Politik Tunaadab
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dari perspektif nilai-nilai moral dan keadaban sejak pilpres 2014
dan lebih-lebih sejak pilgub DKI 2017 kita merasakan sesuatu yang ganjil dan
mencekam telah terjadi: perbedaan pilihan politik telah membelah masyarakat
Indonesia secara tajam, getarannya bahkan menyeruak sampai ke seluruh Tanah
Air.
Dengan menggunakan mesin medsos secara masif dan semau gue, ujaran-ujaran
kebencian terhadap lawan politik atau yang dianggap berada di pihak lain telah
berlangsung tanpa kendali. Akal sehat dan pikiran jernih tidak lagi berfungsi.
Isu-isu agama telah digunakan secara kasar dengan mengorbankan kesucian agama
itu sendiri.
Apakah memang masyarakat kontemporer Indonesia sudah semakin liar,
tidak ada lagi batas-batas kesopanan yang mesti dipertimbangkan sebelum
meluncurkan ujaran-ujaran yang tidak layak itu? Mengapa kepentingan politik
sesaat telah menggoyahkan pilar-pilar kebangsaan kita, sesuatu yang sangat
mahal untuk dikorbankan?
Mengapa sebagian masyarakat kita demikian labil? Apakah karena
impitan ketimpangan sosial-ekonomi yang masih menganga atau karena pengaruh
ideologi impor yang dibeli di sini atau karena kedua faktor itu?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini tidak mungkin
diraba-raba, tetapi memerlukan penelitian psiko-sosio-religius yang cermat oleh
para ahli. “Resonansi” ini barulah pada tingkat membaca gejala di permukaan
dengan harapan akan dapat mendorong penelitian lebih saksama oleh mereka yang
lebih terlatih. Rasanya ada suatu nilai yang dalam dan berharga telah lenyap
dari kalbu sebagian anak bangsa ini, termasuk ironisnya mereka yang
berpendidikan tinggi.
Jauh sebelum merebaknya politik tunaadab ini, Indonesia dikenal
sebagai bangsa yang sopan, santun, dan tepa selira (mematut diri, bertenggang
rasa, “sakit pada orang, sakit pada awak”). Semestinya ada perasaan halus yang
dapat mengendalikan perilaku kita, baik perorangan maupun kolektif. Perasaan
halus itulah yang dirasakan hilang, terutama sejak empat tahun terakhir,
digantikan oleh sumpah serapah, tuduhan-tuduhan keji, dan sarkasme yang serba
kasar.
Maka berlakulah diktum ini: perbedaan = permusuhan! Tidak
tanggung-tanggung, rumah-rumah ibadat pun tidak jarang digunakan untuk
tujuan-tujuan politik tunaadab ini.
Proklamator Soekarno dan Hatta pernah berpolemik tajam, tetapi
batas keadaban politik masih dijaga. Mohammad Natsir, betapa pun serangannya
gencar kepada tokoh-tokoh PKI dan komunisme di era demokrasi parlementer tempo
dulu, dia tidak pernah kehilangan keseimbangan dalam menganyam argumennya.
Perbedaan ideologi politik tidaklah menyebabkan sikap sopan santunnya
ditanggalkan dan ditinggalkan.
Rupanya tokoh-tokoh zaman dulu itu lebih terdidik dan lebih
dewasa, sesuatu yang sulit terbaca dalam perilaku generasi belakangan. Apakah
fenomena ini sebagai pertanda dari sistem pendidikan yang terlalu bercorak
kognitif dengan mengesampingkan aspek afektif? Boleh jadi.
Di antara sahabat saya keluarga Jawa ada yang mengeluhkan
menipisnya sifat unggah-ungguh
(tata krama, kesopanan) di kalangan anak-anak dan pemuda bersamaan dengan
melemahnya pemakaian bahasa Jawa yang kaya dan sarat nilai itu.
Dalam pribasa
Minang ada ungkapan ini: “Ingat di dahan yang akan menimpa, ingat di ranting
yang akan mencucuk.” Artinya, segala tindakan yang akan diambil dipikirkan
masak-masak terlebih dulu, ditimbang pula sebab dan akibatnya.
Inilah di antara kearifan lokal yang sebenarnya dimiliki oleh
semua suku bangsa di Nusantara. Kejadian yang sering kita dapati dalam
masyarakat kita sekarang adalah ujaran tanpa kontrol meluncur lebih dulu,
pertimbangan baru datang kemudian. Setelah gaduh yang menguras energi, baru
timbul penyesalan.
Tahun 2018/2019, perhatian publik pasti terpusat kepada masalah
politik dengan akan digelarnya pilkada dan pileg/pilpres. Karena politik selalu
berkaitan dengan masalah kekuasaan, politik tunaadab wajib dihindarkan sejauh
mungkin.
Kultur adu argumen dan adu program di kalangan elite politik
adalah sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi, tetapi sampaikanlah semuanya
itu dalam bingkai kesopanan dan keadaban, sesuai dengan perintah sila kedua
Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Hanya dengan cara-cara beradab ini sajalah jati diri bangsa
mungkin memantulkan kekuatan dan sinar terangnya sehingga batin kaum elite
Indonesia bisa keluar dari kelamnya situasi. Sila kelima Pancasila berupa
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang telantar sejak lama harus
dijadikan pedoman utama dalam merumuskan strategi pembangunan nasional.
Mengabaikan perintah sila ini sama artinya dengan membunuh
cita-cita mulia kemerdekaan bangsa. Indonesia tanpa tegaknya keadilan sosial
bukanlah Indonesia yang ada di benak para pendiri bangsa dan negara! Politik
tunaadab jelas telah dan akan menggerogoti nilai-nilai luhur Pancasila, dan itu
adalah sebuah pengkhianatan terbuka terhadap martabat bangsa dan negara ini! []
REPUBLIKA, 17 April 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar