkan puluhan buku. Ia
juga dikenal sebagai wartawan yang gigih dan bekerja keras dan konsisten untuk
sejauh mungkin memelihara kewartawanan serta organisasi wartawan sebagai
profesi dan organisasi yang mandiri. Sejak menjadi wartawan, ia memiliki
rutinitas setiap hari menyelesaikan tulisan tajuk rencana koran dalam waktu
relatif cepat, sekitar 1-2 jam. Kadang dibuatnya satu, kadang dua buah
sekaligus. Itu dilakukannya sendiri, bertahun-tahun.
Bahkan, sejak 23
November 1986 sampai 8 Oktober 1995, ia menulis rutin setiap minggu untuk
rubrik Asal Usul di koran harian Kompas. Rubrik ini mensyaratkan tulisan yang
amat ketat. Tulisan-tulisannya di rubrik ini disinggung dan dipaparkan secara
ringan dan lebih menekankan pada sisi humornya. Rintangan tulisan yang penuh
syarat ini mampu dipenuhi Mahbub. Selama 9 tahun menulis di rubrik ini, ia
telah menulis 236 buah tulisan. Kenapa Mahbub bisa memenuhi syarat tulisan yang
relatif sulit ini? karena dalam dirinya sudah ada tiga ciri menonjol:
politikus, wartawan dan humoris.
Dalam salah satu
tulisannya di harian Duta Masyarakat, Mahbub mengemukakan pendapatnya bahwa
Pancasila mempunyai kedudukan lebih sublim dibanding Declaration of
Independence susunan Thomas Jefferson yang menjadi pernyataan kemerdekaan
Amerika Serikat tanggal 4 Juli 1776, maupun dengan Manifesto Komunis yang
disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels tahun 1847. Tulisan itu dibaca Bung
Karno, dan karena tulisan itu Bung Karno takjub kepadanya dan
tulisan-tulisannya.
Di luar kegiatan
tulis menulis, Mahbub pernah bergabung dengan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU) selagi masih duduk di SMA. Pada tahun 1960, ia terpilih menjadi ketua
umum PMII. Selama menjadi ketua umum PMII, Mahbub berusaha dengan
sungguh-sungguh menjadikan PMII wadah pembentukan kader, sebagaimana
diamanatkan kepadanya oleh Musyawarah NU seluruh Indonesia. Salah satu cara
membentuk jiwa dan menempa semangat kader adalah melalui lagu-lagu, khususnya
lagu mars organisasi. Dia sendiri menyusun lirik lagu mars PMII, lagu yang
dinyanyikan pada setiap kesempatan dan pada saat akan memulai acar penting
PMII, hingga sekarang.
Setelah aktif sebagai
ketua Umum PMII, Mahbub diminta membantu pengembangan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor).
Ia sempat duduk sebagai seorang ketua pucuk pimpinan organisasi kader NU untuk
kalangan pemuda itu. Dan untuk organisasi ini pula Mahbub menulis lirik lagu
marsnya yang tetap digunakan hingga sekarang. Di dalam organisasi NU sendiri,
Mahbub pernah duduk sebagai salah seorang wakil ketua PBNU. Ia juga pernah
mewakili NU menjadi anggota DPR-GR/MPRS.
Di sekitar waktu
Pemilu 1977, Mahbub aktif keluar masuk kampus memenuhi undangan mahasiswa untuk
memberikan ceramah, diskusi, dan menyampaikan makalah. Akibat kegiatan itu,
tanpa kejelasan, Mahbub ditahan pihak berwajib selama setahun. Tanpa jelas apa
salahnya karena tidak pernah diproses melalui pengadilan. Sejak penahan itu,
Mahbub tidak pernah sehat sepenuhnya lagi. Hari Raya Idul Fitri tahun itu, Mahbub
masih berada di rumah sakit dalam status tahanan. Anak istrinya datang dan
berlebaran bersama di kamar yang sempit itu. Mengenang manisnya berkumpul
keluarga dan ingin memberi pegangan anak-istrinya, ia menulis surat:
“Alangkah bahagianya
papa berlebaran bersamamu semua, walaupun tidur berdesakan di lantai.
Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda
mewah, pada rumah mentereng dan gemerlepan. Benda sama sekali tak menjamin
kebahagiaan hati. Cintaku kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati
tidak bisa digantikan oleh apapun. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang
bisa mengingat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebihan.”
Mahbub meninggal
dunia pada 1 Oktober 1995. Indonesia mesti bersyukur karena dalam sejarah
republik ini, pernah hadir tokoh luar biasa dan multi talenta, yang sampai saat
ini nyaris belum dijumpai tokoh sekaliber Mahbub. []
Ahmad Hifni, alumnus
Content Creator Wahid Foundation, mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar