Selasa, 24 April 2018

Gus Dur: Ulang Tahun Sebuah Vihara


Ulang Tahun Sebuah Vihara
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Minggu kedua Oktober 2003, penulis menghadiri ulang tahun ke 314 sebuah Wihara di kawasan Jatinegara. Wihara tersebut dihuni para Biksuni dan dikelola oleh sebuah kepengurusan baik dari kaum pria maupun kaum wanita. Karena tuanya yaitu ketika masa-masa permulaan Dinasti Mataram berkuasa, maka ia memiliki para pengikut orang-orang awam yang berjumlah banyak sekali. Mereka yang umumya adalah keturunan Tionghoa, menghidupi Wihara tersebut, dan dengan sendirinya membiayai peringatan ulang tahun tersebut. Walaupun hanya seperempat jam penulis berada di Wihara tersebut, ia disambut dengan peragaan Barongsai dan memperoleh hadiah luar biasa: sebuah patung harimau yang penulis tidak tahu dibuat dari bahan apa? Dan menjadi lambang apa pula? (lambang keulamaan, kekuatan ataukah kekuasaan), -Kedua jawaban itu tentu saja berkaitan dengan asal-usul budaya masyarakat tempat Wihara itu terwujud.

Penulis juga memperoleh makanan berupaya talas goreng -padahal tadinya memperkirakan akan memperoleh kue keranjang- yang menjadi makanan khas orang Tionghoa di hari-hari raya mereka. Variasi sangat tinggi dari cara hidup para keturunan Tionghoa itu menunjukkan keragaman sangat besar dalam kehidupan satuan-satuan etnis bangsa kita. Inilah  yang justru harus kita lestarikan sebagai kekayaan bangsa. Walaupun masing-masing menghadapi tantangan hidup budaya modern yang cenderung “menyeragamkan” pola-pola hidup kita atas nama efisiensi dan globalisasi. Dan atas nama keduanya pula dilakukan penyeragaman selera kita, seperti tampak pada blue jean, hamburger dan film barat.

Bagi penulis, penyeragaman selera seperti itu adalah tambahan variasi atas pola hidup beragam yang sudah kita miliki dari dahulu. Justru dalam hal-hal seperti itu, kekayaan hidup kita sebagai bangsa dipakai untuk menambah kekuatan dan kebesaran bangsa, ditengah pola kehidupan internasional yang demikian besar ragamnya. Dengan demikian, bangsa kita akan mampu membuktikan “kebesarannya” dalam kehidupan internasional, dan justru sanggup menjadikan kekayaan sangat beragam itu sebagai pendorong munculnya kebesaran bangsa dan negara kita. Penulis menolak teori budaya melting pot, karena dalam pandangan penulis percampuran seperti itu akan menghasilkan “budaya hibrida” yang justru berlawanan dengan prinsip keberagaman itu sendiri.

*****

Ada  tiga hal yang telah kita capai secara fundamental, yang merupakan kekuatan kita sebagai bangsa dan negara: pertama, kita sekarang memiliki sistem pemerintahan/administrasi tunggal melalui sistem demokrasi adimistrasi negara. Kita sudah terbiasa dengan hakim suku Ambon bertugas di Aceh, Jaksa suku Minang di Papua ataupun Dosen Universitas Negeri di Kalimantan dari suku di Flores. “Penyeragaman” sarana ini menyatukan kita sebagai sebuah bangsa di lingkungan sebuah negara, tanpa menggangu kemajemukan budaya kita. Kedua, kita menggunakan bahasa nasional, yaitu Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang memungkinkan kita berkomunikasi satu sama lain. Pengembangan bahasa nasional itu membuat perubahan-perubahan sosial terjadi dengan cepat di lingkungan negara kita sendiri. Dan terakhir, kita juga memiliki saling ketergantungan (interdependency) antar daerah. Hasil-hasil hutan Kalimantan diproses di pulau Jawa, sedangkan produk laut kita yang demikian kaya dikirimkan ke pasaran internasional.

Dengan berbagai peraturan-peraturan dan kerangka kegiatan yang sangat beragam tadi, memang diperlukan sebuah kebijakan baru untuk mengembangkan pasaran dalam negeri (Domestic Market), yang sesuai dengan besarnya potensi ekonomi bangsa kita. Dengan memiliki jumlah penduduk (yang berarti pasar) sebanyak 204 juta jiwa saat ini, penciptaan pasar dalam negeri seperti itu, harus secara optimal didorong oleh dan untuk melayani peningkatan pendapatan per-kapita rakyat Indonesia setiap tahun. Sehingga wajar saja akan dicapai pendapatan ribuan dollar AS setiap warga negara per-tahun dalam waktu singkat.

Ini berarti keharusan kita untuk tidak bersandar pada ekspor lagi, karena perluasan pasaran dalam negeri akan menyerap seluruh produksi nasional kita, jika dilakukan langkah-langkah untuk menerapkan kebijakan menahan impor barang murah dari RRT (Republik Rakyat Tiongkok) untuk barang-barang tertentu. Yang dapat digunakan adalah mencabut tariff bebas hambatan (non-tariff barrier) atas barang-barang luar negeri dari jenis tertentu yang diimpor kemari. Dengan mengandalkan diri pada kualitas tinggi barang-barang produksi nasional, -seperti elektronik dan optika, serta kendaraan umum dan barang-barang mesin-. Dengan berbagai kebijakan, seperti di atas ditambah kredit murah oleh bank-bank pemerintah kepada para pengusaha UKM (Usaha Kecil dan Menengah) akan membuat ekonomi kita berkembang pesat dan benar-benar mewakili bangsa.

*****

Kesemua upaya di atas, mengharuskan kita sebagai bangsa memperkuat keberagaman budaya bangsa kita. Kaitannya dengan hal itu adalah saudara-saudara kita keturunan Tionghoa tentu memiliki budaya mereka sendiri yang sudah berumur ribuan tahun, sehingga mereka menjadi kelompok pengusaha yang sangat kuat. Keberagaman ini tentu lebih memiliki peluang untuk “mempertahankan diri” dari tantangan-tantangan modernisasi yang kita alami sebagai bangsa. Selama proses modernisasi itu bersifat mengkokohkan manajemen, administrasi, permodalan dan kemampuan berorganisasi kaum pengusaha Tionghoa itu, harus tetap tersedia peluang untuk itu. Namun, kehidupan kaum pengusaha Tionghoa itu tidak dapat hanya dibatasi oleh dunia usaha saja,  mereka adalah juga golongan masyarakat yang memiliki budaya sendiri. Inipun harus terus didorong untuk memperoleh pemeliharaan yang wajar dari masyarakat keturunan Tionghoa secara keseluruhan, termasuk para pengusaha mereka.

Di sinilah terletak keharusan kita menghormati berbagai hal yang bersifat ritual di kalangan mereka. Diantaranya adalah peringatan Ulang Tahun Wihara, seperti disaksikan penulis, dan permainan Barongsai dan pidato-pidato adalah bagian tak perpisahkan dari “Budaya Ulang Tahun” tersebut. Menghormati budaya keseluruhan proses bermasyarakat mereka, lengkap dengan segala macam atribut-atributnya serta sikap menerima mereka sebagai bagian dari budaya bangsa yang demikian kaya dan sangat beragam. Menghormatinya sama dengan menghormati budaya suku bangsa lainnya yang berbentuk penampilan bermacam-ragam. Hanya dengan cara demikian kita dapat menciptakan bangsa yang kuat di tengah-tengah pergaulan internasional.

Sudah tentu kita juga harus menolong saudara-saudara kita warga keturunan Tionghoa, dari unsur-unsur dalam mereka yang melakukan berbagai tindakan melawan hukum, apalagi yang menjadi “preman”. Tetapi tentu saja tidak sepatutnya kita “mengadu domba” mereka, dengan berbagai cara mendorong mereka untuk menjadi informan atas tindakan kepremannan kelompok itu. Itu adalah urusan dan tanggung jawab pihak keamanan dan aparat hukum. Memelihara keadilan hukum tidak dapat dilakukan dengan cara melanggar hukum itu. Memang mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan, bukan? []

Jakarta, 15 Oktober 2003
Suara Pembaruan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar