Memahami Ilmu Tauhid
dengan Mudah bersama Kiai Sholeh Darat
Judul
: Tarjamah Tauhid Sabilul ‘Abid ‘Ala Jauharah at-Tauhid
Halaman
: 456 hlm; 14, 8 x 21 cm
Penerbit
: Sahifa
Cetakan
: cet. 1, Mei 2017
Peresensi
: Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PCNU Surabaya)
Apabila kita membaca
berbagai karya Kiai Sholeh Darat (1920-1903), akan tampak metodologi beliau
dalam menulis: menyajikan yang berat dengan ulasan yang ringan. Kiai Sholeh
Darat tidak mau bermonolog di hadapan pembacanya, melainkan memilih berdialog
dengan berusaha memahamkan para pembaca karya-karyanya.
Karena Kiai Sholeh
Darat adalah “Koki Intelektual”, maka ketika mengolah karyanya, beliau
mengambil bahan baku yang pas dan cocok untuk diolah, diracik sedemikian rupa
agar sesuai dengan selera lokal, dan disajikan dengan pola pikir masyarakat
awam. Silahkan dicermati berbagai karyanya, niscaya akan ketemu pola seperti
ini.
Karya-karya Kiai
Sholeh Darat sebagian ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa pasaran, bukan
bahasa Jawa Kromo Inggil ala keraton. Hal ini bisa dimaklumi, sebab jangkauan
dakwahnya lebih ke masyarakat awam. Visi edukatif ini beliau tulis dalam
pengantar salah satu karya populernya, Majmu’ah As-Syari’ah al-Kafiyah li
al-‘Awam.
Dalam kitab ini,
beliau menulis, “….kerono arah supoyo pahamo wong-wong amsal ingsun awam kang
ora ngerti boso Arab mugo-mugo dadi manfaat biso ngelakoni kabeh kang sinebut
ing njeroni iki tarjamah. (agar masyarakat awam yang tidak mengerti bahasa Arab
bisa paham dan semoga bermanfaat (serta) bisa mengamalkan semua yang disebutkan
dalam terjemahan ini)."
Meskipun demikian,
dakwah Kiai Sholeh bukan hanya menjangkau kalangan awam saja. Para priyayi yang
menduduki posisi prestisius di kasawan pesisir Jawa juga menjadi murid
setianya. Yang paling masyhur tentu saja Raden Ajeng Kartini. Perempuan ini
meminta Kiai Sholeh agar memberikan ulasan lebih mendalam mengenai makna
ayat-ayat Al-Qur’an. Sebuah permintaan yang dikabulkan Kiai Sholeh dengan cara
menulis Faidh al-Rahman, sebuah tarfsir Al-Qur’an yang kemudian dihadiahkan
kepada Kartini pada saat pernikahannya dengan Bupati Rembang.
Lahir di Jepara,
1820, berguru kepada para ulama di Makkah dan mengembangkan kiprah keilmuannya
di kota suci ini, namun panggilan nuraninya dan siasat “culik” yang dilakukan
oleh Kiai Hadi Girikusumo pada akhirnya melabuhkan Kiai Sholeh Darat di
Semarang, di mana beliau mengembangkan kajian keilmuan hingga akhir hayatnya,
1903.
Salah satu karyanya,
Syarah Hikam, memberi penjelasan atas aforisme indah di dalam kitab al-Hikam
karya Ibn Athaillah As-Sakandari. Di tangan Kiai Sholeh Darat, ulasan tasawuf
dalam kitab ini disajikan dengan indah dan mudah dicerna, bahkan oleh orang
awam sekalipun.
Tak berbeda dengan
ulasan dalam Syarah Hikam, Kiai Sholeh juga menyajikan ulasan mengenai
hal-ihwal teologi (tauhid) yang enak dinikmati melalui karyanya, Tarjamah Sabil
a-‘Abid ‘ala Jauharah at-Tauhid. Kitab berbahasa Jawa ini merupakan syarah atas
kitab Jauharah at-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani (w. 1631) yang
berbentuk nadzam 144 bait. Ulama ahli hadits ini bermadzhab Maliki dan memiliki
keahlian di bidang teologi dan tasawuf.
Meskipun terhitung
pendek, tetapi kitab Jauharah at-Tauhid ini mencakup berbagai aspek perihal
tauhid, bahkan juga tasawuf.
Tak heran jika Kiai
Sholeh Darat menyisihkan waktunya untuk menuntaskan karya ini. Dalam masalah
tauhid, kitab ini membahas lima puluh akidah ahlussunnah wal jama’ah.
Lima puluh akidah ini
wajib diketahui oleh masyarakat awam secara terperinci dan wajib mengetahui
dalilnya secara global. Menurut Kiai Sholeh Darat, orang awam cukup mengetahui
dalil ijmaliy (dalil umum), tidak wajib mengetahui dalil tafshily (dalil
terperinci), sebagaimana yang tertera dalam kitab Umm al-Barahin (hlm. 23).
Selain itu, buku ini
juga mengulas hal yang wajib diketahui oleh umat Islam, seperti hisab, syafaat
Rasulullah, sirath al-mustaqim, ruh, kebangkitan dari alam kubur, surga dan
neraka, dan lain-lainnya.
Dalam ranah tasawuf,
buku ini juga mengulas perilaku yang harus dimiliki seorang muslim seperti
tawakal, memuliakan keturunan Rasulullah, juga mengenai tazkiyat an-nafs
seperti ujub, riya’, takabbur, dengki, dan sebagainya. Yang menarik, dalam bab
“77 Cabang Iman”, sekali lagi, Kiai Sholeh darat memberi penekanan mengenai
pentingnya mengajar orang awam menggunakan bahasa lokal, seperti Melayu dan
Jawa.
Kiai Sholeh
memberikan contoh seorang cendekia bernama Syekh Ismail al-Minangkabawi yang
mengajarkan kitab Sabil al-Muhtadin karya Syekh Arsyad Al-Banjari yang
berbahasa Melayu di Makkah. “Orang yang menjadi guru tidak boleh sombong, tidak
mau mengajarkan kitab terjemahan (bahasa Ajam/ selain bahasa Arab) karena
khawatir dianggap bodoh, merasa senang jika orangh lain terlihat bodoh dan dia
terlihat alim. Orang yang punya pemikiran seperti inia dalah orang gila.” (hlm.
61).
Visi edukatif Kiai
Sholeh Darat terpantul melalui ulasan dari buku ini yang sangat gampang
dicerna. Nadzam berbahasa Arab dikarang oleh Syekh Ibrahim al-Laqqani, kemudian
diterjemahkan dan diulas dalam bahasa Jawa oleh Kiai Sholeh Darat yang
mengambilnya berdasarkan materi yang diambil dari Hasyiyah As-Syaikh
al-‘Allamah Ibrahim al-Bajuri yang berjudul Tuhfat al-Murid. Kemudian, lebih
dari satu abad berikutnya karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh penerbit Sahifa. Melalui buku ini kita bisa belajar teologi dan tasawuf
dengan indah dan mudah. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar