Selasa, 17 April 2018

Buya Syafii: Politik Tunaadab


Politik Tunaadab
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dari perspektif nilai-nilai moral dan keadaban sejak pilpres 2014 dan lebih-lebih sejak pilgub DKI 2017 kita merasakan sesuatu yang ganjil dan mencekam telah terjadi: perbedaan pilihan politik telah membelah masyarakat Indonesia secara tajam, getarannya bahkan menyeruak sampai ke seluruh Tanah Air.

Dengan menggunakan mesin medsos secara masif dan semau gue, ujaran-ujaran kebencian terhadap lawan politik atau yang dianggap berada di pihak lain telah berlangsung tanpa kendali. Akal sehat dan pikiran jernih tidak lagi berfungsi. Isu-isu agama telah digunakan secara kasar dengan mengorbankan kesucian agama itu sendiri.

Apakah memang masyarakat kontemporer Indonesia sudah semakin liar, tidak ada lagi batas-batas kesopanan yang mesti dipertimbangkan sebelum meluncurkan ujaran-ujaran yang tidak layak itu? Mengapa kepentingan politik sesaat telah menggoyahkan pilar-pilar kebangsaan kita, sesuatu yang sangat mahal untuk dikorbankan?

Mengapa sebagian masyarakat kita demikian labil? Apakah karena impitan ketimpangan sosial-ekonomi yang masih menganga atau karena pengaruh ideologi impor yang dibeli di sini atau karena kedua faktor itu?

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini tidak mungkin diraba-raba, tetapi memerlukan penelitian psiko-sosio-religius yang cermat oleh para ahli. “Resonansi” ini barulah pada tingkat membaca gejala di permukaan dengan harapan akan dapat mendorong penelitian lebih saksama oleh mereka yang lebih terlatih. Rasanya ada suatu nilai yang dalam dan berharga telah lenyap dari kalbu sebagian anak bangsa ini, termasuk ironisnya mereka yang berpendidikan tinggi.

Jauh sebelum merebaknya politik tunaadab ini, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sopan, santun, dan tepa selira (mematut diri, bertenggang rasa, “sakit pada orang, sakit pada awak”). Semestinya ada perasaan halus yang dapat mengendalikan perilaku kita, baik perorangan maupun kolektif. Perasaan halus itulah yang dirasakan hilang, terutama sejak empat tahun terakhir, digantikan oleh sumpah serapah, tuduhan-tuduhan keji, dan sarkasme yang serba kasar.

Maka berlakulah diktum ini: perbedaan = permusuhan! Tidak tanggung-tanggung, rumah-rumah ibadat pun tidak jarang digunakan untuk tujuan-tujuan politik tunaadab ini.

Proklamator Soekarno dan Hatta pernah berpolemik tajam, tetapi batas keadaban politik masih dijaga. Mohammad Natsir, betapa pun serangannya gencar kepada tokoh-tokoh PKI dan komunisme di era demokrasi parlementer tempo dulu, dia tidak pernah kehilangan keseimbangan dalam menganyam argumennya. Perbedaan ideologi politik tidaklah menyebabkan sikap sopan santunnya ditanggalkan dan ditinggalkan.

Rupanya tokoh-tokoh zaman dulu itu lebih terdidik dan lebih dewasa, sesuatu yang sulit terbaca dalam perilaku generasi belakangan. Apakah fenomena ini sebagai pertanda dari sistem pendidikan yang terlalu bercorak kognitif dengan mengesampingkan aspek afektif? Boleh jadi.

Di antara sahabat saya keluarga Jawa ada yang mengeluhkan menipisnya sifat unggah-ungguh (tata krama, kesopanan) di kalangan anak-anak dan pemuda bersamaan dengan melemahnya pemakaian bahasa Jawa yang kaya dan sarat nilai itu.

Dalam pribasa Minang ada ungkapan ini: “Ingat di dahan yang akan menimpa, ingat di ranting yang akan mencucuk.” Artinya, segala tindakan yang akan diambil dipikirkan masak-masak terlebih dulu, ditimbang pula sebab dan akibatnya.

Inilah di antara kearifan lokal yang sebenarnya dimiliki oleh semua suku bangsa di Nusantara. Kejadian yang sering kita dapati dalam masyarakat kita sekarang adalah ujaran tanpa kontrol meluncur lebih dulu, pertimbangan baru datang kemudian. Setelah gaduh yang menguras energi, baru timbul penyesalan.

Tahun 2018/2019, perhatian publik pasti terpusat kepada masalah politik dengan akan digelarnya pilkada dan pileg/pilpres. Karena politik selalu berkaitan dengan masalah kekuasaan, politik tunaadab wajib dihindarkan sejauh mungkin.

Kultur adu argumen dan adu program di kalangan elite politik adalah sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi, tetapi sampaikanlah semuanya itu dalam bingkai kesopanan dan keadaban, sesuai dengan perintah sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Hanya dengan cara-cara beradab ini sajalah jati diri bangsa mungkin memantulkan kekuatan dan sinar terangnya sehingga batin kaum elite Indonesia bisa keluar dari kelamnya situasi. Sila kelima Pancasila berupa “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang telantar sejak lama harus dijadikan pedoman utama dalam merumuskan strategi pembangunan nasional.

Mengabaikan perintah sila ini sama artinya dengan membunuh cita-cita mulia kemerdekaan bangsa. Indonesia tanpa tegaknya keadilan sosial bukanlah Indonesia yang ada di benak para pendiri bangsa dan negara! Politik tunaadab jelas telah dan akan menggerogoti nilai-nilai luhur Pancasila, dan itu adalah sebuah pengkhianatan terbuka terhadap martabat bangsa dan negara ini! []

REPUBLIKA, 17 April 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar