Indonesia
Bertahan
Oleh:
Azyumardi Azra
Bisakah
Indonesia bertahan sampai 2030? Novel fiksi karya FW Singer dan August Cole, Ghost Fleet, meramalkan
Indonesia tinggal nama pada 2030. Imajinasi liar ini kemudian menjadi
kontroversi ketika Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengutip ramalan
itu. Meski Prabowo menyatakan bermaksud agar semua pemimpin dan warga Indonesia
mewaspadai kemungkinan itu, bagaimanapun yang beredar di lingkungan publik
adalah kecemasan tentang masa depan Indonesia. Ini memunculkan politics of fear, politik
yang membangkitkan ketakutan.
Pernyataan
Probowo itu memperkuat pesimisme di kalangan warga tentang apakah Indonesia
bisa bertahan menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi, dan sosial-budaya.
Sebagai negara besar—tidak hanya dari segi wilayah, tetapi juga
penduduk—alamiah saja menghadapi berbagai masalah.
Akan
tetapi, pesimisme dan politics
of fear tentang Indonesia yang dapat bubar jelas menggandakan rasa
kecut.
Simak
analisis administratur dan ilmuwan Inggris, JS Furnivall, dalam Netherlands East Indies: A Plural
Economy (1939). Dalam karya yang membahas pluralitas ekonomi yang
pincang di Hindia Belanda (Indonesia), Furnivall mengajukan skenario kiamat (doomed scenario) bagi
Indonesia. Dia memprediksi, jika Belanda tidak kembali berkuasa di Hindia
Belanda seusai Perang Dunia, kawasan ini bakal terpecah belah karena dalam
pluralitasnya yang luar biasa tidak ada satu faktor pun yang dapat
mempersatukan.
Akan
tetapi, prediksi Furnivall tidak menjadi kenyataan. Tidak berkeping-keping,
Indonesia malah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Prediksi
gelap tentang Indonesia juga berkembang di kalangan Indonesianis ketika
Indonesia mengalami transisi dari otoritarianisme menjadi demokrasi pada
1997-1998. Krisis ekonomi, politik, dan sosial pada masa itu dianggap bakal
membawa Indonesia ke dalam Balkanisasi. Diprediksi Indonesia akan terpecah
belah seperti negara-negara di Semenanjung Balkan pada awal 1990-an.
Prediksi
Balkanisasi Indonesia, alhamdulillah, juga tidak menjadi kenyataan. Meski
suasana kebebasan yang baru ditemukan dalam alam demokrasi menimbulkan berbagai
gejolak politik yang bukan tidak mencemaskan, Indonesia tetap bertahan. Walau
dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan,
beberapa lembaga kredibel, seperti Forum Ekonomi Dunia (WEF) atau
PriceWaterhouseCooper (PwC), menjelang 2025-2030, menyatakan ekonomi Indonesia
bakal terbesar ke-5 atau ke-4 terbesar di dunia.
Kenapa
prediksi kalangan sarjana asing—apalagi fiksi—tentang bubarnya Indonesia
meleset? Masalahnya terletak pada kenyataan, prediksi ilmiah sekalipun
cenderung melihat satu sisi Indonesia, tidak melihat dari berbagai aspek. Lagi
pula, mereka mendasarkan prediksi pada pengalaman mereka di Eropa.
Dalam
konteks itu, ada Indonesianis asal Eropa memersepsikan Indonesia atas dasar
pengalaman historis Eropa yang penuh konflik panjang berdarah-darah. Meski
Eropa homogen secara ras dan etnis (Kaukasian atau kulit putih) dan agama (Kristianitas)
akhirnya terbelah menjadi banyak negara besar-kecil (57) sejak pasca-Perang
Dunia II sampai sekarang.
Pada sisi
lain, prediksi Furnivall, misalnya, hanya menekankan segi ekonomi Indonesia
yang plural penuh kesenjangan. Skenario Balkanisasi hanya menekankan segi
politik Indonesia. Padahal, dari segi tradisi sosial-budaya meski sangat
majemuk, budaya Indonesia sangat cair (fluid)
berkat kenyataan Indonesia sebagai ”benua maritim” yang memungkinkan pelayaran
dari satu tempat ke tempat lain di mana berbagai suku dapat berinteraksi dan
bertukar budaya.
Tidak
kurang pentingnya faktor agama.
Berbagai agama di Benua Maritim Indonesia, bukan memecah belah
berbagai suku, sebaliknya menumbuhkan ikatan solidaritas yang melewati batas
etnis dan tradisi sosial budaya.
Pada
awalnya di kalangan suku-suku yang berbeda muncul solidaritas keagamaan (al-ukhuwwah al-diniyyah).
Berada dalam penjajahan Belanda dan kemudian Jepang, al-ukhuwwah al-diniyyah
dengan segera berkembang menjadi solidaritas setanah air Indonesia (al-ukhuwwah al-wathaniyyah).
Inilah kesatuan Indonesia yang tidak mudah tercerai-berai.
Proses
Indonesia untuk bertahan sebenarnya terus menguat. Dengan begitu, sekali lagi,
meski masih menghadapi banyak masa- lah, kita boleh optimistis Indonesia tetap
bertahan melewati 2030 terus menuju 2045—seabad kemerdekaan negara-bangsa ini.
[]
KOMPAS, 5
April 2018
Azyumardi
Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar