Al-Musta’in: Khalifah Keduabelas yang Dipaksa
Lengser
Oleh: Nadirsyah Hosen
Sesaat setelah Khalifah al-Muntashir dibunuh
akibat diracun atas rekayasa para Jenderal Turki, timbul pertanyaan siapa yang
akan berkuasa berikutnya? Kalau memilh putra al-Muntashir, nanti putranya akan
menuntut balas atas kematian ayahnya. Kalau memilih saudaranya al-Muntashir,
yaitu al-Mu’tazz atau al-Mu’ayyad, keduanya telah dicopot dari jalur suksesi,
dan boleh jadi mereka pun akan menuntut balas atas pembunuhan ayah mereka
sebelumnya, yaitu al-Mutawakkil. Lantas, siapa yang akan dipilih oleh para
Jenderal Turki? Simak yuk lanjutan ngaji sejarah politik Islam.
Sebelum diurai lebih lanjut, perlu saya
petakan dulu konflik etnik di masa khilafah zaman old ini. Semula pemerintahan dikuasai bangsa
Arab, tapi kemudian semenjak Mu’awiyah menjadikan Damaskus sebagai ibu kota
negara dan kekuasaan Islam sudah melintasi jazirah Arab, maka di masa Dinasti
Umayyah timbul ketidakpuasaan Muslim non-Arab, seperti penduduk di wilayah
Kufah yang keturunan Persia, seolah non-Arab menjadi warga negara kelas kedua.
Mereka tidak mendapat posisi yang layak di pemeirntahan dan militer. Yang
berkuasa adalah kelompok Arab, Yaman, dan Suriah.
Tumbangnya Dinasti Umayyah diikuti dengan
perubahan peta politik. Abbasiyah yang didukung penduduk Kufah mulai
meminggirkan bangsa Arab. Ibu kota negara pindah ke Anbar, lalu Baghdad
didirikan dan menjadi ibu kota negara. Tapi konflik etnik tidak menyusut.
Konflik antara Muslim keturunan Arab dan keturunan Persia meletus di mana-mana.
Untuk menguatkan posisi pemerintahan di masa
al-Mu’tashim, kekuatan baru dibangun, yaitu pasukan keturunan budak dari Turki (ghilman). Al-Mu’tashim
kemudian mencari dan memobilisasi mereka dari berbagai penjuru kota. Lantas ibu
kota negara dipindahkan dari Baghdad ke kota Samarra. Di kota inilah pasukan
al-Mu’tashim dari orang-orang Turki berkuasa. Maka, muncul poros kekuatan baru
Sejak para Jenderal Turki berkuasa,
sesungguhnya Dinasti Abbasiyah sudah habis. Para khalifah berikutnya dikontrol
oleh para Jenderal Turki. Siapa yang berkuasa dan siapa yang harus diturunkan
(termasuk lewat pembunuhan) ditentukan oleh para Jenderal Turki. Terbunuhnya
al-Mutawakkil dan al-Muntashir semuanya karena konspirasi para Jenderal Turki.
Konflik etnik dan daerah pada masa silam itu
sayangnya memicu kabar hoaks yang dinisbatkan kepada Rasulullah mengenai keutamaan
bangsa ABC dan kota ini-itu, serta kejelekan atau kehancuran bangsa XYZ dan
kota-kota lainnya. Sebagian ulama ada yang percaya dan mensahihkannya, dan
sebagian lagi, seperti Ibn Qayyim dan Yusuf Qardhawi, menganggap sejumlah
riwayat itu lemah atau palsu. Saran saya, riwayat hadits semacam ini harus
dibaca dengan kritis serta “melek” sejarah dan politik masa silam.
Cukuplah bagi kita memegang pesan Rasulullah
dalam khutbah perpisahannya:
Dari Abu Nadhrah telah menceritakan kepadaku
orang yang pernah mendengar khutbah Rasulullah SAW di tengah-tengah hari
tasyriq, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan ayah
kalian satu (maksudnya Nabi Adam). Ingatlah. Tidak ada kelebihan bagi orang
arab atas orang ajam
(non-Arab) dan bagi orang ajam
atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang
berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali
dengan ketakwaan. Apa aku sudah menyampaikan?” Mereka menjawab: Iya, benar
Rasulullah SAW telah menyampaikan.” (Musnad Ahmad, Hadits nomor 2231, yang
perawinya dinyatakan sahih dalam Kitab
Majma’ Zawaid, 3/266).
Jadi, sebenarnya konflik antaretnik di masa
khilafah zaman old
itu bertentangan dengan pesan Rasulullah. Kebanggaan etnik dan kedaerahan adalah
sisa-sisa jahiliyah. Tegas Rasul bersabda menyatakan tidak ada kelebihan bangsa
Arab dari bangsa lain, begitu juga sebaliknya. Ketakwaan di sisi Allah yang
menjadi ukuran.
Kembali ke kisah pemilihan pengganti Khalifah
al-Muntashir. Pilihan yang tersisa bagi para Jenderal Turki adalah mengangkat
anak al-Mu’tashim, yaitu al-Musta’in, sebagai Khalifah keduabelas dari Dinasti
Abbasiyah. Demikian Imam Thabari mengisahkan proses pemilhan ini.
Berarti al-Mu’tashim ini adalah paman dari
al-Muntashir, khalifah kesebelas, yang digantikannya, dan saudara kandung dari
al-Mutawakkil, khalifah kesepuluh. Itu artinya, para Jenderal Turki tetap
mengambil dari keluarga Abbasiyah, hanya saja mereka yang berkuasa memilih
siapa yang akan naik jadi khalifah. Rakyat sama sekali tidak terlibat.
Abul Abbas Ahmad Al-Musta’in Billah, berusia
sekitar 27 tahun, saat diangkat sebagai khalifah. Diapit dua Jenderal Turki
yang sangat berkuasa, yaitu Bugha dan Washif, al-Musta’in seolah menjadi boneka
saja. Imam Suyuthi menuliskan syair di bawah ini yang menggambarkan bagaimana
kekuasaan al-Musta’in saat itu:
خليفة في قفص … بين وصيف وبغا
يقول ما قالا له … كما تقول الببغا
“Seorang
Khalifah dalam sangkar
Di antara Washif dan Bugha
Dia hanya mengulang apa yang mereka katakan
Sebagaimana kata-kata burung beo”
Struktur militer Turki mengikuti struktur
pemerintahan khalifah, dan dikuasai turun temurun, sehingga tampak mereka
seperti pemilik kekuasaan yang real (nyata). Sementara kekuasaan khalifah
merupakan kekuasaan yang sah tapi tidak nyata. Alias cuma di atas kertas.
Al-Musta’in menerima bai’at pada 9 Juni 862
Masehi. Tapi ada insiden luar biasa saat proses ba’iat di depan publik itu
dilangsungkan. Sekitar seribu orang pendukung al-Mu’tazz protes. Mereka
meneriakkan nama al-Mu’tazz dan tidak menerima pengangkatan al-Musta’in. Maka,
semenjak hari pertama kekuasaannya, al-Musta’in sudah digoyang oleh pendukung
al-Mu’tazz.
Imam Thabari mengisahkan pendukung al-Mu’tazz
meneriakkan takbir dalam keributan ini. Sejumlah tawanan di penjara berhasil
kabur. Para pedagang pendukung al-Mu’tazz berhasil merampas sejumlah senjata
milik pasukan pemerintah. Korban berjatuhan dalam kerusuhan ini.
Jenderal Bugha kemudian memburu al-Mu’tazz
dan saudaranya, al-Mu’ayyad. Hampir saja keduanya dibunuh Bugha, tetapi Ahmad
bin al-Khasib (sekretaris khalifah) melakukan intervensi dan membujuk Bugha
untuk cukup memenjarakan al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad, dengan alasan keduanya
tidak terlibat langsung dalam kerusuhan di atas. Keputusan hanya memenjarakan
ini berimplikasi panjang di kemudian hari.
Yang menjadi Wazir adalah Utamisy.
Al-Musta’in mempercayakan keuangan negara kepada tiga orang, yaitu Utamisy,
kemudian Syahak al-Khadim (kepala rumah tangga istana). Kedua orang ini diberi
wewenang untuk melakukan apa saja mengenai keuangan negara. Orang ketiga yang
berpengaruh masalah finansial ini adalah ibu dari Khalifah al-Musta’in sendiri,
yang lewat sekretarisnya, Salamah bin Sa’id (orang Nasrani), meminta apa saja
dari Baitul Mal, dan Khalifah selalu menyetujui keinginan ibunya dengan
menggunakan uang negara.
Satu-satunya pengawas keuangan negara adalah
anak Khalifah bernama al-Abbas. Celakanya, al-Abbas ini juga seenaknya
menggunakan sisa uang negara yang sudah dipakai ketiga orang di atas. Korupsi
begitu nyata. Jadi, kalau zaman now
ada yang teriak-teriak “jualan” bahwa satu-satunya solusi terhadap persoalan
korupsi adalah ditegakkannya kembali khilafah, ya cukup kita kasih senyum manis
dan kita tinggal masuk kamar untuk bobo cantik.
Para Jenderal Turki menjadi marah ketika
keuangan negara berkurang drastis dikorupsi Utamisy, sang Perdana Menteri.
Padahal militer membutuhkan uang untuk menggaji pasukan dan membiayai ekspedisi
mereka. Akhirnya mereka mengepung Utamisy yang bersembunyi sampai dua hari di
dalam istana. Khalifah al-Musta’in melihat kemarahan militer, dan beliau tidak
bisa melindungi Utamisy. Akhirnya pada hari ketiga, tepatnya pada 6 Juni 863
Masehi, Utamisy dan sekretarisnya dibunuh militer.
Pada tahun berikutnya (864 M) Khalifah
al-Musta’in menghadapi pemberontakan dari Hasan Bin Zayd, yang merupakan
keturunan Sayidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan berlangsung di
daerah Tabaristan. Belakangan Hasan diangkat sebagai Emir dari Dinasti
Zaydiyah. Imam Thabari menceritakan dengan detail pemberontakan ini.
Pemberontakan ini gagal dipadamkan dengan tuntas oleh pasukan al-Musta’in.
Terdapat pula konflik sesama Jenderal Turki.
Salah seorang yang terlibat membunuh Khalifah al-Mutawakkil adalah Jenderal
Baghar. Dia mendapat gaji dan fasilitas mewah atas jasanya itu. Suatu saat dia
kesal dengan Dulayl bin Ya’qub, seorang Kristen yang menjadi sekretaris
Jenderal Bugha. Baghar yang dalam keadaan mabuk meminta Bugha untuk membunuh
Dulayl. Bugha menjawab, “kalau kamu datang untuk membunuh anakku, aku tidak
akan halangi. Tapi tidak bisa kamu membunuh Dulayl, karena urusan pasukanku ada
di tangannya.” Jawaban ini membuat ketegangan semakin meningkat di antara kedua
jenderal.
Pada saat yang sama, al-Musta’in yang tidak
mengerti konflik internal militer malah hendak mempromosikan Baghar dan
menggeser Bugha. Dulayl segera melapor ke Bugha, yang kemudian murka kepada
Jenderal Washif. Nama belakangan ini menyangkal bahwa dia berada di belakang
rencana mutasi Bugha. Akhirnya Bugha dan Washif menyusun rencana. Mereka
mengaabarkan ke pasukannya bahwa Baghar hendak melawan Bugha dan Washif.
Baghar yang temperamen lantas mengumpulkan
komandan pasukannya yang dulu telah bersumpah setia kepadanya saat mereka
bersama-sama membunuh Khalifah al-Mutawakkil. Kali ini Baghar dan anak buahnya
sepakat mau membunuh al-Musta’in.
Al-Musta’in mendengar plot tersebut dan
memanggil Bugha dan Washif. Kata al-Musta’in, “kalian menjadikan aku sebagai
Khalifah tanpa aku minta, dan kini kalian militer Turki hendak membunuhku?”
Washif dan Bugha mengatakan mereka tidak terlibat dan tidak tahu menahu.
Rencana Baghar bocor akibar mantan istrinya melapor kepada ibunda al-Musta’in.
Maka, Al-Musta’in, Washif, dan Bugha mulai menyusun rencana menyingkirkan
Baghar.
Baghar berhasil ditangkap. Tapi pasukannya
marah, dan kemudian mengepung istana. Baghar kemudian dieksekusi, sementara
al-Musta’in, Bugha, dan Washif bergerak ke Baghdad meninggalkan ibu kota
Samarra dengan perahu. Pasukan Baghar masih mengepung istana. Komandan pasukan
meminta mereka kembali ke barak, namun ditolak. Malah pasukan bergerak ke
kediaman Dulayl dan menghancurkan rumahnya hingga rata dengan tanah. Harta dan
koleksinya turut dihancurkan.
Walhasil, peta politik dengan cepat berubah.
Penduduk Baghdad menyambut datangnya Khalifah al-Musta’in dan dua Jenderal
Turkinya. Sementara pasukan militer Turki yang marah atas terbunuhnya Baghar
membebaskan al-Mu’tazz dari tahanan dan memba’iatnya sebagai Khalifah. Militer
telah terbelah dan kini umat Islam punya dua khalifah.
Bugha dan Washif mengirim pesan ke sejumlah
komandan pasukan yang setia pada mereka di kota-kota lain untuk segera memasuki
Baghdad dan bergabung bersama al-Musta’in.
Sementara itu, di Samarra, surat pernyataan
ba’iat kepada al-Mu’tazz mulai diedarkan. Inilah politik. Al-Mu’tazz yang dulu
dipaksa menulis surat pengunduran diri dari jalur suksesi, sekarang dinobatkan
sebagai khalifah baru. Di ibu kota Samarra yang kini dikuasai al-Mu’tazz
tersisa 500 ribu dinar. Kemudian mereka menyita kediaman ibunda al-Musta’in dan
mendapatkan harta hampir satu juta dinar. Di kediaman Abbas, anak al-Musta’in,
didapati 600 ribu dinar. Bayangkan harta yang dikorupsi lebih banyak ketimbang sisa
harta negara.
Al-Musta’in kemudian mengirim surat kepada
para gubernur dan mengatakan dia masih sebagai khalifah yang sah dan meminta
mereka mengirimkan pajak ke Baghdad, bukan lagi ke Samarra. Kondisi semakin
kacau balau ketika kedua putra Bugha yang sedang memimpin pasukan di kota lain
malah bergabung dengan al-Mu’tazz.
Pada 24 Februari 865 Masehi, al-Mu’tazz
mengirim saudaranya, Abu Ahmad bin al-Mutawakkil, memimpin pasukan untuk
menyerang Baghdad. Pertempuran tak bisa dielakkan. Imam Thabari menceritakan
dengan detail dan panjang lebar suasana pertempuran saat itu. Pada akhirnya,
hampir setahun perang saudara, Bugha dan Washif membujuk al-Musta’in untuk
mengundurkan diri sebagai khalifah.
Al-Musta’in resmi mundur dari khalifah pada
25 Januari 866 Masehi. Dia kemudian diasingkan di daerah al-Wasith bersama
keluarga dan budak perempuannya. Sesuai kesepakatan, dia tidak akan diganggu.
Namun demikian, pada Syawwal sekitar sembilan bulan kemudian, al-Musta’in yang sudah
menjalani hidup sebagai rakyat biasa dibunuh atas perintah Khalifah al-Mu’tazz.
Pembunuhnya bernama Sa’id bin Salih yang menerima hadiah 50 ribu dirham sebagai
hadiah atas keberhasilannya membunuh al-Musta’in.
Dikabarkan bahwa al-Musta’in wafat berusia
sekitar 31 tahun dan dia meminta izin untuk salat dua rakaat sebelum dibunuh
Sa’id. Sa’id mengizinkan, namun saat al-Musta’in sujud di rakaat kedua, Sa’id
tidak menungg lagi dang langsung memenggal kepala mantan khalifah ini.
Imam Thabari melaporkan ketika kepala
al-Musta’in dibawa ke Khalifah al-Mu’tazz, sang khalifah sedang main catur.
Al-Mu’tazz hanya mengatakan, “taruh di sana” dan meneruskan bermain catur.
Percaturan politik di masa tiga khalifah Abbasiyah (al-Mutawakkil, al-Muntashir,
dan al-Musta’in) sungguh mengiris hati. Ketiganya wafat dibunuh dalam perebutan
kekuasaan. Ayah dibunuh Anak. Paman dibunuh keponakan.
Lantas, bagaimana kelangsungan pemerintahan
al-Mu’tazz? Bagaimana dengan para Jenderal Militer Turki seperti Bugha dan
Washif? Bagaimana pula dengan saudara kandung al-Mu’tazz, yaitu al-Mu’ayyad:
apakah dia masih berada dalam jalur suksesi menggantikan al-Mu’tazz? Mohon
maaf, kita harus menunggu pekan depan untuk melanjutkan ngaji sejarah politik
Islam ini. Insya Allah.
[]
GEOTIMES, 12 Januari 2018
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia –
Selandia Baru dan dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar