Teladan Nabi Ibrahim dalam
Mencetak Keturunan Sukses Dunia-Akhirat
Setiap orang yang membangun rumah tangga
dalam sebuah ikatan perkawinan dapat dipastikan ingin mendapatkan keturunan.
Dan kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangga adalah sesuatu yang
paling diharapkan lebih dari lainnya. Ini bisa di lihat dalam pergaulan
kehidupan sehari hari, di mana ketika seseorang bertemu dengan temannya maka
pertanyaan yang pertama kali dilontarkan adalah “anakmu sudah berapa?”. Juga
ketika sepasang suami istri telah sekian lama menikah, harta telah melimpah dan
hidup dalam kecukupannamun belum juga dikaruniai momongan, kenikmatan hidup
berumah tangga itu belum lengkap dirasakan. Keduanya akan rela mengeluarkan
biaya berapa pun banyaknya demi mendapatkan momongan, anak keturunan.
Dan ketika anak keturunan telah didapatkan orang
tua masih memiliki harapan agar kelak anak-anaknya menjadi orang-orang yang
sukses, bukan saja di dunia tapi juga kelak di akhirat. Ini adalah harapan
ideal yang sudah semestinya dimiliki oleh setiap keluarga muslim.
Di dalam Al-Qur’an secara tersirat maupun
tersurat Allah banyak memberikan ajaran bagaimana menciptakan keturunan
generasi penerus yang saleh, berkualitas, sukses dunia dan akhirat. Dari banyak
ajaran itu salah satu yang menjadi kunci pokoknya adalah kesalehan dan ketaatan
orang tua kepada Tuhannya.
Secara tersirat pesan ini disampaikan Allah
dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 124 yang menceritakan perihal bagaimana
Nabi Ibrahim melakukan ketaatan hingga berbuah keturunan yang dianugerahi
kesuksesan. Allah berfirman:
وَإِذِ
ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ
لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي
الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji
oleh Tuhannya dengan beberapa perintah, maka ia melaksanakan perintah itu
dengan sempurna. Tuhannya berkata, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai
pemimpin bagi umat manusia.” Ibtahim berkata, “(demikian pula) sebagian anak
turunku.” Tuhannya berkata, “Janjiku tidak berlaku bagi orang-orang yang
berbuat aniaya.”
Secara garis besar ayat tersebut menceritakan
tentang ujian yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Para
ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang macam ujian yang diberikan Allah
kepada nabi-Nya tersebut. Ada yang berpendapat bahwa ujian itu berupa perintah
menyembelih putra beliau Nabi Ismail. Ulama yang lain mengatakan ujian itu
berupa rangkaian ibadah mansik haji. Pun ada yang menuturkan bahwa Nabi Ibrahim
diuji oleh Allah dengan berbagai perintah yang berkaitan dengan kebersihan diri
seperti memotong kuku, mencukur bulu ketiak, memotong kuku dan lain sebagainya.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut
yang jelas pada ayat di atas dituturkan bahwa pada akhirnya Nabi Ibrahim dapat
melaksanakan perintah-perintah Allah yang diujikan kepadanya dengan sempurna,
tanpa ada ada kekurangan juga tanpa berlebihan (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tafsir
Al-Munir [Beirut: Darul Fikr, 2008], jil. 1, hal. 37).
Imam Ibnu Kasir menuturkan bahwa atas
prestasi ini maka kemudian Allah memberikan balasan dengan menjadikan Nabi
Ibrahim sebagai pemimpin bagi umat manusia (Ibnu Kasir, Tafsir Al-Qur’an
AL-‘AdhimI [Semarang: Toha Putra, tt], juz 1, hal. 165). Beliau menjadi panutan
yang diikuti oleh siapapun dalam hal kebaikan. Namun rupanya Nabi Ibrahim belum
benar-benar puas atas penghargaan yang diberikan Allah. Kepada Tuhannya beliau
meminta agar tidak dirinya saja yang dijadikan pemimpin bagi umat manusia tapi
juga sebagian dari anak keturunannya diberi kehormatan serupa. Kiranya Allah
mengabulkan permohonan Nabi Ibrahim. Hanya saja janji anugerah Allah ini tidak
berlaku bagi siapa saja yang berbuat aniaya atau zalim.
Dalam sejarah bisa dilihat bahwa para rasul
yang diutus Allah untuk menyampaikan risalah setelah masa Nabi Ibrahim mereka
semua adalah anak-anak keturunan beliau. Bahkan sebagian di antaranya ada yang
tidak hanya diberi kenabian namun juga kekuasaan sebagai seorang raja. Nabi
Dawud, Sulaiman dan Yusuf adalah contohnya.
Dari kajian di atas bisa diambil pendidikan
luhur bahwa kesalehan dan ketaatan orang tua kepada Allah merupakan modal besar
bagi terbentuknya generasi yang berkualitas baik duniawi maupun ukhrawi. Adanya
anak keturunan Nabi Ibrahim dianugerahi Allah kemuliaan dengan diangkat sebagai
nabi dan raja adalah tidak lepas dari bagaimana Nabi Ibrahim sebagai leluhurnya
menjalankan dan mentaati perintah-perintah Allah secara sempurna.
Berangkat dari itu bila orang tua menghendaki
generasi penerusnya mendapatkan kesuksesan di dunia dan akhirat, menjadi
anak-anak yang berkualitas lahir dan batin, maka semestinya orang tua mau
mengawalinya dengan membentuk kesalehan diri sendiri. Ketaatan orang tua dalam
menjalani perintah-perintah Tuhannya dan menjauhi setiap larangan-Nya memiliki
andil yang cukup besar dalam membentuk dan mencapai harapan itu. Allah tidak
hanya memberikan balasan kebaikan bagi pelakunya saja namun juga bagi generasi
penerusnya.
Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 7 Allah
juga berfirman:
إِنْ
أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
Artinya: “Bila kalian melakukan kebaikan maka
kalian melakukan kebaikan bagi diri kalian sendiri, dan bila kalian melakukan
kejelekan maka kejelekan itupun untuk diri sendiri”.
Imam Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya
Mafâtihul Ghaib mengutip penjelasan Al-Wahidi tentang ayat di atas bahwa
apabila kalian melakukan ketaatan kepada Allah maka dengan ketaatan kalian itu
Allah akan membukakan pintu-pintu kebaikan dan keberkahan bagi kalian.
Sebaliknya bila kalian melakukan kejelekan maka dengan jeleknya kemaksiatan
yang kalian lakukan itu Allah akan membukakan pintu-pintu keburukan bagi kalian
(Fakhrudin Al-Razi, Mafâtihul Ghaib [Beirut: Darul Fikr, 1981], juz
20, hal 159).
Bila ayat tersebut diterapkan dalam kaitan
sebab akibat antara ketaatan orang tua dan kesuksesan anaknya maka bisa diambil
satu pemahaman bahwa ketaatan seseorang kepada aturan-aturan Allah akan
mewujudkan kebaikan dan keberkahan bagi dirinya sendiri yang salah satunya
berupa kesuksesaan anak-anak keturunan di bidang duniawi maupun ukhrawi. Ya,
saat orang tua memandang anak-anaknya menjadi orang yang sukses bukankah itu
merupakan kebahagiaan tersendiri bagi dirinya? Maka itu berarti ketaatannya
membuahkan kebaikan bagi dirinya sendiri.
Satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam musnadnya menyebutkan sabda Rasulullah yang menyatakan, “Sesungguhnya
anak-anakmu adalah dari hasil usahamu” (Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad
[Muassasah Al-Risalah, 2001], jil. 42, hal. 176). Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar