Mbah Ngis dan Resep
Menghentikan Kenakalan Anak
Mbah Ngismatun
Sakdullah Solo (wafat 1994) – biasa dipanggil Mbah Ngis - memiliki seorang anak
laki-laki bernama Pak Udin. Ketika masih kecil, Pak Udin sering mendapat
perlakuan nakal dari anak tetangga yang usianya memang lebih tua. Pak Udin suka
bermain di atas pohon nangka yang berada di samping rumahnya dengan ketinggian
tak seberapa.
Seringkali terjadi ketika Pak Udin bertengger di atas pohon, tak lama setelah itu ada tangan jahil dari arah bawah yang secara tiba-tiba masuk ke dalam celana kolornya yang longgar. Lalu tangan itu membetot “sarang burung” miliknya. Pak Udin merasa kesakitan luar biasa dan berteriak kesakitan, “Aduuuh…aduuuh…!”
Setelah Pak Udin berteriak seperti itu, tak lama kemudian anak tetangga tersebut menjauh dari tempat kejadian sambil tertawa terbahak-bahak. Ia seperti merasa sangat puas dengan apa yang telah dilakukannya. Kejadian seperti ini berulang kali. Pak Udin merasa tidak tahan dinakali terus-menerus seperti itu hingga akhirnya ia melapor kepada ibunya. Mbah Ngis merasa sangat prihatin dengan perilaku “menyimpang” dari anak tersebut. Tetapi Mbah Ngis tidak sanggup melaporkan hal itu kepada ayahnya karena Mbah Ngis sangat menaruh hormat kepadanya.
Mbah Ngis kemudian memberi resep kepada Pak Udin untuk membuat anak tetangga itu jera dari kenakalannya. Mbah Ngis meminta Pak Udin berteriak sekerasnya dengan menyebut-nyebut namanya ketika anak itu beraksi. Pak Udin paham dengan petunjuk Mbah Ngis dan setuju dengan apa yang diajarkannya.
Benar. Hari berikutnya ketika Pak Udin sedang bersantai ria di atas pohon, tiba-tiba anak tetangga itu melakukan apa yang biasa ia lakukan terhadapnya. Seketika itu Pak Udin berteriak dengan menyebut-nyebut namanya sekeras mungkin. “Kang Fulan, aduuuh..! Kang Fulan, aduuuh...!
Mendengar Pak Udin meneriakkan namanya hingga berkali-kali dengan suara sangat keras, anak tetangga itu akhirnya menghentikan aksinya. Ia tidak tertawa terbahak-bahak sebagaimana biasanya. Ia tampak bingung harus berbuat apa sebelum akhirnya lari terbirit-birit. Ia pulang ke rumahnya. Tak lama setelah itu dari tempat Pak Udin berada di atas pohon Pak Udin mendengar suara anak yang mengaduh kesakitan.
“Aduuuh… kapok Bapaaak...! Aduuuh… kapok Bapaaak..!”
Pak Udin yakin itu suara Kang Fulan. Pak Udin penasaran dan segera berlari menuju rumahnya. Pak Udin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Kang Fulan. Dari luar jendela rumahnya, Pak Udin melihat Kang Fulan sedang digebuki ayahnya dengan sulak dari rotan. Bulu-bulunya rontok karena berulang-ulangnya pukulan ayahnya.
“Ojo kurang ajar kowe! Kapok opo ora kowe…?!” (Jangan kurang ajar kamu! Kapok tidak kamu?!). Kata sang ayah sambil menghajar Kang Fulan. Ternyata sang ayah menyaksikan sendiri dari jendela rumahnya apa yang dilakukan Kang Fulan terhadap Pak Udin ketika ia berteriak-teriak menyebut namanya sambil mengaduh kesakitan.
“Kapok Bapaaak… Kapok Bapaaak…,” katanya sambil menangis kesakitan dan meminta ampun. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar