Selasa, 03 April 2018

Nasaruddin Umar: Membaca Tren Kelompok Sempalan


Membaca Tren Kelompok Sempalan
Oleh: Nasaruddin Umar

INDONESIA seolah menjadi lahan subur untuk lahirnya kelompok sempalan. Istilah ‘Kelompok Sempalan’ sesungguhnya pertama kali dipopulerkan almarhum Gus Dur dalam era tahun 1980-an. Kelompok sempalan ditujukan kepada kelompok masyarakat yang memisahkan diri dari ajaran agama mainstream.

Kelompok sempalan ketika  itu digunakan untuk kelompok masyarakat yang memisahkan diri atau melakukan praktik sinkretisme dengan agama atau aliran kepercayaan tertentu. Kita tidak tahu, kenapa Gus Dur memilih menggunakan istilah ini, bukannya menggunakan istilah aliran sesat atau aliran menyimpang. Gus Dur sendiri tidak pernah menggunakan istilah kelompok atau aliran sesat karena bagi GusDur itu wilayahnya Tuhan.

Istilah Kelompok Sempalan akan selalu muncul seiring dengan maraknya kelompok  sosial keagamaan memperkenalkan keunikan paham kelompoknya. Contoh, lahirnyakelompok yang menamakan diri Gafatar yang kemudian menimbulkan kontroversi dan menyebabkan dibubarkannya kelompok ini dan tokohnya di jebloskan ke dalam penjara.

Sebelumnya ada dua kasus kasus sempalan yang juga menghebohkan masyarakat, yaitu kelompok Ahmadiyah Qadiyan dan kelompok Lia Aminuddin, dan nabi palsu Mushaddeq. Fenomena sempalan juga muncul setiap kali penentuan awal bulan puasa dan Hari Raya Idul Fitri. Selalu ada sejumlah kelompok tarekat yang menjalankan ibadah puasa dan Idul Fitri lebih awal mendahului kelompok mainstream muslim lainnya, seperti kelompok tarekat yang ada di Padang, Sumatra Barat dan di Gowa, Sulawesi Selatan, dan sejumlah kelompok tarekat di daerah lain.

Kalau yang dimaksud kelompok yang menyempal dari ajaran mainstream, sesungguhnya kelompok sempalan bukan wacara baru dalam dunia Islam. Perjalanan sejarah dunia Islam sepertinya tidak pernah sepi dari kelompok sempalan. Tidak lama setelah Rasulullah wafat sudah muncul kelompok- kelompok Islam yang menyempal seperti kelompok Khawarij, kelompok Murji’ah, dan kelompok Syiah di samping kelompok Sunni.

Antara satu sama lain saling mengafirkan, bahkan saling bunuh satu sama lain. Masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah juga tidak pernah sepi dari kelompok sempalan. Bahkan pernah menjadi tren ketika kelompok penguasa melakukan praktik tahkim, yaitu semacam litsus yang harus dilakukan kepadacalon-calon pejabat agar pemerintahan bersih dari aliran yang dianggap ‘sesat’ ketika itu.

Tema penyempalan juga sangat bervariasi. Mulai dari penyempalan bertema mazhab (fikih), aliran (teologi), sampai kepada intrik gaya dan dukungan politik. Isu kudeta terhadap sebuah rezim sering dihubungkan dengan hadirnya kelompok sempalan. Di dalam lintasan sejarah Indonesia sendiri juga tidak pernah sepi dari kelompok sempalan. Di masa dulu sebenarnya kelompok sempalan lebih ramai daripada sekarang.

Dulu komunitas media sangat terbatas sehingga banyak kelompok sempalan yang luput dari perhatian publik. Sekarang, perkembangan komunitas media begitu besar dan dengan peralatan yang begitu canggih sehingga seolah tidak ada sejengkal tanah di Indonesia luput dari intaiaan media.
Jadi sekarang belum tentu jumlah kelompok sempalan semakin berkembang, mungkin medianya sudah terlalu banyak sehingga semuanya terungkap.  Data-data statistik menunjukkan dekade terakhir ini, dari tahun ke tahun populasi dan kuantitas mainstream muslim cenderung meningkat, sementara kelompok agama lain cenderung konstan.

Diduga peningkatan populasi muslim mainstrem itu bukan semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk tetapi juga karena kelompok-kelompok masyarakat lokal yang belum memiliki agama atau mereka yang tergabung di dalam kelompok aliran kepercayaan atau kelompok sempalan lainnya yang muncul di dalam masyarakat.

Sebetulnya bukan hanya istilah kelompok sempalan, tetapi ada juga istilah lain yang sering digunakan, antara lain kelompok aliran menyimpang dan atau kelompok aliran sesat. Istilah terakhir ini sering di gunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti dalam fatwanya tentang Jemaat Ahmadiyah yang dianggap sebagai kelompok aliran sesat dan menyesatkan.

Sebagai aliran sesat dan menyesatkan maka MUI merekomendasikan kepada pemerintah untuk dilakukan tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Klaim sesat-menyesatkan adalah hak setiap komunitas. Tetapi apakah klaim itu berdasar hukum?

Melalui proses apa klaim itu diambil? Atas mandat siapa tugas itu dilakukan? Untuk tujuan apa klaim itu dikeluarkan? Siapa yang menjadi korban di balik klaim itu? Apa target klaim itu? Kesemuanya ini perlu jelas. Kita perlu berhati-hati di dalam mengklaim suatu kelompok menjadi aliran sempalan apalagi kelompok aliran sesat. Jika klaim itu sembrono maka dampaknya sama dengan fitnah, bisa berpengaruh pada nama baik dan hak asasi manusia (HAM). Mungkin bukan hanya yang bersangkutan, tetapi juga keluarga dan relasi orang itu.

Sebaliknya, klaim juga bisa memiliki arti penting kalau memang benar-benar terjadi dan menjadi ancaman nyata bagi orang atau kelompok lain, misalnya laporan investigasi sejumlah media menemukan adanya unsur penyimpangan agama dan cacat ideologis, maka kelompok mayoritas juga punya hak untuk mempertahankan diri dengan segala hak dan kewajibannya.

Kebebasan beragama yang dianut dalam sistem konstitusi kita bukan membebaskan setiap orang menghujat agama dan keyakinan orang lain. Tidak bisa atas nama kebebasan beragama lantas digunakan untuk mengacak-acak agama orang lain. Tidak bisa juga atas nama aliran atau mazhab lantas seseorang bebas meluncurkan tuduhan aliran sesat atau sempalan terhadap orangorang yang menyimpang dari mazhab atau alirannya. Negara sudah mengatur hal-hal yang berhubungan dengan organisasi atau kelompok terlarang. []

MEDIA INDONESIA, 31 Maret 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar