Al-Mu’tazz:
Khalifah yang Bangkrut dan Disiksa Pasukannya
Oleh:
Nadirsyah Hosen
Peperangan
yang dimenangkan al-Mu’tazz terhadap pamannya, Khalifah al-Musta’in, membawa
dia ke takhta kekuasaan. Diceritakan sebelumnya al-Musta’in yang dipaksa
mengundurkan diri, tidak lama kemudian kepalanya pun dipenggal. Khalifah ketiga
belas Abbasiyah Al-Mu’tazz naik berkuasa dengan lumuran darah. Sayangnya dia
tidak bisa berkuasa sepenuhnya. Dia hanya menjadi khalifah boneka dari para
Jenderal Militer Turki, yang telah membantunya merebut kekuasaan dari
al-Musta’in. Bagaimana kisah selanjutnya? Catatan ngaji sejarah politik Islam
kembali hadir untuk pembaca setia kolom ini.
Revolusi
memakan anaknya sendiri. Begitu kata sebagian pihak. Mereka yang naik kekuasaan
lewat jalan pintas, biasanya kekuasaannya pun tidak berlangsung lama.
Al-Mu’tazz menerima bai’at sebagai khalifah saat berusia 19 tahun. Imam Suyuthi
mengatakan dia khalifah termuda Abbasiyah. Namun, dia hanya berkuasa sekitar
4,5 tahun. Akhir kekuasaannya pun berakhir tragis.
Setelah
berkuasa, dia bukan saja memerintahkan untuk mencari dan membunuh al-Musta’in,
tapi dia juga mencopot adiknya, al-Mu’ayyad, dari jalur suksesi pada 18 Juli
866 Masehi. Bahkan Imam Thabari dalam kitab Tarikh-nya
melaporkan al-Mu’ayyad dicambuk empat puluh kali pada 24 Juli 866 dan
al-Mu’ayyad wafat pada 10 Agustus tahun yang sama.
Al-Mu’tazz
mengumpulkan hakim dan pejabat pemerintahan dan memperlihatkan jenazah
al-Mu’ayyad untuk menghapus praduga bahwa al-Mu’ayyad mati dibunuh. Memang,
tubuhnya tidak ada tanda bekas luka, namun menurut catatan Imam Thabari ada
kemungkinan al-Mu’ayyad disiksa dengan disuruh tidur di atas es balok hingga
meninggal.
Satu lagi
adik al-Mu’tazz yang juga bernasib tragis adalah Abu Ahmad. Sebenarnya Abu
Ahmad ini jasanya besar karena dia yang memimpin pasukan dalam perebutan
kekuasaan melawan al-Musta’in. Namun, al-Mu’tazz khawatir dengan popularitas
Abu Ahmad, maka dia pun dimasukkan ke dalam penjara. Pasukan Turki berhasil
menyelamatkan Abu Ahmad dari eksekusi, dan dia pun diasingkan ke Basrah. Kelak
di kemudian hari Abu Ahmad ini menjadi tokoh yang sangat berpengaruh pada masa
khalifah kelima belas, al-Mu’tamid.
Para
Jenderal Militer Turki benar-benar menikmati luasnya pengaruh mereka terhadap
Khalifah al-Mu’tazz. Dilaporkan dalam Tarikh
Thabari bagaimana negara mengeluarkan dana 200 juta dinar untuk membayar
gaji dan fasilitas militer. Ini setara dengan dua tahun mengumpulkan pajak (kharaj). Negara terancam
bangkrut. Ongkos peperangan dalam perebutan kekuasaan antara al-Musta’in dan
al-Mu’tazz saja sudah sangat besar, ditambah lagi dengan kerakusan pihak
militer pendukung al-Mu’tazz yang seolah meminta kompensasi atas perjuangan
mereka.
Ini
mengindikasikan bahwa, berbeda dengan pasukan Islam di masa Nabi SAW dan
Sahabat (radhiyallah ‘anhum),
pasukan di bawah komando militer Turki di masa al-Mu’tazz ini berperang demi
uang bayaran. Ekspedisi militer berikutnya sangat ditentukan berapa banyak
negara mampu membayar para tentara. Tak ada loyalitas dan komitmen pada agama.
Jenderal
Washif, yang sudah diampuni al-Mu’tazz dalam perannya saat mendukung al-Musta’in,
mati di tangan anak buahnya sendiri yang meminta tambahan gaji. Washif menjawab
bahwa negara tidak punya uang. Tentaranya marah dan malah membunuh sang
Jenderal. Jadi, kalau pendukung khilafah zaman now meminta militer Indonesia untuk
mengambil-alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah, kita bisa lihat catatan
sejarah dengan ngeri apa yang akan terjadi.
Bagaimana
dengan Jenderal Bugha? Bugha, yang juga sudah diampuni al-Mu’tazz, dilantik
menggantikan posisi Washif. Namun, al-Mu’tazz tidak bisa benar-benar melupakan
sepak terjang Bugha di masa silam. Bugha terlibat dalam pembunuhan ayahnya,
al-Mutawakkil, dan juga berada pada posisi pengusung al-Musta’in. Maka, pada 5
November 868 di saat dia tengah menikahkan putrinya dengan anaknya almarhum
Washif, Khalifah dan pasukannya bergerak ke Samarra.
Bugha
yang dikabari hal itu masih berbaik sangka dan keluar sendiri malam-malam tanpa
senjata dan pengawalan pasukan hendak menemui Khalifah al-Mu’tazz. Mungkin
diduganya Khalifah datang untuk menghadiri resepsi pernikahan anaknya. Salah
besar!
Pasukan
Bugha sebelumnya juga sudah protes akan minimnya fasilitas yang mereka terima.
Modus Khalifah kembali berhasil: memecah-belah antara Washif – Bugha dengan
pasukan mereka. Pangkal persoalannya ya soal duit dan fasilitas. Tapi, nanti
Khalifah sendiri akan kena batunya.
Walid
al-Maghribi menangkap Bugha yang berjalan sendirian. Mendapat laporan dari
Walid, Khalifah al-Mu’tazz langsung memerintahkan Walid membunuh Bugha. Setelah
Walid berhasil membawa kepala Bugha, al-Mu’tazz menghadiahi Walid 10 ribu dinar
emas. Dilaporkan lima belas anak dan pengikut setia Bugha juga diburu dan di
penjara.
Namun,
al-Mu’tazz pun tidak bisa bertahan dengan gaya politiknya yang menyingkirkan
semua rival dengan kejam. Militer masih mendukungnya selama Khalifah mampu
membiayai gaji dan fasilitas mereka. Bila tidak, Khalifah yang dijadikan
layaknya boneka ini juga tersingkir dengan tragis.
Pada 11
Juli 869 Masehi, al-Mu’tazz dimakzulkan dari posisinya sebagai Khalifah ketiga
belas Abbasiyah. Pertama, sekretaris khalifah ditangkap dan hartanya disita
militer di bawah pimpinan Salih bin Washif. Lantas sekelompok pasukan
lain mendatangi Khalifah dan meminta bayaran seraya berjanji akan membunuh
Salih bin Washif.
Khalifah
yang menyadari bahwa kas negara sudah kosong kemudian mengirim utusan kepada
Ibunya, Qabihah, untuk mengeluarkan uang membayar pasukan. Namun, ibunya
menolak dengan alasan tidak punya uang. Imam Suyuthi meragukan jawaban ibunda
Khalifah ini. Ada laporan bahwa ibunya memang enggan mengeluarkan uang lima
puluh ribu dinar, meski dia punya uang tersebut.
Kegagalan
al-Mu’tazz memenuhi permintaan militer ini fatal. Ini membuat semua fraksi
militer (Turki, Faraghinah, dan Magharibah) bersatu dan sepakat menyingkirkan
Khalifah yang sudah bangkrut ini. Mereka butuh boneka berikutnya.
Salih bin
Washif, Bayakbak, dan Muhammad bin Bugha berdiri di pintu istana dan berteriak
menyeru Khalifah untuk keluar menemui mereka. Al-Mu’tazz mengirim utusan
membawa pesannya bahwa dia telah meminum obat sehingga kondiisnya tidak kuat
untuk ke luar kamar. Jika masalahnya mendesak, Khalifah mempersilakan salah
satu dari mereka masuk ke kamarnya. Namun, jika tidak mendesak, Khalifah
meminta mereka menunggu sampai esok hari.
Tidak
suka dengan respons Khalifah, maka pasukan menyerbu masuk dan menyeret Khalifah
al-Mu’tazz keluar istana. Sambil mereka memukuli Khalifah yang saat itu masih
berusia sekitar 24 tahun. Baju Khalifah koyak di sana-sini dan darah terlihat
di bahunya. Sang Khalifah dijemur di panas terik mentari. Tragis!
Al-Mu’tazz
kemudian dipaksa untuk menulis surat pegunduran dirinya. Sejarah berulang: dulu
dia memaksa al-Musta’in memgundurkan diri, kini dia sendiri yang dipaksa untuk
mundur. Namun al-Mu’tazz kondisinya sudah terlalu lemah. Dia tidak sanggup
menuliskannya. Lantas surat dituliskan dan dia dipaksa menandatanganinya.
Setelah
itu dia dimasukkan ke dalam kamar tanpa diberi makan dan minum selama tiga
hari. Akhirnya, al-Mu’tazz tak bisa lagi bertahan. Al-Mu’tazz wafat.
Maka,
sekali lagi, militer berhasil mengangkat dan memberhentikan Khalifah sesuka
mereka. Tak ada keterlibatan rakyat. Tak ada penghormatan pada bai’at. Yang
berlaku adalah asas kekuasaan ditambah kecintaan pada uang dan fasilitas.
Imam
Thabari mampu menyuguhkan episode demi episode dengan detail karena beliau
hidup pada periode ini. Uraiannya menjadi catatan konkret akan apa yang
terjadi. Menulis sejarah memang harus apa adanya. Kalau bagus, ya kita bilang
bagus. Tapi kalau kelam, harus pula disampaikan ini kelam. Kejujuran ilmiah itu
penting. Masak data sejarah mau direkayasa seolah-olah khalifah itu semuanya bagus?
Gonjang-ganjing
naik-turun empat khalifah berturut-turut pada periode ini telah kita bahas.
Peranan militer Turki tergambar jelas. Bangkrutnya keuangan negara sudah kita
uraikan. Sepeninggal al-Mu’tazz siapakah yang akan menggantikannya? Bagaimana
nasib khalifah berikutnya? Mampukah khalifah selanjutnya mengembalikan
stabilitas politik? Kita akan simak insya
Allah pada ngaji sejarah politik Islam berikutnya. []
GEOTIMES,
19 Januari 2018
Nadirsyah
Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty
of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar