Indonesia 2045
Oleh: Salahuddin Wahid
Media sosial menyebarluaskan potongan pidato Prabowo Subianto yang
menyatakan para ahli di luar negeri memperkira -kan Indonesia mungkin bubar
pada 2030. Apa yang dikemukakan Prabowo itu berdasar novel berjudul Ghost
Fleet karya Peter Warren Singer dan August Cole.
Langsung saja, masyarakat menanggapi pidato itu, yang umumnya
bersifat negatif. Mereka mengatakan Prabowo adalah pemimpin yang pesimistis,
bertolak belakang dengan Joko Widodo (Jokowi) yang optimistis. Pendukung
Prabowo dan sejumlah pihak netral menyatakan bahwa pidato Prabowo itu adalah
peringatan supaya kita waspada terhadap potensi negatif itu.
Mau tak mau kita teringat pada situasi 1998 ketika kita dilanda
krisis multidimensi. Saat itu warga Aceh dan Papua amat kuat memperjuangkan
supaya dua wilayah itu lepas dari Republik Indonesia (RI). Warga Riau
juga menyuarakan aspirasi sama. Saat itu banyak orang menduga Indonesia akan
terpecah menjadi beberapa negara. Alhamdulillah kini kita masih tetap bersatu
sebagai bangsa, dengan Timor Timur kembali di luar RI. Masalah Aceh sudah
diselesaikan pada 2005 lewat Perjanjian Helsinki. Papua masih penuh masalah,
Alhamdulillah diberi perhatian penuh Presiden Jokowi.
Berkaca pada negara lain
Pada abad XX, disintegrasi terjadi di sejumlah negara yaitu
Swedia-Norwegia (1905), Inggris-Irlandia (1922), Otoman -Turki (1923),
Denmark-Eslandia (1944), Korea Utara-Korea Selatan (1950), Jerman Barat-Jerman
Timur (1945), Mali-Senegal (1960), Malaysia-Singapura (1965),
Pakistan-Bangladesh (1971), Uni Soviet (1990), Yugoslavia (1991), Ethiopia-
Eritrea (1993), dan Cekoslowakia (1993). Pemisahan Sudan Selatan dari
Sudan adalah kasus pertama pada abad XXI.
Ada kasus yang menarik yaitu penggabungan Mesir dan Suriah dengan
nama Republik Persatuan Arab pada 1958, lalu diikuti Yaman, tetapi tidak
berhasil. Yang paling menarik adalah unifikasi atau penggabungan Jerman Barat
dan Jerman Timur menjadi Jerman pada 1989 dan kini menjadi negara terkuat di Eropa.
Saat ini di dunia tak banyak negara yang berusia di atas 100 tahun, sekitar
40-an. Negara yang mencapai usia 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnis
tinggi (51-100 persen) dan tingkat homogenitas agama tinggi (51-100 persen)
yaitu Portugal, Jepang, Haiti, Dominika, Italia, Kolombia, Brasil, Kostarika,
Yunani, Hongaria, Venezuela, Cile, Paraguay, Luksemburg, Honduras, El Salvador,
Nikaragua, Uruguay, Rumania, Perancis, Panama, Meksiko, Argentina, Swedia,
Denmark, Spanyol.
Ada sembilan negara berusia di atas 100 tahun dengan tingkat
homogenitas etnik kurang dari 50 persen tetapi homogenitas agamanya lebih dari
50 persen, yaitu Belgia, Peru, Guatemala, Ekuador, Thailand, Bolivia, Nepal,
Amerika Serikat (AS), dan Liberia. Kalau berusia 100 tahun, Indonesia akan
berada di dalam kelompok ini, dengan tingkat homogenitas etnis sekitar 30
persen dan tingkat homogenitas agama 88 persen. Negara berusia lebih dari 100
tahun dengan tingkat homogenitas etnik lebih dari 50 persen dan tingkat
homogenitas agama kurang dari 50 persen adalah Belanda dan Inggris. Negara
berusia di atas 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnik kurang dari 50
persen dan tingkat homogenitas agama kurang dari 50 persen adalah Swiss.
Mencapai usia 100 tahun bagi suatu negara bukanlah hal mudah.
Banyak yang usianya mencapai 100 tahun tetapi rakyatnya tak sejahtera dan
negaranya tak demokratis. Contohnya Haiti dan Nepal. Yang betul-betul
sejahtera, maju dan menjadi kekuatan terbesar dunia ialah AS yang selama
beberapa belas tahun terakhir mengalami kesulitan dan kemunduran.
Kekuatan besar ekonomi
PricewaterhouseCoopers (PwC) membuat proyeksi Produk Domestik
Bruto (PDB) sejumlah negara pada 2030. Urutan 10 besar adalah China (38 triliun
dollar AS), AS (23,5 triliun dollar AS); India (19,5 triliun dollar AS); Jepang
(5,6 triliun dollar AS); Indonesia (5,4 triliun dollar AS); Rusia (4,7 triliun
dollar AS); Brasil (4,4 triliun dollar AS); Jerman (4,7 triliun dollar AS);
Meksiko (3,7 triliun dollar AS) dan Inggris (3,6 triliun dollar AS).
Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyampaikan
pengumuman tentang proyeksi Mc Kinsey yang mendekati proyeksi PwC. Ada sejumlah
lembaga lain yang melakukan kegiatan serupa. Untuk Indonesia, ada yang hasilnya
mendekati hasil PwC di atas, tetapi ada yang tidak. Proyeksi Dana Moneter
Internasional (IMF) di Wikipedia, mengungkap, pada 2030 PDB Indonesia berada
pada posisi kesembilan dengan angka 2,45 triliun dollar AS, tetapi pada 2050
berada pada posisi keempat dengan angka 7,3 triliun dollar AS.
Dari besaran ekonomi, jelas Indonesia mengalami peningkatan
berarti, dan itu adalah potensi pasar yang amat menjanjikan bagi
pengusaha dari negara lain. Tetapi yang menjadi masalah sejak awal adalah bahwa
jumlah uang beredar di Indonesia, 70 persen beredar di Jakarta.
Indikator makroekonomi indonesia
Kesenjangan antara segelintir orang dengan jumlah terbesar
penduduk Indonesia masih jauh. Jumlah uang beredar di Indonesia tidak banyak
berbeda dengan di Malaysia dan Singapura, padahal jumlah penduduk kita
berkali-kali lipat. Jumlah uang beredar per kapita di Indonesia amat kecil
dibanding kedua negara itu.
Adanya sejumlah perusahaan menguasai jutaan hektar lahan
perkebunan, menurut saya bertentangan dengan sila keadilan sosial. Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia meminta Pemerintah menyelesaikan masalah itu.
Pemerintah pernah berjanji mewujudkan gagasan reforma agraria yang sudah
dilontarkan oleh Presiden SBY. Kita berharap pemerintah segera melakukannya.
Penerbitan sertifikat tanah rakyat oleh pemerintahan Jokowi amat berarti bagi
masyarakat.
Generasi emas
Kita mendengar ada tokoh/pemimpin mengemukakan istilah “generasi
emas”. Kalau tujuannya untuk membangkitkan semangat, tidak jadi masalah tetapi
harus berpijak pada kenyataan. Perlu disadari bahwa banyak tantangan yang
harus kita atasi untuk bisa memanfaatkan bonus demografi untuk bisa
mewujudkan “generasi emas”. Sejumlah tantangan bisa kita sebutkan yaitu
gizi buruk, narkoba, rokok, pendidikan yang buruk akibat mutu guru yang kurang
baik, karakter bangsa yang kurang mendukung, minimnya kejujuran di
kalangan pelajar dan mahasiswa, kekerasan terhadap anak, pernikahan dini.
Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), 7,8 juta dari 23 juta
balita di Indonesia adalah penderita stunting (sekitar 35,6 persen). Sebanyak
18,5 persen termasuk bertubuh sangat pendek dan 17,1 persen termasuk anak
pendek. Batas tolerasi stunting menurut WHO adalah 20 persen. Anak yang
mengalami gizi buruk sampai 1.000 hari pertama kehidupannya akan menjadi anak
yang fisiknya lemah dan otaknya kosong. Tidak diketahui pasti seberapa banyak
jumlah penderita gizi buruk di Indonesia seperti yang dialami di Asmat beberapa
bulan lalu. World Nutrition Report 2014 menyatakan, 5 persen rakyat menderita
gizi buruk. Di sekitar Tebuireng angkanya jauh di bawah itu.
Ancaman narkoba makin hari makin meningkat. Jumlah korban juga
makin banyak. Penyelundupan narkoba dari China makin menggila dan tampaknya
kita kurang siap menghadapinya. Kondisinya betul-betul sudah darurat. Kita
seperti sudah kehilangan akal untuk menghadapi ancaman narkoba. Jumlah perokok
di Indonesia adalah yang ketiga terbesar setelah China dan India, mencapai 35
persen dari jumlah penduduk. Perokok muda semakin bertambah, usia mulai merokok
makin muda. Masyarakat ekonomi lemah menyisihkan dana yang cukup besar untuk
membeli rokok sehingga gizi keluarga terabaikan. Legislatif dan eksekutif
kita ramah terhadap industri rokok.
Pendidikan yang menjadi dasar dari semua kegiatan bangsa di masa
depan, ternyata tidak menggembirakan. Mutu pendidikan kita secara internasional
amat rendah, bahkan untuk ASEAN kita ada di peringkat tengah sudah terbalap
oleh Vietnam. Angka rata-rata secara nasional untuk matematika, di bawah angka
50. Dalam sebuah tes, sekitar separuh siswa tidak bisa menangkap dengan baik
isi naskah bahasa Indonesia. Guru mata pelajaran tidak menguasai dengan baik
materi mata pelajaran itu dan kurang menguasai cara mengajar yang baik. Sekitar
sepertiga guru tidak memenuhi syarat. Pendidikan agama lebih merupakan transfer
ilmu agama dari pada pembentukan sikap keberagamaan.
Sebuah survei Kompas pada 2017 mengungkap, menurut 42,8 persen
responden masalah terbesar bangsa Indonesia ialah korupsi, 17,7 persen
responden penegakan hukum, 12,9% responden kemiskinan dan 10 persen responden
ialah masalah SARA. Survei lain oleh Kompas mengungkap perilaku bohong seperti
plagiat, korupsi, suap dalam masyarakat dianggap sangat parah oleh 50,7 persen
responden dan dianggap parah oleh 43,1 persen. Dalam survei yang sama, 74,9
persen responden menganggap korupsi dan suap dipicu oleh kebiasaan berbohong.
Survei lain oleh Kompas pada 2017 menyatakan pelajar/mahasiswa yang selalu
jujur mencapai 2,3 persen, sering jujur 7,5 persen, kadang jujur 50,5 persen,
sering bohong 30,8 persen, dan selalu bohong 5,8 persen.
Dengan sekian hambatan di atas, kita memahami, mewujudkan 100
tahun kemerdekaan yang kita impikan sebagai seabad keemasan bukanlah hal mudah.
Insya Allah kita masih akan tetap menjadi satu bangsa Indonesia, tetapi
masyarakat adil makmur untuk seluruh rakyat Indonesia belum tentu bisa kita
wujudkan. Perlu keberanian dan keteguhan sikap pemimpin untuk memperbaiki
banyak kebijakan yang tak sesuai dengan Pancasila dan juga mewujudkan
keberadaan Indonesia sebagai negara hukum. Hak-hak dasar rakyat harus dijamin
pemerintah. []
KOMPAS, 7 April 2018
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar