Nahrawi Abdussalam,
Ulama Syafi’iyah Berkaliber Dunia asal Indonesia
Siapa yang tidak
mengenal Dr KH Ahmad Nahrawi Abdussalam? Ulama Syafi’iyah Internasional
berpemikiran wasathiyah (moderat) dari Indonesia yang karya-karyanya
kerap menjadi rujukan nasional maupun internasional.
Kisah-kisah
perjalanan inspiratifnya dapat dijadikan motivasi bagi kita dalam menggapai
cita-cita, teruma bagi kalangan pelajar di luar negeri untuk lebih semangat
dalam menjalankan studinya.
Kiprah Nahrawi
Abdussalam dibedah pada seri diskusi Islam Nusantara Center (INC) di Wisma UIN
Syarif Hidayatullah di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (17/2), Amirah
Nahrawi mengisahkan perjalanan gigih ayahandanya untuk dapat belajar di Al
Azhar, Kairo. Dari mulai berdagang minyak kelapa hingga menjadi seorang penyiar
radio.
Namun hal tersebut
bukanlah semata karena urusan duniawi yang menjadi substansi dari kerja
kerasnya. “Sejak kecil, ayah saya tidak diizinkan untuk sekolah di sekolahan
Belanda, sehingga ia menempuh pendidikan hingga SLTA di Jamiatul Khair, Tanah
Abang,” kata Amirah memulai kisah ayahnya.
Nahrawi kecil adalah
sosok yang pandai, sehingga ia sering melompat dalam jenjang pendidikannya.
Namun setelah lulus, berbagai kendala menghampiri sehingga keinginannya untuk
kuliah pun tertunda.
Hingga akhirnya ia
memutuskan untuk belajar dan bergaul dengan orang-orang di daerah maupun luar
daerahnya dan bekerja sebagai penjual minyak kelapa yang mana pada saat itu
penghasilannya mampu mencukupi kebutuhan selama setahun.
“Menjadi pengusaha
yang sukses, tidak menjadikannya lepas begitu saja, bergaul dengan orang begitu
saja, ia selalu membimbing rekan-rekannya dengan jalan yang benar sehingga ia
mempunyai banyak relasi dari kota maupun luar kota,” papar anak sulung Nahrawi
Abdussalam ini.
Kesuksesan tak pernah
menghilangkan keinginan untuk tetap kuliah di universitas impiannya, yakni Al
Azhar Kairo. Hingga suatu ketika ia diajak oleh ibunya untuk berangkat haji dan
memutuskan untuk tetap tinggal di Saudi Arab menunggu informasi pendaftaran di
Al Azhar dan meninggalkan begitu saja usaha minyak kelapanya yang sukses.
Membentuk ikatan
pelajar di Saudi
Di Saudi ia bertemu
dengan orang-orang yang disebut sebagai ’santri’ yang kemudin menjadi kawan
karib maupun kawan intelektualnya.
“Namun ada satu hal
ciri pelajar di sana, mereka sangat kesantri-santrian dan banyak dari mereka
yang baru paham, sedikit keras,” lanjutnya.
Sehingga Nahrawi pun
berusaha membentuk ikatan pelajar Indonesia yang bertujuan untuk membantu
pelajar di Saudi untuk lebih terbuka dan lebih memahami ilmu, yang diam jadi
pembicara,yang tidak pandai berpidato jadi pandai berpidato, yang beraliran
keras menjadi lunak, dan yang lunak menjadi netral.
“Namun pada saat
itutidak ada yang boleh membentuk ikatan apapun di Saudi,” terangnya.
Atas kepandaian
Nahrawi dalam bergaul, ia mendapat bantuan oleh seorang angkatan bersenjata
Saudi Arabia, Syeikh Abdul Jalil dalam pembentukan ikatan pelajar tersebut.
Maka terbentuklah Ikatan Pelajar Indonesia Hijaz (IPIH).
“Di IPIH tujuan dan
pola pendidikannya sangat menusantara, ia menerapkan konsep-konsep wasathiyah,
sehingga semakin tahun anggotanya semakin bertambah,” jelasnya.
Sebagai pengembara,
ia harus hidup mandiri. Di samping belajar, ia pun bekerja. Meski saat itu di
Saudi sudah berdiri universitas yang mumpuni seperti Darul Ulum, Al Falah, dan
lain-lainnya.
Namun keinginan untuk
belajar di Al Azhar tetap kuat. Dalam penantiannya itu, ia gunakan waktunya di
Saudi untuk menghapal Al Qur’an yang selama dua bulan sepuluh hari sudah
rampung dikhatamkan.
“Setiap jam 12 malam
ayah saya selalu belajar di bawah Hijr Ismail, di situ ia mampu
menghabiskan 8 juz dalam sehari untuk menghafalkan,” terangnya.
Dua tahun di Saudi
akhirnya ia dipertemukan dengan staff dari kedutaan Mesir yang kemudian menjadi
jalan informasi bagi dirinya untuk dapat masuk ke Universitas Al Azhar.
Kuliah dan penyiar
radio
Sesampai di Mesir
Nahrawi diuji, karena tidak memiliki ijazah persamaan dari Jamiatul Khair.
Dalam ujian tersebut ia dinyatakan lulus tanpa harus perbaikan. Untuk pertama
kalinya ia menduduki bangku kuliah yang diimpikan yakni jurusan Syari’ah.
Pertama tinggal di
Mesir, ia sempat mengalami perampokan sehingga seluruh kekayaannya hilang,
namun setelah itu ia mendapat beberapa tawaran pekerjaan yang gajinya cukup
tinggi, di antaranya adalah sebagai pengajar dan penyiar radio (1952-1970).
“Rutinitas ayah saat
itu sangat padat, mulai pukul enam pagi berangkat ke Al Azhar kemudian langsung
ke ‘Ainus Syams sebagai dosen, lalu ke radio sebagai penerjemah dan
merencanakan tiap-tiap episode untuk siaran Indonesia, lalu pulang pada sore
hari dan kembali lagi ke Al Azhar setelah isya’, jadi meskipun uangnya banyak
tapi, ia sangat sibuk,” terang anaknya panjang lebar.
Atas semangatnya itu
ia berhasil memperoleh gelar Lc (Syariah) pada tahun 1955/1956, dua tahun
kemudian MA pada jurusan yang sama, dua tahun kemudian ia meneruskan pada
jurusan Kehakiman dan mendapat gelar MA yang kedua, dan MA yang ketiga dalam
jurusan Perbandingan Madzhab, dan MA yang ke empat pada jurusan bahasa
diperoleh dari Akademi Tinggi Liga Arab, Kairo.
Setelah lulus ia
sempat pindah ke Damshkus dan kembali lagi ke Saudi sebagai penyiar dan
penerjemah di radio Saudi Arabia.
“Sebelum kembali ke
Saudi, ayah saya menikahi seorang gadis cantik, mama saya,” jelasnya.
Kembali ke Saudi
Arabia
Ketika di Saudi,
Nahrawi hidup bahagia dengan keluarganya bahkan dikaruniai tiga anak. Namun
dalam benaknya terbesit keinginan untuk kembali ke Tanah Air.
“Mengapa ingin
kembali ke Indonesia? Karena saya ingin mati dan dikuburkan di tanah kelahiran
saya,” kata Amirah mengutip dari ayahnya.
Sambil mempersiapkan
segalanya untuk kembali, waktu luangnya di Saudi ia gunakan untuk belajar
qiroat dengan salah satu ulama Al Azhar. Kepadanya ia membuat metode yang
mudah, yang pada saat itu gurunya sangat terkesan dengan metode yang ia
buat. Dan metodenya pun dicetak dan digunakan sebagai metode pembelajaran di Al
Azhar.
Selain itu ia juga
mengembangkan hasil disertasinya yang membahas tentang aliran syafi’iyah untuk
dijadikan buku, karena banyak pihak yang menginginkannya.
“Saat bukunya
dicetak, percetakanya tidak mau menggunakan nama Al Indunisiy (Indonesia) di
belakang namanya, sebab ditakutkan peminatnya berkurang,” katanya.
Namun Nahrawi tetap
kukuh untuk menggunakan nama Indonesia, urusan terjual atau tidaknya yang
terpenting nama negaranya bisa naik. Saking cintanya pada Indonesia, ia bahkan
tidak memikirkan nama kelokalan, seperti Al Banjari, Al Batawi, dan lain-lain.
Pada cetakan pertama
(1989) terjual habis kurang dari dua bulan, dan ketika ingin mencetak kembali
untuk yang kedua, rumah yang akan disinggahi di Indonesia sudah siap sehingga
ia harus pulang ke Indonesia (1990).
Sebelum wafat (1999),
Selama 9 tahun di Indonesia, waktunya ia habiskan untuk mengabdi pada
masyarakat seperti membuka majelis, mengajar di perguruan tinggi serta turut
aktif dalam organisasi masyarakat seperti PBNU di mana saat itu ia berkiprah
sebagai Anggota Syuriyah PBNU.
Selain mengabdi pada
organisasi kemasyarakatan, ia juga menjadi Dewan Fatwa Ulama Indonesia Pusat
serta aktif dalam dunia perpolitikan. []
(Nuri Farikhatin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar