Khilafah Produk
Sejarah, Bukan Syariah
Judul Buku
: Khilafah Sebagai Produk Sejarah, Bukan
Syariah
Penulis
: Moh. Sholeh
Penerbit
: Istana Publishing, Yogyakarta
ISBN
: 978-602-60586-5-2
Ketebalan
: 236 Halaman
Cetakan
: Pertama, 2017
Peresensi
: Ahmad Ali Adhim, Santri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Yogyakarta.
Moh. Sholeh pernah
menjabat sebagai ketua PMII Jakarta Pusat (1997-1998), pada tahun 2000-2002 ia
Fungsionaris PB PMII, ia pun banyak berkecimpung sebagai peneliti di Komisi
VIII DPR RI dan Indonesia Politician Index, Jakarta. Penelitian nya yang ia
ajukan untuk memenuhi syarat kelulusan S2 Konsentrasi Pemikiran Islam di UIN
Sunan Ampel Surabaya menghasilkan buku ini. Buku ini terasa unik juga
diakronik. Karena Ia memaparkan sejarah kelembagaan kekuasaan dan politik
Islam, secara jernih, runtut dan renyah.
Terasa unik karena ia
memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap relasi antara agama dan politik,
dalam pengantarnya ia mengatakan bahwa dalam perspektif tali-temali agama dan
politik, terdapat dua pertanyaan mendasar, yaitu agama dalam arti what does
religion do for other? Dan what is religion? Menurut Moh Sholeh, secara empirik
bagi umat Islam terdapat tiga paradigm terkait dengan relasi Islam dan
Politik.
Pertama, Integrated
Paradigm, yang menyatakan bahwa wilayah agama merupakan lembaga keagamaan
sekaligus lembaga politik. Pemerintah Negara diselenggarakan atas dasar
kedaulatan ilahi (divine sovereignty), secara faktual model ini dijalankan di
Iran. Kedua Symbiotic Paradigm,yaitu pandangan yang menyatakan bahwa agama dan
Negara berhubungan secara simbiotik, dalam arti berhubungan secara timbal balik
dan saling membutuhkan. Dalam hal ini Negara membutuhkan agama sebagai pijakan
kekuatan moral sehingga dapat menjadi alat mekanisme kontrolnya.
Di antara ulama yang
pemikirannya bias digolongkan dalam model ini adalah Imam al-Mawardi. Ulama
lain yang pemikirannya masuk kedalam paradigm ini adalah Imam al-Ghazali.
Ketiga, Secularistic Paradigm, yang memandang relasi antara agama dan dan
Negara harus terpisah. Pandangan inilah yang menolak dengan tegas Paradigm
Integrated maupun symbiotic. Dalam pandangan secularistic paradigm tugas Nabi
Muhammad SAW tak lebih dari tugas kenabian bukannya kekuasaan (innaha nubuwah
la mulk) sebagaimana nabi terdahulu.
Masih dalam pandangan
secularistic paradigm, Moh. Sholeh menjelasaskan bahwa urusan keduniaan Nabi
SAW diserahkan kepada umatnya (antum a’lamu bi umuri dunyakum), termasuk urusan
politik. Lebih jauh secularistic paradigm ini menyatakan bahwa islam tidak
memiliki kaitan apapun dengan sistema kekhalifahan, sehingga sistem
kekhalifahan adalah tergolong urusan duniawi murni. Secara umum pendukung
secularistic paradigm ini selalu menyuarakan bahwa belief is one thing, and politics
is another. Pandangan atas secularisticparadigm ini diusung oleh Al-Syaikh Ali
Abdu al-Raziq.
Sejarah membuktikan
bahwa setelah Rasulullah Muhammad SAW kembali keharibaan-Nya, persoalan yang
muncul justru bukan masalah aqidah, melainkan politik. Saya sangat setuju
dengan Penulis Buku ini, agama dan Negara sebagai inti politik merupakan dua
institusi yang mempunyai pengaruh besar dan kuat bagi manusia. Hanya untuk
agama dan Negara, terkadang manusia rela mengorbankan dirinya, baik harta
maupun nyawa. Tentu dengan motif yang relatif pula, baik dalam rangka
mendapatkan gelar syahid dalam pandangan agama, atau mendapat gelar pahlawan
dalam pandangan Negara.
Dalam buku ini
seolah-olah Moh. Sholeh ingin mengajak kita untuk mengingat kembali bahwa dalam
sejarah, khilafah dikenal sebagai institusi politik Islam pengganti atau
penerus Rasulullah SAW sebagai pembuat hukum dalam urusan agama dan politik.
Terlepas dari secara etimologis kata khilafah yang berarti perwakilan atau
pengganti. Konsep Khilafah yang sampai pada generasi kita ini apakah murni
untuk mendapat gelar Syahid? Pahlawan? Atau memang sudah bergeser pada
kepentingan lain? Moh. Sholeh menguraikan mengenai itu semua, termasuk
bagaimana suksesi gerakan Khilafah melalui Revolusi, Sistem Negara Islam
Klasik: Akar Teori Khilafah, termasuk pergulatan Formulasi Teori
Khilafah.
Lebih jauh lagi,
dalam buku ini membahas bab-bab yang tidak terjangkau oleh penulis lain, yang
menyoroti dan mengkritisi gerkan Khilafah, Moh. Sholeh menyuguhkan beberapa bab
khusus mengenai bentuk-bentuk Negar dalam Islam, diantaranya ada; Khilafah,
Mulk, Daulah, Imamah. Bab yang tidak kalah menarik adalah ketika ia bercerita
tentang berbagai macam Organisasi Pengusung Restorasi Khilafah. Dengan bahasa
yang sangat mengalir, saya dibuat tercengang oleh Moh. Sholeh, karena ia
mengungkapkan data bahwa bukan hanya Hizbut Tahrir Islami saja yang mengusung
Restorasi Khilafah, Ada empat organisasi yang disebutkan oleh Dosen Universitas
Islam Attahiriyah Jakarta ini. bahkan organisasi ini benar-benar diluar dugaan
saya.
Karya Moh. Sholeh ini
dapat kita pakai sebagai petunjuk memahami pernak pernik seputar Khilafah,
mulai dari kisah dramatis Musthafa Kaml Attaruk, Ali Abdul Raziq, Hassan
Al-Banna, Muhammad Bin Abdul Wahhab, Wahabisme, Saudi Arabia dan Tanah Kaum
Salafi. Hingga pola Suksesi dalam Institusi Negara Khilafah dari Khulafa’
al-Rasyidin sampai periode Turki Usmani. Setelah Istana Publishing Yogyakarta
menerbitkan dalam buku ini, masihkah secara buru-buru kita mengklaim bahwa Khilafah
adalah ancaman untuk Negara Indonesia? Sedangkan dari Judul bukunya saja sudah
sangat jelas bahwa “Khalifah Sebagai Produk Sejarah, Bukan Produk Syari’ah.”
Buku ini menyuguhkan
ulasan mendetail, runtut dan diutarakan dengan sangat apik oleh Moh. Sholeh
mengenai perjalanan Khilafah di Era Modern, dari Kongres ke Kongres; Kongres
awal, efek Libia dan Iran, Kongres-kongres kelompok, hingga konferensi Khilafah
di Jakarta pada tahun 2007. Termasuk diakronik karena dalam buku ini juga
membahas tentang Khilafah, Sekularisme dan Nation State; Pengalaman
Bangsa-bangsa Muslim musal persinggungan. Mulai dari Turki Usmani, Arab, Mesir,
Aljazair, Iran, Asia Selatan, Indonesia Hingga Malaysia.
Karena kehati-hatian
(penulis) dalam mengutip pendapat para ulama, ahli dan kelompok-kelompok yang
berbeda pendapat memaknai kesejatian khilafah, saya kira karena itulah buku ini
sangat demokratis dan memberi tawaran yang sangat istimewa kepada Para
pendukung dan pengikut Khilafah di Indonesia yang barangkali ingin kembali mencintai
Negaranya sendiri?
Sebagaimana realitas
empirik menunjukkan bahwa masih banyak diantara Umat Islam yang menyadari bahwa
tatanan masyarakat Madinah yang didirikan oleh Muhammad SAW adalah identik
dengan “Negara” yang plural secara suku dan keyakinan agama. Mereka terdiri
dari suku-suku Arab Islam, baik dari Makkah dan Madinah, serta suku-suku di
luar keduanya. Masyarakat Madinah juga terdiri dari suku-suku Yahudi, Nasrani,
Majusi, bahkan mereka masih musyrik. Sebagai landasan Negara baru tersebut, saat
itu Rasulullah SAW memproklamasikan “Konstitusi Dasar” yang kemudian lebih
dikenal dengan nama “Mitsaq Madinah” atau piagam Madinah.
Perlu kita ingat
lagi, bahwa dengan Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal itu. Nabi SAW
telah meletakkan sendi-sendi kehidupan Nation State untuk masyarakat yang
majemuk secara etnis dan agama yang mana secara jelas inti pasal-pasal Piagam
Madinah dilukis dengan tinta baru dalam buku Ini. Lebih lanjut, mukaddimah
Piagam Madinah tersebut menegaskan bahwa semua penduduk Madinah yang bersifat
majemuk itu adalah satu bangsa (innaha ummah wahidah).
Berdasarkan oenegasan
itu pula para kiai di Indonesia berpendapat bahwa bangsa dibangun dan didirikan
tidak berdasarkan agama saja (based on religion), tetapi berdasarkan pluralitas
(based on plurality). Berdasarkan piagam tersebut mereka meyakini bahwa NKRI
yang berdasarkan UUD 1945 adalah upaya final bagi umat Islam dalam rangka
mendirikan sebuah Negara.
Hadirnya buku yang
berani mengungkap sejarah seperti ini tidak bisa dihindarkan dari ruang public
kita, terutama untuk generasi yang kurang memahami sejarah Islam dan Politik
dunia. Karena setelah Rasulullah wafat, yang pertama menjadi agenda
perbincangan umat Islam adalah peroalan politik tentang suksesi beserta agenda
kelompok-kelompok yang muncul setelah itu.
Kembali pada
pertanyaan awal, apakah setelah resmi dibubarkan oleh Menteri Hukum dan HAM di
Indonesia, masihkah saudara kita Hizbut Tahrir Indonesia tetap menolak
pluralisme, kebhinekaan, dan kesaktian Pancasila? Ingin menjadi Pemberontak di
Negaranya sendiri? Atau ingin menjadi Syahid di Hadapan Allah? Jika HTI tetap
memegang teguh prinsip Khilafah Islamiyahnya, bias jadi hal itu karena HTI
menganggap bahwa Khilafah Islamiyah merupakan Produk Syariah, bukan Produk Sejarah.
Upaya Penulis buku
yang pernah menimba ilmu di Pesantren al-Basyariyah, Darul Hikam, Darunnajah
dan Pesantren Tegalsari Ponorogo ini patut diapresiai. Semoga buku dengan
ketebalan 236 halaman ini bisa memperkaya pengalaman kita. Aamiin. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar