Rabu, 11 April 2018

Anis Matta: Ancaman Perang Global


Ancaman Perang Global
Oleh: Anis Matta

Ancaman perang global perlahan tapi pasti semakin nyata. Sejumlah fakta kian kasat mata. Setidaknya sejak 2010, hanya dua tahun setelah krisis ekonomi dunia 2008, tensi percaturan geopolitik global meningkat tajam. Mulai dari serial konflik dan perang regional di kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Asia Pasifik; kembalinya era perlombaan senjata; meningkatnya anggaran belanja militer dan pertahanan secara dramatis; rusaknya hubungan diplomatik; hingga ancaman perang terbuka di antara sesama negara adidaya yang semakin sering terdengar.

Ketegangan Regional

Ketegangan dalam hubungan Rusia vs Eropa-Amerika Serikat pada mulanya dipicu sengketa Krimea antara Rusia dan Ukraina pada 2014. Ketegangan itu berlanjut dengan sanksi ekonomi atas Rusia. Rusia semakin dicap "bad boy" karena dituduh mengintervensi Pilpres Amerika 2016, dan melakukan upaya pembunuhan double agent Rusia di Inggris yang berujung pengusiran diplomat dari masing-masing negara.

Sementara itu, konflik dan perang di Timur Tengah kini memasuki tahun kedelapan setelah Arab Spring (akhir 2010) dan kontra-Arab Spring (pertengahan 2013), dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Konflik dan perang itu telah meluluhlantakkan seluruh tatanan politik, ekonomi, dan sosial di kawasan itu. Angka kematian dan pengungsi sudah terlalu mengerikan. Namun, yang lebih membahayakan dalam konflik itu adalah keterlibatan kekuatan militer dunia: AS, Eropa, Rusia, dan China; kekuatan regional yang juga besar seperti Turki, Iran, dan Saudi Arabia; serta, kekuatan "non-state" dengan berbagai alirannya.

Bahkan dalam beberapa waktu terakhir benturan terbuka langsung antara pasukan AS dan Rusia mulai terjadi. Banyak pengamat mengatakan, trigger yang bisa menyebabkan terjadinya perang global kemungkinan besar berasal dari Timur Tengah.

Di Asia Pasifik kita menyaksikan memanasnya situasi di Laut China Selatan yang melibatkan lima negara, yaitu China (termasuk Taiwan), Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Indonesia. Hotspot lain ada di Semenanjung Korea yang menjadi proxy bagi dua kekuatan lama yang berseteru, yaitu AS dan Rusia, yang mewakili dua kepentingan ideologis yang berbeda. Selain konflik antarnegara, kawasan ini juga terkoyak oleh konflik lokal seperti di Rohingya, dan potensi ISIS di Filipina.

Perlombaan Senjata dan Belanja Militer

Di tengah serial konflik dan perang regional itu kita menyaksikan kembalinya gaung perlombaan senjata canggih termasuk nuklir. Korea Utara kini menjadi negara nuklir baru. Pengembangan teknologi persenjataan dibangun atas berbagai asumsi dan simulasi skenario model dan medan perang. Dengan asumsi bahwa perang nuklir dalam bentuknya yang paling mutakhir akan berujung dengan kehancuran total semua pihak tanpa ada pemenang, pengembangan mesin perang non-nuklir juga terus dilakukan.

Bagian yang paling kompleks dari perlombaan senjata non-nuklir adalah yang berhubungan dengan perang dunia maya (cyberwar). Sebab, sementara senjata nuklir masih lebih dipersepsi untuk fungsi deterrence, perang siber justru sudah terjadi di banyak lini, termasuk dalam ekonomi dan politik. Salah satunya adalah tuduhan intervensi Rusia dalam Pilpres AS pada 2016 lalu.

Implikasi perlombaan senjata itu tentu saja pada meningkatnya anggaran belanja pertahanan dan militer. Total belanja militer China pada 2000 lalu masih sekitar USD 10,3 miliar, dan tahun ini diperkirakan mencapai sekitar USD 231 miliar. Bukan hanya soal angka, China mengubah konfigurasi persenjataannya dengan mengurangi kekuatan darat namun meningkatkan kekuatan udara dan laut, serta meningkatkan kemampuan operasi gabungan, yang dalam literatur perang disebut theatre-level command. Artinya, China memodernisasi tentaranya menjadi kekuatan modern, siap berperang dan berorientasi ofensif (Brookings Institution, 7 Maret 2018).

Data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan total belanja militer seluruh negara di dunia pada 2016 mencapai USD 1,69 triliun, setara dengan 2,2% dari GDP dunia. Sepuluh negara dengan proporsi terbesar adalah Amerika (36%), China (13%), Rusia (4,1%), Arab Saudi (3,3%), India (3,3%), Prancis (3,3%), Inggris (2,9%), Jepang (2,7%), Jerman, (2,4%), dan Korea Selatan (2,2%).

Krisis Hubungan Internasional

Perang pernyataan terbuka bersamaan dengan makin memburuknya hubungan diplomatik antara kekuatan-kekuatan global juga makin sering terjadi. Yang paling terbuka adalah hubungan Eropa dan AS versus Rusia. Polemik itu mengindikasikan para pemimpin dunia sudah tidak saling percaya. Fenomena global distrust ini akan menyulitkan semua upaya resolusi konflik.

Dalam kaitan itu, kita menyaksikan bagaimana jabatan-jabatan strategis yang berhubungan dengan isu ini, seperti menteri pertahanan, menteri luar negeri, panglima militer, kepala badan intelijen nasional dan militer, penasihat keamanan nasional, dipegang oleh para hardliner. Itu formasi tempur yang menunjukkan bahwa semua negara besar kini bersiap untuk skenario terburuk.

Akibat distrust dan formasi tempur itu kita menyaksikan bagaimana pola-pola aliansi geopolitik berkembang begitu dinamis dengan pendekatan yang semakin menyempit ke basis kepentingan nasional. Turki yang berada di tengah lingkaran cincin api konflik Timur Tengah, misalnya, dikenal sebagai sekutu AS dan anggota NATO, tapi juga membangun aliansi segitiga geopolitik strategis dengan Rusia dan Iran yang notabene merupakan musuh Amerika.

Namun, pada waktu yang sama Turki juga mendukung Qatar dalam konfliknya dengan tetangga Teluknya yang dipimpin Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Turki bahkan mengirim pasukan militernya ke Qatar yang juga menjadi salah satu basis militer AS di Timur Tengah. Pendekatan "zero problem with neighbors" dalam hubungan internasional yang pernah digagas oleh Menteri Luar Negeri Ahmet Davutoglu (2009-2014) jadi tidak relevan. Banyak pihak menduga, pandangan berbeda inilah yang memicu retaknya hubungan Davutoglu dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Faktor terbesar yang memicu kemungkinan perang global itu adalah krisis ekonomi 2008 yang telah berkembang menjadi krisis multidimensi, termasuk politik dan keamanan. Pukulan krisis yang dipantik oleh krisis keuangan Amerika itu bahkan mulai melumpuhkan sendi-sendi sistem global. Bersamaan dengan itu, dunia menyaksikan makin menciutnya porsi ekonomi Barat, kepemimpinan global AS makin terpuruk, dan wibawa militer AS ikut pudar.

Pada saat yang sama China muncul sebagai kekuatan baru dan Rusia kembali menjadi pemain kuat. Perubahan dalam struktur kekuatan besar dunia itu tentu saja mengubah arah percaturan geopolitik. Transisi panjang dan gelap serta penuh kekacauan menuju sebuah keseimbangan baru sedang terjadi. Jika kekuatan utama dunia tidak menemukan sebuah keseimbangan baru secara damai, maka perang selalu merupakan alternatif terbuka untuk menyelesaikan krisis.

Kemurungan Global

Saat ini kecemasan, ketakutan, kegamangan, dan kemarahan merupakan kombinasi emosional yang mewarnai nuansa psikologis masyarakat global. Perang besar dalam sejarah biasanya tidak pernah direncanakan, tapi selalu meletus di tengah suasana kejiwaan kolektif atau public mood yang buruk dan tidak terkontrol.

Di tengah kekacauan emosional itu biasanya radikalisasi selalu terjadi di tingkat masyarakat serta bisa merusak keseimbangan emosional para elite dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Public mood itu akan terus memburuk seiring berlarut-larutnya konflik dan perang, lalu terakselerasi menjadi frustrasi kolektif dan bisa mengarah ke fatalisme.

Pemicu Perang

Perang global tentu saja tidak bisa dipastikan akan terjadi, apalagi waktu kejadiannya. Sesungguhnya tidak satu pun kekuatan di dunia saat ini yang menginginkan perang itu terjadi.

Namun, kait-mengkait berbagai faktor, seperti akumulasi serial konflik dan perang regional yang berlarut-larut dan melibatkan makin banyak pihak, anggaran belanja militer yang terus membengkak, sentuhan teknologi yang makin canggih terhadap mesin perang, tidak berfungsinya lembaga-lembaga internasional secara efektif seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), semakin banyaknya para hardliner yang memegang posisi kunci di negara-negara adidaya, dan tentu saja krisis ekonomi global yang belum juga pulih, mengantarkan kita pada suatu kecemasan akut bahwa sebuah insiden kecil bisa saja dengan seketika memantik perang besar.

Sebelum 2008, kebanyakan ramalan perang global dikembangkan dalam konteks simulasi berbagai kemungkinan skenario perang. Tapi, dalam 10 tahun terakhir ini dinamika geopolitik global menunjukkan bahwa ancaman perang global itu terasa makin nyata. Dengan kata lain, faktor-faktor yang memungkinnya terjadinya jauh lebih banyak dibanding situasi sebelum 2008. Bumi makin panas, dan harus didinginkan dengan pikiran jernih para pemimpinnya. []

DETIK, 09 April 2018
Anis Matta | Pengamat politik internasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar