“Bohirkrasi” dan Politik Uang
Oleh: Luthfi Assyaukanie
Tulisan Zainal Arifin Mochtar (Kompas, 29/3) layak jadi perhatian.
Bukan hanya karena tahun ini (juga 2019) adalah tahun politik, tapi juga karena
isu korupsi dan kaitannya dengan pilihan raya (pemilu pilkada) merupakan tema
abadi yang mengganggu hari-hari kita.
Apa yang diungkapkan Zainal dalam tulisannya berjudul “Korupsi
Membayangi Pilkada” itu kita tahu semua. Begitu eratnya kaitan antara pilihan
raya dan politik uang. Pilkada adalah ajang menggelar dosa, dosa publik berupa
permainan uang, baik itu berbentuk suap maupun transaksi politik antara calon
kepala daerah dan para pemilik modal.
Kita tahu semua bahwa uang dan jabatan bisa dipertukarkan.
Calon-calon kepala daerah butuh dukungan dana agar dipilih, sementara para
pengusaha yang sudah kehabisan akal bagaimana mengembangkan usahanya mencium
peluang bisnis besar dari APBN/APBD. Para pengusaha atau pemodal itu menaruh
investasi dengan cara mendanai calon-calon kepala daerah. Imbalannya akan
didapat nanti ketika kepala daerah itu terpilih, mereka akan menangguk uang
berupa proyek-proyek APBD.
Kolaborasi antara calon kepala daerah dan pengusaha sebetulnya
bukanlah fenomena unik di Indonesia saja. Di berbagai negara,
transaksi-transaksi di balik layar seperti ini selalu terjadi, termasuk di AS,
Eropa, dan di negara-negara manapun yang menerapkan demokrasi. Ada istilah
terkenal untuk menggambarkan fenomena menyedihkan ini: “donokrasi.”
Donokrasi menjelaskan keterkaitan erat antara pemberi dana
kampanye (donor) dengan calon kepala daerah yang akan bertarung dalam suatu
pilihan raya. Di Amerika, donokrasi dilakukan secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi.
Perusahaan-perusahaan besar memberikan dukungan (pledge) pada calon tertentu
untuk mendapatkan kemudahan (atau proyek) jika sang kandidat memenangkan
pilihan.
Di Indonesia, kita biasa mengenal istilah “bohir” yang berarti
“pemilik modal.” Dalam bahasa aslinya (Belanda), bouwheer berarti “kontraktor”,
berasal dari bouwen (membangun) dan heer (tuan). Dalam bahasa Indonesia,
khususnya percakapan politik sehari-hari, istilah “bohir” merujuk pada pemberi
modal politik. Umumnya, istilah ini digunakan secara negatif. Bohir adalah
rentenir politik yang “meminjamkan” uang ke calon-calon yang akan berlaga dalam
pilihan raya.
Begitu vitalnya peran bohir, banyak orang yang percaya bohir
adalah penentu keberhasilan seorang kandidat dalam pilkada. Orang yang tak
punya bohir bisa dipastikan akan mengalami kesulitan. Jika dia bisa memenangkan
pertarungan politik tanpa bohir, itu adalah mukjizat, yang hanya terjadi pada
para nabi.
Tak berlebihan kalau kita katakan demokrasi yang kita jalani di
Indonesia adalah “bohirkrasi.” Pemegang saham terbesar dalam suatu pilihan raya
bukanlah rakyat (demos), tapi bohir yang berada di balik setiap kontestan.
Rakyat hanya pelengkap saja dari pesta yang mengatasnamakan diri mereka itu.
Mungkin bagus juga kalau kita ganti istilah “pesta rakyat” menjadi “pesta
bohir.”
Jalan keluar
Bagaimana jalan keluarnya? Seperti saya singgung di atas, ini
bukan masalah di Indonesia saja. Di negara-negara maju, donokrasi telah
melahirkan pemimpin-pemimpin yang tak (atau kurang) ideal. Mekanisme pemilihan
yang sarat campur-tangan donor menyulitkan demokrasi berjalan secara alamiah.
Selalu ada kepentingan bisnis di belakang setiap pemilihan politik.
Dampak langsung donokrasi adalah munculnya pemimpin-pemimpin medioker yang kurang pandai bekerja (inkompeten) atau kurang memenuhi ekspektasi publik. Kandidat-kandidat yang terpilih adalah mereka yang bisa meyakinkan sebagian besar pemilih abai (ignorant voters). Dalam berbagai temuan studi mutakhir, sebagian besar pemilih dalam demokrasi adalah kaum ignorant.
Di AS, kombinasi pemilih ignorant dan kepentingan bohir melahirkan
kepala daerah yang mengecewakan. Menurut sebuah survei kepuasan publik
(approval rating) atas gubernur-gubernur di AS, dari 50 gubernur terpilih,
hanya tujuh yang dapat nilai (tingkat kepuasan) di atas 60 persen. Rata-rata
gubernur dapat approval rating di bawah 50 persen (Morning Consult, Q4/2017).
Hal sama sebetulnya juga terjadi di Indonesia. Dari 500 lebih pilkada, berapa gubernur atau bupati/walikota yang berhasil menyita perhatian masyarakat karena performa kerjanya? Coba hitung!
Kita lebih sering mendengar kepala daerah yang tertangkap tangan
oleh KPK ketimbang mereka yang dapat penghargaan atau pemberitaan karena
berbagai prestasinya.
Para ilmuwan politik berusaha mencari jalan keluar dari kebuntuan demokrasi modern. Secara umum, ada dua solusi. Yang pertama bersifat radikal seperti diusulkan Jason Brennan dalam bukunya Against Democracy. Menurutnya, tidak ada cara lain untuk memperbaiki kualitas demokrasi kecuali dengan melakukan “sortifikasi” terhadap pemilih.
Sortifikasi adalah proses penyortiran atau pembatasan jumlah
pemilih, misalnya hanya orang-orang tertentu yang benar-benar melek dan peduli
politik yang berhak datang ke bilik suara. Mereka yang tak punya pengetahuan
atau kepedulian politik tak layak diajak ikut pemilu. Mekanisme penyortiran
bisa berdasarkan jenjang pendidikan, bisa juga berdasarkan perilaku
informasi/pengetahuan yang dikonsumsi seseorang. Brennan menyebutnya
“epistokrasi.”
Yang kedua, solusi bersifat struktural yang ditawarkan Ilya Somin
dalam bukunya Democracy and Political Ignorance. Sortifikasi bukanlah
alternatif ideal buat demokrasi. Selain mekanisme penyortiran yang tak mudah,
semangat sortifikasi cenderung diskriminatif. Ignorance (abai) bukanlah sebuah
kondisi yang tak masuk akal, tapi justru pilihan rasional pemilih. Di tengah
banyaknya pilihan, memilih atau mengabaikan adalah keputusan yang sepenuhnya
rasional.
Akar masalah dari buruknya hasil demokrasi adalah karena banyaknya
pemilih yang abai. Mengapa para pemilih abai? Menurut Somin karena mereka
disuguhi begitu banyak pilihan yang tak mungkin mereka kaji secara mendalam.
Cara mengatasinya: mengurangi pilihan, mengurangi jabatan publik, mengurangi
posisi-posisi yang tidak penting. Dengan kata lain: merampingkan pemerintahan.
Penggalangan dana
Ada cara ketiga yang menurut saya belum banyak dipercakapkan
orang, khususnya di kalangan akademis. Jika masalah demokrasi terkait
keterlibatan (emosional) pemilih dan juga pendanaan, memikirkan solusi yang
bisa mengombinasikan keduanya adalah jalan keluar terbaik. Saya membayangkan
ada sebuah sistem atau platform yang memungkinkan pemilih dalam demokrasi lebih
terlibat dengan pilihan-pilihan politik mereka. Misalnya, mendorong mereka agar
lebih besar lagi berperan dalam proses pemilihan, bukan hanya datang ke bilik
suara, tapi aktif berkampanye dan melakukan penggalangan dana.
Penggalangan dana adalah unsur penting yang bisa menggabungkan
emosi pemilih dengan isu pendanaan yang jadi akar persoalan demokrasi. Orang
yang mengeluarkan uang (seberapapun jumlahnya), pasti punya ikatan emosional
lebih besar ketimbang pemilih minimalis (yang tak menyumbang). Dia akan
memantau calon yang didukung.
Dampak positif lain adalah kandidat yang didanai oleh uang
masyarakat (hasil dari penggalangan dana) akan merasa lebih bertanggung jawab
kepada publik ketimbang kepada seseorang (bohir). Penggalangan dana bukan hanya
mengatasi masalah biaya politik yang selama ini sangat rawan, tapi juga
mendorong seorang kandidat lebih bertanggung jawab kepada pemilihnya. []
KOMPAS, 4 April 2018
Luthfi Assyaukanie | Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC), Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar