Lima Tanda Orang Tawadhu’ Menurut
Sayyid Abdullah Al-Haddad
Tawadhu’ atau rendah hati merupakan salah satu
sikap terpuji sebab itu merupakan akhlak orang mukmin sejati. Seseorang yang
bersikap sebaliknya–takabur–sangat dibenci oleh Allah SWT. Orang takabur
diancam tidak akan masuk surga sampai ia bertobat dan tidak lagi menjadi orang
takabur. Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul
Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah, halaman 148-149, menjelaskan
tanda-tanda orang tawadhu’ sebagai berikut:
فمن
أمارات التواضع حبُّ الخمول وكراهية الشهرة وقبول الحق ممن جاء به من شريف أو
وضيع. ومنها محبة الفقراء ومخالطتهم ومجالستهم. ومنها كمال القيام بحقوق الإخوان
حسب الإمكان مع شكر من قام منهم بحقه وعذرمن قصَّر.
Artinya: “Tanda-tanda orang tawadhu’, antara
lain, adalah lebih senang tidak dikenal dari pada menjadi orang terkenal;
bersedia menerima kebenaran dari siapapun asalnya baik dari kalangan orang
terpandang maupun dari kalangan orang yang rendah kedudukannya; mencintai fakir
miskin dan tidak segan-segan duduk bersama mereka; bersedia mengurusi dan
menuanikan kepentingan orang lain dengan sebaik mungkin; berterima kasih kepada
orang-orang yang telah menunaikan hak yang dibebankan atas mereka, sementara
memaafkan mereka yang melalaikannya.”
Dari kutipan di atas dapat diuraikan bahwa
tanda-tanda orang tawadhu’ adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak suka atau tidak berambisi
menjadi orang terkenal. Orang seperti ini menghindari penonjolan diri atau
mencari muka demi meraih popularitas. Artinya orang tawadhu’ sekaligus adalah
orang yang ikhlas bekerja tanpa pamrih mendapatkan kemasyhuran di tengah-tengah
masyarakat, apalagi mencari pujian.
Kedua, menjunjung tinggi kebenaran dan bersedia
menerimanya tanpa memandang hal-hal duniawi, seperti status sosial, dari orang
yang menyatakannya. Hal ini sejalan dengan nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib
RA berbunyi, “La tandhur ilâ man qâla, wandhur ilâ ma
qâla (Jangan melihat siapa yang mengatakan, lihatlah apa yang
dikatakannya)." Jadi orang tawadhu’ sekaligus adalah orang yang sportif
atau jujur.
Ketiga, tidak segan-segan untuk bergaul dengan
fakir miskin, dan bahkan secara tulus mencintai mereka. Hal ini persis seperti
yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW sebagaimana dikisahkan dalam kitab Maulid
Al-Barzanji, karya Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad
Al-Barzanji, halaman 123, sebagai berikut: “Wakâna shallallâhu alaihi wassalam
syadidal haya’i wattwadhu’i.... yuhibbul fuqarâ’a wal masâkina wayajlisu
ma’ahum.” (Rasulullah SAW adalah pribadi yang sangat pemalu dan amat
tawadhu’... beliau mencintai fakir miskin dan tidak segan-segan bergaul dengan
duduk bersama mereka.)
Keempat, ringan tangan dalam membantu
orang-orang yang memerlukan bantuan sehingga bersedia bertindak atas nama
mereka. Ia tidak merasa turun derajat jika yang ia bantu ternyata dari
kalangan yang lebih rendah atau orang-orang biasa. Dengan kata lain orang
tawadhu’ tidak suka bersikap diskriminatif sehingga hanya bersedia membantu
orang-orang yang sederajat atau lebih tinggi saja.
Kelima, tidak merasa berat untuk mengucapkan
terima kasih kepada siapa saja yang telah membantu menunaikan kewajibannya,
karena suatu alasan, tanpa memandang status sosialnya. Ketika ternyata ada yang
lalai dalam membatu, ia tidak keberatan untuk memaafkannya. Dengan kata lain
orang tawadhu’ tentu berterima kasih atas kebaikan orang lain dan tidak
keberatan untuk memaafkan mereka yang telah berbuat salah.
Kelima tanda tawadhu’ sebagaimana ditunjukkan
oleh Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad di atas tentu saja bersifat
terbuka, dalam arti tanda-tandanya tidak hanya sebatas itu. Untuk lebih
lengkapnya dapat dibaca dalam kitab Maulid Al-Barzanji, halaman 123,
sebagai kelanjutan atau kelengkapan dari apa yang telah diuraikan sedikit
tentang contoh-contoh kerendahan hati (tawadhu’) Rasulullah SAW pada poin
ketiga di atas. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar