Membaca
Tren Kelompok Sempalan
Oleh:
Nasaruddin Umar
INDONESIA
seolah menjadi lahan subur untuk lahirnya kelompok sempalan. Istilah ‘Kelompok
Sempalan’ sesungguhnya pertama kali dipopulerkan almarhum Gus Dur dalam era
tahun 1980-an. Kelompok sempalan ditujukan kepada kelompok masyarakat yang
memisahkan diri dari ajaran agama mainstream.
Kelompok
sempalan ketika itu digunakan untuk kelompok masyarakat yang memisahkan
diri atau melakukan praktik sinkretisme dengan agama atau aliran kepercayaan
tertentu. Kita tidak tahu, kenapa Gus Dur memilih menggunakan istilah ini,
bukannya menggunakan istilah aliran sesat atau aliran menyimpang. Gus Dur
sendiri tidak pernah menggunakan istilah kelompok atau aliran sesat karena bagi
GusDur itu wilayahnya Tuhan.
Istilah
Kelompok Sempalan akan selalu muncul seiring dengan maraknya kelompok
sosial keagamaan memperkenalkan keunikan paham kelompoknya. Contoh,
lahirnyakelompok yang menamakan diri Gafatar yang kemudian menimbulkan
kontroversi dan menyebabkan dibubarkannya kelompok ini dan tokohnya di
jebloskan ke dalam penjara.
Sebelumnya
ada dua kasus kasus sempalan yang juga menghebohkan masyarakat, yaitu kelompok
Ahmadiyah Qadiyan dan kelompok Lia Aminuddin, dan nabi palsu Mushaddeq.
Fenomena sempalan juga muncul setiap kali penentuan awal bulan puasa dan Hari
Raya Idul Fitri. Selalu ada sejumlah kelompok tarekat yang menjalankan ibadah
puasa dan Idul Fitri lebih awal mendahului kelompok mainstream muslim lainnya,
seperti kelompok tarekat yang ada di Padang, Sumatra Barat dan di Gowa,
Sulawesi Selatan, dan sejumlah kelompok tarekat di daerah lain.
Kalau
yang dimaksud kelompok yang menyempal dari ajaran mainstream, sesungguhnya
kelompok sempalan bukan wacara baru dalam dunia Islam. Perjalanan sejarah dunia
Islam sepertinya tidak pernah sepi dari kelompok sempalan. Tidak lama setelah
Rasulullah wafat sudah muncul kelompok- kelompok Islam yang menyempal seperti
kelompok Khawarij, kelompok Murji’ah, dan kelompok Syiah di samping kelompok
Sunni.
Antara
satu sama lain saling mengafirkan, bahkan saling bunuh satu sama lain. Masa pemerintahan
Dinasti Umayyah dan Abbasiyah juga tidak pernah sepi dari kelompok sempalan.
Bahkan pernah menjadi tren ketika kelompok penguasa melakukan praktik tahkim,
yaitu semacam litsus yang harus dilakukan kepadacalon-calon pejabat agar
pemerintahan bersih dari aliran yang dianggap ‘sesat’ ketika itu.
Tema
penyempalan juga sangat bervariasi. Mulai dari penyempalan bertema mazhab
(fikih), aliran (teologi), sampai kepada intrik gaya dan dukungan politik. Isu
kudeta terhadap sebuah rezim sering dihubungkan dengan hadirnya kelompok
sempalan. Di dalam lintasan sejarah Indonesia sendiri juga tidak pernah sepi
dari kelompok sempalan. Di masa dulu sebenarnya kelompok sempalan lebih ramai
daripada sekarang.
Dulu
komunitas media sangat terbatas sehingga banyak kelompok sempalan yang luput
dari perhatian publik. Sekarang, perkembangan komunitas media begitu besar dan
dengan peralatan yang begitu canggih sehingga seolah tidak ada sejengkal tanah
di Indonesia luput dari intaiaan media.
Jadi
sekarang belum tentu jumlah kelompok sempalan semakin berkembang, mungkin
medianya sudah terlalu banyak sehingga semuanya terungkap. Data-data
statistik menunjukkan dekade terakhir ini, dari tahun ke tahun populasi dan
kuantitas mainstream muslim cenderung meningkat, sementara kelompok agama lain
cenderung konstan.
Diduga
peningkatan populasi muslim mainstrem itu bukan semata-mata disebabkan oleh
pertumbuhan populasi penduduk tetapi juga karena kelompok-kelompok masyarakat
lokal yang belum memiliki agama atau mereka yang tergabung di dalam kelompok
aliran kepercayaan atau kelompok sempalan lainnya yang muncul di dalam
masyarakat.
Sebetulnya
bukan hanya istilah kelompok sempalan, tetapi ada juga istilah lain yang sering
digunakan, antara lain kelompok aliran menyimpang dan atau kelompok aliran
sesat. Istilah terakhir ini sering di gunakan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI), seperti dalam fatwanya tentang Jemaat Ahmadiyah yang dianggap sebagai
kelompok aliran sesat dan menyesatkan.
Sebagai
aliran sesat dan menyesatkan maka MUI merekomendasikan kepada pemerintah untuk
dilakukan tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Klaim
sesat-menyesatkan adalah hak setiap komunitas. Tetapi apakah klaim itu berdasar
hukum?
Melalui
proses apa klaim itu diambil? Atas mandat siapa tugas itu dilakukan? Untuk
tujuan apa klaim itu dikeluarkan? Siapa yang menjadi korban di balik klaim itu?
Apa target klaim itu? Kesemuanya ini perlu jelas. Kita perlu berhati-hati di
dalam mengklaim suatu kelompok menjadi aliran sempalan apalagi kelompok aliran
sesat. Jika klaim itu sembrono maka dampaknya sama dengan fitnah, bisa
berpengaruh pada nama baik dan hak asasi manusia (HAM). Mungkin bukan hanya
yang bersangkutan, tetapi juga keluarga dan relasi orang itu.
Sebaliknya,
klaim juga bisa memiliki arti penting kalau memang benar-benar terjadi dan
menjadi ancaman nyata bagi orang atau kelompok lain, misalnya laporan
investigasi sejumlah media menemukan adanya unsur penyimpangan agama dan cacat
ideologis, maka kelompok mayoritas juga punya hak untuk mempertahankan diri
dengan segala hak dan kewajibannya.
Kebebasan
beragama yang dianut dalam sistem konstitusi kita bukan membebaskan setiap
orang menghujat agama dan keyakinan orang lain. Tidak bisa atas nama kebebasan
beragama lantas digunakan untuk mengacak-acak agama orang lain. Tidak bisa juga
atas nama aliran atau mazhab lantas seseorang bebas meluncurkan tuduhan aliran
sesat atau sempalan terhadap orangorang yang menyimpang dari mazhab atau
alirannya. Negara sudah mengatur hal-hal yang berhubungan dengan organisasi
atau kelompok terlarang. []
MEDIA
INDONESIA, 31 Maret 2018
Nasaruddin
Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar