Tabahnya Hati Seorang
Muadzin
Adzan Ashar di masjid
dekat tempat tinggalku di sore itu terasa berbeda dari biasanya. Pak Syakur
yang biasanya bersuara lantang dan merdu dalam setiap adzannya, di sore itu
suaranya terdengar parau dan sendu. Maklum di sebelah kanannya ada peti jenazah
yang di dalamnya istri yang dicintainya berbaring disemayamkan.
Di akhir adzan suara
Pak Syakur terdengar tersendat-sendat dan panggilan untuk shalat itu hampir
saja tak bisa diselesaikannya. Pak Syakur pasti menyadari adzan itu adalah
adzan perpisahan yang tak akan didengarkan lagi oleh sang istri ketika telah
dimakamkan di tempat yang jauh dari rumah dan masjid tempat Pak Syakur
sehari-hari bertugas sebagai muadzin.
Sebelumnya di pagi
hari pukul 07.00 WIB, istri Pak Syakur–Ibu Sri Bariyah–mengembuskan napas
terakhir dalam usia 50 tahun. Selama beberapa minggu sebelum ajal, Bu
Bariyah sempat dirawat di dua rumah sakit yang berbeda karena sakit komplikasi.
Almarhumah wafat dengan meninggalkan 4 orang anak. Yang sulung sudah kuliah;
yang bungsu masih duduk di bangku SD.
Melihat banyaknya
orang yang menshalatkan Bu Bariyah, baik laki-laki maupun perempuan, dan jumlah
pelayat yang tidak bisa dihitung satu per satu, ditambah lagi banyaknya pelayat
yang secara suka rela mengantarkan jenazah hingga tempat pemakaman dalam
suasana hujan gerimis, orang awam saja bisa mengambil kesimpulan Ibu Sri
Bariyah insyaallah husnul khatimah. Sebagai istri, kebaikan Bu Bariyah
kepada Pak Syakur diakui banyak orang.
Aku pun juga mengakui
kebaikan pasutri itu. Aku cukup tahu siapa mereka berdua. Rumahnya gandeng
dengan rumah yang aku tempati, hanya posisinya bertolak belakang. Istriku juga
sering bercerita Bu Bariyah adalah orang sabar, selalu hormat dan bakti kepada
suami.
Maka tidak
mengherankan ketika Kiai Halim di sore itu menanyakan kepada para pelayat
apakah Bu Bariyah orang baik, semua hadirin menjawab serempak, “Orang baik!”
Dan jawaban itu diulang hingga tiga kali. Dalam Islam, orang baik yang
meninggal dunia di hari Jum'at akan terlindung dari siksa api neraka. Ya, hari
itu adalah Jumat, 9 September 2016, Ibu Sri Bariyah, S.Pd.I. pulang ke
rahmatullah. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun.
Ada banyak peristiwa
dari pagi hingga sore hari itu terkait wafatnya Bu Bariyah dan prosesi
pemakamannya. Namun, hal yang paling membuatku terharu adalah saat Pak
Syakur berada di tempat pemakaman. Dalam susana seduka itu Pak Syakur masih
sanggup mencucurkan keringat mencangkul tanah urug untuk mengurug kembali liang
lahat dimana jenazah istrinya dibaringkan untuk selamanya.
Ketabahan hati Pak
Syakur memang dahsyat dan itu sekaligus merupakan ungkapan ridha seorang suami
bahwa ia ikhlas ditinggal sang istri demi menghadap Sang Khaliq yang telah
memanggilnya pulang dan takkan pernah kembali. Pak Syakur telah membuktikan
kata-katanya di depan Kiai Halim yang membacakan mahasinul mayyit Bu Bariyah
bahwa ia ridha atas apa yang menimpa istrinya. Sebelumnya Kiai Halim memang
menanyakan hal itu.
Allahumaghfirlaha...
warhamha... wa’afiha... wa’fu ‘anha... waj’alil jannta matswaha. amin. []
Muhammad Ishom, dosen
Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar