Pesan-pesan Sufi tentang Amal Ibadah dan
Surga
Manusia dan amalnya tidak dibiarkan begitu
saja. Di dalam Al-Qiyaamah{75}:36, Allah berfirman, yang artinya: “Apakah
manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung
jawaban)?”
Begitu betahnya manusia hidup di atas dunia.
Gemerlapnya, indahnya dunia hingga manusia terlena. Mereka tidak memperhatikan
perbuatan (amalnya) yang kelak berguna mengetuk pintu rahmat Allah SWT.
Karena itulah, surga itu terlalu megah bagi
kita, sehingga amal baik pun tidak menjadi jaminan menjadikan kita layak
memasukinya. Nabi SAW pun bersabda:
لَنْ
يُدْخِلَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، قَالُوا : وَلَا أَنْتَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ؟ ، قَالَ : وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ
مِنْهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ
“Tidak seorang pun masuk surga karena
amalnya. Sahabat bertanya, “Engkau pun tidak?” Beliau menjawab, “Saya pun
tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku.”
Hadits ini memberi pesan bahwa urusan surga
dan neraka adalah hak prerogatif Allah SWT. Sehingga menjadi aneh bila kita
merasa bangga dengan segenap prestasi ibadah, apalagi hingga berani menilai
orang lain sebagai ahli neraka atau surga.
Imam Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah
menyebut orang yang merasa lebih baik ini sebagai salah satu bentuk kebodohan.
Bahkan kepada orang kafir pun Imam Al-Ghazali mengajurkan kita untuk
berprasangka baik: tidak menutup kemungkinan orang yang kafir hari ini akan
berujung dengan ketaatan kepada Allah di akhir hidupnya. Namun, siapa yang
menjamin yang ahli ibadah hari ini bakal mati dalam keadaan husnul khatimah?
Tentang orientasi ibadah yang ingin meraup
kenikmatan surgawi, kisah seorang ulama sufi, Fudlail ibn ‘Iyadl bisa menjadi
pelajaran. Dalam kitab Raudlatuz Zâhidîn karya ‘Abdul-Malik ‘Alî al-Kalib
disebutkan, suatu kali Fudlail ibn 'Iyadl berkata, "Seandainya saya
diminta memilih antara dua hal, yakni dibangkitkan lalu dimasukkan surga atau
tidak dibangkitkan sama sekali, saya memilih yang kedua."
Fudlail menunjukkan perasaan malu. Ia merasa
tidak pantas menerima ganjaran pahala seandainya ia memang mendapatkannya.
Kecintaan Fudlail yang memuncak kepada Tuhannya menghilangkan angan-angan akan
pamrih apa pun.
Tentang laporan amal manusia dikutip dari
tulisan Ust. Ma’ruf Khozin (LTNNU Surabaya) tentang dalil Sya’ban ; 10 Sya’ban
1438 H/7 Mei 2017. Dalam tulisan tersebut, laporan amal manusia ada yang
harian, tiap pekan dan tahunan.
Laporan amal harian
يَتَعَاقَبُونَ
فِيكُمْ مَلائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلائِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِي
صَلاةِ الْفَجْرِ وَصَلاةِ الْعَصْرِ ، ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ
فَيَسْأَلُهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ :كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي ؟
فَيَقُولُونَ : تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ
يُصَلُّونَ
“Para malaikat malam dan malaikat siang silih
berganti mendatangi kalian. Dan mereka berkumpul saat shalat subuh dan ashar.
Kemudian malaikat yang menjaga kalian naik ke atas hingga Allah Ta’ala bertanya
kepada mereka -dan Allah lebih mengetahui keadaan mereka (para hamba-Nya)-,
“Dalam keadaan bagaimanakalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?” Para malaikat
menjawab, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan sedang mendirikan shalat.
Begitu juga saat kami mendatangi mereka, mereka sedang mendirikan shalat.” (HR.
Al-Bukhari no. 555 dan Muslim no. 632)
Laporan amal tiap pekan
“تُعْرَضُ
أَعْمَالُ النَّاسِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّتَيْنِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ
الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلا عَبْدًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ
أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ : اتْرُكُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَفِيئَا.“
Dari Abu Hurairah RA., dari Rasulullah SAW
bersabda, “Amal manusia akan dilaporkan dalam tiap pekan sebanyak dua kali,
hari Senin dan Kamis. Maka Allah SWT mengampuni setiap hamba yang beriman
kecuali seorang hamba yang antara dia dan saudaranya ada kebencian. Maka
dikatakan “Biarkan dua orang ini, hingga mereka saling berbaikan” (HR.Muslim).
Laporan amal tahunan
"Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, ia
bertanya kepada Rasulullah :"Wahai Rasulullah , saya tidak menjumpai
engkau berpuasa di bulan-bulan yang lain sebagaimana Engkau berpuasa di bulan
Sya'ban. Rasulullah Saw menjawab: "Sya'ban adalah bulan yang dilupakan
oleh orang-orang antara bulan Rajab dan Ramadlan. Bulan Sya'ban adalah bulan
laporan amal kepada Allah SWT. Maka saya senang amal saya dilaporkan sementara
saya dalam kondisi berpuasa" (HR Nasai No 2356, Ahmad No 21753 dan
disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Baca Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari karya
al-Hafidz Ibnu Hajar, VI/238. Ibnu Hajar juga menilainya sahih)
Dari paparan diatas, jelas bahwa setiap
waktu, setiap saat kita dilarang menjauh dari sang maha kuasa Allah ‘Aza
Wazalla. Tapi pada kenyataannya kita sebagai manusia lebih banyak meluangkan
waktu untuk dunia yang fana dan sangat dan sangat sedikit untuk meluangkan
waktu untuk-Nya. []
Usep Rusmana, warga NU di Kecamatan Pacet,
Kabupaten Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar