Hidup Bersama Menjaga Indonesia
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
Ketua Dewan Organisasi Pendekatan Antarmazhab Iran, Ayatollah
Taskhiri, pada akhir Januari lalu menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama dan
Muhamamdiyah memiliki posisi dan peran yang sangat penting bukan saja bagi
Indonesia, akan tetapi jauh lebih dari itu bagi persatuan dunia.
Maka, segala bentuk dan upaya yang mengarah pada usaha untuk
menciptakan saling-silang pemahaman, saling menghargai dan sinergi dan juga
satunya langkah di antara keduanya sangat penting (Kompas, 21/1).
Gayung pun bersambut. Apa yang ‘diimpikan’ oleh Ayatollah Taskhiri
tersebut benar-benar terjadi: dua ormas besar yang bersama-sama berjuang
merebut kemerdekaan dan turut andil dalam merumuskan bentuk negara berkumpul
dan melakukan pertemuan khusus pada Jumat, 23 Maret 2018, di Kantor PBNU. Dua
tokoh kunci, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Ketua Umum PP Muhammadiyah
KH Haedar Nashir, bergandengan tangan menyatukan pandangan, menyerasikan gerak
langkah dan sekaligus merapatkan barisan untuk menyampaikan komitmen-komitmen
kebangsaan dan juga mengupayakan solusi problematika keberagamaan di Indonesia.
Lima keputusan
Ada lima keputusan penting yang berhasil dirumuskan. Kelima
keputusan tersebut tentu saja dilandasi oleh tiga semangat: terus-menerus menyerukan
saling tolong menolong melalui sedekah dan derma; menegakkan kebaikan; serta
mengupayakan rekonsilisasi atau perdamaian kemanusiaan.
Pertama, NU dan Muhammadiyah meneguhkan komitmen untuk senantiasa
mengawal dan mengokohkan konsensus para pendiri bangsa yang menyatakan bahwa
Pancasila dan NKRI merupakan bentuk final “mu’ahadah wathaniyyah” dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammadiyah mengistilahkan Indonesia
sebagai “Darul Ahdi was Syahadah“.
Kedua, baik NU maupun Muhammadiyah bersepakat secara proaktif dan
berkesinambungan melakukan upaya-upaya guna mendorong peningkatan taraf hidup
dan juga kualitas hidup masyarakat. Dalam konteks ini, kedua ormas setuju bahwa
kunci peningkatan taraf hidup terletak pada pendidikan. Maka, NU dan Muhammadiyah
akan mendorong pemerintah untuk bekerja keras membuka akses-akses pendidikan
secara luas. Dalam pada itu, penguatan basis-basis ekonomi keumatan dan juga
peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat juga menjadi pekerjaan rumah
yang serius yang harus diatasi bersama sebagai prasayarat menuju kehidupan
bengbangsa yang lebih sejahtera.
Ketiga, NU dan Muhammadiyah mendorong pemerintah agar secepatnya
melakukan ikhtiar berkaitan program pengentasan kemiskinan dan menekan angka
pengangguran. Baik NU maupun Muhammadiyah bersepakat, disparitas dan
kesenjangan sosial merupakan salah satu sumber bencana sosial yang jika tidak
diatasi dengan baik akan menjadi ancaman yang cukup nyata dan berbahaya.
Keempat, menghadapai era tsunami informasi, NU-Muhammadiyah mengimbau
untuk bahu-membahu membangun iklim dan suasana kondusif dalam kehidupan
kemasyarakatan dan keberagamaan. Kedua belah pihak juga bersepakat akan
menghadirkan narasi-narasi yang mencerahkan melalui upaya-upaya yang salah
satunya dalam bentuk penguatan dan peningkatan literasi digital dengan tujuan
agar terwujud cita-cita bersama membangun masyarakat informatif yang
berkahlakul karimah.
Kelima, memasuki tahun politik 2018, NU-Muhammadiyah mengajak
segenap bangsa Indonesia bersama-sama menjadikan ajang demokrasi sebagai bagian
dari proses mendewasakan diri dalam konteks bangsa dan negara. Pelbagai macam
perbedaan harus dijadikan sumber daya dan bahan baku untuk membangun harmoni
dan sinergi. Dalam konteks demokrasi, kesadaran yang harus kita genggam dalam-dalam
adalah bahwa ia bukan hanya butuh kerelaan hati untuk menerima adanya perbedaan
pendapat dan pikiran, lebih jauh dari itu, demokrasi juga butuh kesabaran,
ketelitian, kesabaran, dan cinta kasih antarsesama.
Menarik apa yang disampaikan Said Aqil Siroj mengenai pertemuan
bersejarah tersebut. Dengan sangat jelas, Kiai Said ingin bukan saja
memanfaatkan momentum pertemuan dua ormas besar tersebut sebagai pertemuan
fisik semata, lebih dari itu, Kiai Said merumuskan tiga gradasi ‘silaturrahmi’
antara NU dan Muhammadiyah.
Tiga bingkai hubungan
Tiga gradasi silturrahmi ini sangat erat korelasinya dengan sukses
dan tidaknya implementasi dari keputusan-keputusan yang telah diputuskan
bersama.
Pertama, silatul afkar. Pada konteks ini NU-Muhammadiyah menyatukan pandangan, persepsi, cara dan sudut pandang problematika kebangsaan dan keumatan dalam konteks berbangsa bernegara. Kedua ormas bersepakat, diskurusus tentang dasar kenegaraan yang menempatkan NKRI dan juga Pancasila sebagai dasar negara merupakan perkara yang sudah qath’i, final.
Tidak ada ruang lagi untuk memperdebatkan dasar negara sebab
Pancasila dengan semboyan bineka tunggal ika dalam pandangan kedua ormas
merupakan dasar negara yang sudah ideal. Pandangan politik kebangsaan keduanya
tak pernah goyah. Dalam catata penulis dan penelurusan pelbagai literatur, tak
pernah ditemukan gerakan pembangkangan yang cenderung melawan pemerintah yang
dilakukan dan diaktori oleh keduanya.
Pada titik ini, sangat tepat apa yang dikatakan oleh Kiai Said
Aqil Siroj (2018) bahwa NU—juga Muhammadiyah—keduanya masih kokoh berdiri
mengawal perjalanan politik disebabkan oleh karena kuatnya pemahaman tentang
fikih siyasah yang dibalur dengan jernihnya pemahaman tentang fikih waqi’iyyah
(pemahaman yang meyeluruh dan holistik akan realitas sosial), yang secara
substansial mengarahkan pada terwujudnya kemaslahatan dan bagi kehidupan
bersama atau yang dalam kaidah fikih disebut sebagai maslahah ammah.
Kedua, silatul amal. Pandangan dan visi yang baik niscaya tak akan
ada gunanya jika tak diimplementasikan secara sungguh- sungguh. Aksi adalah
kata kunci kedua setelah proses penyatuan visi, sudut pandang, dan cara
pandang. Sinergitas diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata dan konkret. NU dan
Muhammadiyah dalam konteks ini sudah memulai dengan sinergi keumatan melalui
kegiatan pemberdayaan umat dan filantropi yang dilakukan oleh kedua lembaga
amil zakat yang ada di bawah NU dan Muhammadiyah (NU Care LazisNU dan Lazismu).
Ketiga, silaturruh. Puncak silaturahmi yang dilakukan tentu saja
terletak pada konektivitas spiritual antar-pelbagai pihak yang bersinergi.
Satunya frekuensi dan getaran hati tentu saja akan menggerakkan masing-masing
pihak yang bersinergi untuk kemudian menjelma menjadi pribadi atau institusi
yang lebih peka, lebih jernih dalam melihat dan juga mendengar jeritan bangsa,
suara hati dan nurani dari mereka yang berharap kamajuan dan kesejahteraan
dalam berbangsa dan bernegara.
Pada konteks ini, NU dan Muhammadiyah setelah melakukan pertemuan
tersebut sudah berada dalam satu sudut pandang, satu irama dan gerakan, serta
satu frekuensi dalam memandang kehidupan berbangsa dan bernegara.
]Maka, tentu saja, resonansi yang akan dihasilkan oleh keduanya
dalam konteks kebangsaan dan keumatan guna mendorong terciptanya tatanan
masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, sejuk, damai dan toleran pasti akan
indah. Sesuatu yang layak untuk ditunggu. Tentu saja kita optimistis akan hal
itu.
Indonesia bukanlah fisik semata. Indonesia adalah energi, kekuatan, dan juga semangat dan juga keinginan yang kuat untuk tetap hidup bersama dalam kedamaian dan kerukunan. Maka, segala upaya harus dilakukan bersama untuk menjaganya. []
KOMPAS, 31 Maret 2018
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar