Meneliti Jenis Akad yang
Sedang Dilangsungkan
Sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan
sebelumnya bahwa niat memegang peranan penting terhadap perjalanan hukum fiqih.
Sebagaimana kaidah:
الأمور
بمقاصدها
“Bahwa segala perbuatan adalah bergantung
lada maksudnya (niat).”
Kaidah ini dibangun berdasarkan hadits yang
sangat terkenal bahwa sesungguhnya sahnya suatu amal harus disertai dengan
niat. Maksud dari hadits ini adalah bahwasannya balasan atau pahala suatu amal
adalah tergantung pada niat. Demikian juga, sah atau tidaknya suatu amal adalah
tergantung pula pada niat.
Seseorang mengambil barang hilang di jalan,
yang ternyata kemudian barang tersebut rusak di tangannya, atau bahkan hilang.
Apakah ia berkewajiban mengganti barang yersebut? Maka, dalam kasus seperti
ini, memecahkannya adalah dikembalikan lagi pada niat awal ketika orang
tersebut mengambil barangnya. Jika niat awal mengambilnya adalah untuk
diserahkan kepada pemilik asli barang, atau agar orang lain tahu bahwa barang
tersebut ada di tangannya , dan sewaktu-waktu pemiliknya mencari, barang itu
akan ia serahkan, maka dalam hal ini pelaku adalah seorang yang memang amanah
sehingga ia tidak dikenakan atas ganti rugi terhadap barang yang hilang atau
rusak tersebut.
Namun bila, niat awal mengambil barang
tersebut adalah untuk dimilikinya, sementara di kemudian hari ternyata pemilik
sebenarnya datang mencari dan menemui orang yang mengambil tersebut, maka bila
barang itu hilang atau rusak, dengan demikian ia wajib untuk menggantinya.
Mengapa? Karena akibat perbedaan niat awal tersebut, pelaku yang mengambil bisa
dihukumi dengan dua sudut pandang fiqih yang berbeda. Pertama, ia dihukumi
sebagai orang yang amanah, dan yang kedua ia dihukumi sebagai pencuri. Inilah
konsistensi fiqih, yang memandang pekerjaan yang sama namun dengan dua hukum
yang berbeda, karena niatnya berbeda. Sikap konsistensi fiqih ini kemudian
digambarkan dalam sebuah kaidah:
العبرة
بخصوص السبب لا بعموم اللفظ
“Pada hakikatnya hukum itu tergantung pada
sebab, bukan pada keumuman lafadh.”
Kaidah fiqih ini jika diterapkan pada bentuk
terapan dalam wilayah akad/transaksi, sebenarnya masih terlalu umum. Karena
tidak semua sebab adalah niat, dan tidak semua niat adalah sebab. Misalnya
pernyataan “padinya dimakan tikus”, untuk menjelaskan bahwa tikus merupakan
sebab, sehingga suatu padi di dalam petak gagal untuk dijual.
Jika ada suatu hadiah diberikan, namun
dilengkapi dengan adanya syarat dan ketentuan sehingga hadiah tersebut gagal
diterima bila syarat dan ketentuan tersebut tidak dilengkapi, maka pada
dasarnya hadiah tersebut bukanlah hadiah, meskipun ia disebut sebagai hadiah.
Lebih tepatnya hal itu bisa disebut sebagai akad jual beli sehingga bukan
tempatnya jika ia disebut sebagai hadiah. Nah, sampai di sini, manakah yang
disebut sebagai sebab, dan mana yang disebut sebagai niat?
Untuk itulah kemudian ulama mengembangkan
sebuah kaidah lain dengan berangkat dari lafadh sebab khusus dan lafadh umum,
sebagaimana kaidah di atas.
العبرة
في العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني
"Hukum di dalam akad tergantung pada
niat dan makna sehingga bukan bergantung pada lafadh dan bentuknya."
Sesuai dengan kaidah ini, meskipun pemberian
di atas dinamakan hadiah, tetapi karena dalam praktiknya ada syarat dan
ketentuan yang harus dipenuhi oleh yang diberi, serta hadiah tersebut bisa
batal untuk diberikan manakala tidak dipenuhi persyaratannya, maka hadiah
tersebut sejatinya bukan hadiah, melainkan jual beli.
Contoh kasus yang lain adalah pada praktik
pengalihan hutang (hawalah). Jika merujuk pada pola hawalah, maka seharusnya
bagi pihak yang mengalihkan hutang adalah sudah bebas dari hutangnya dan ia
sudah tidak memiliki tanggung jawab lagi terhadap hutang tersebut. Akan tetapi,
bila ternyata dalam praktiknya, orang yang mengalihkan ternyata masih harus
menanggung beban pembayaran dari orang yang menggantinya, maka meskipun akad
tersebut pada awalnya disebut sebagai hawalah namun pada dasarnya, ia bukanlah
hawalah, melainkan kafalah.
Kesimpulannya, “sebab” yang sebelumnya
merupakan niat dan soko utama dalam akad/transaksi, menjadi diperinci kembali,
apakah benar ia sebagaimana yang diniatkan, ataukah sebagaimana yang
dimaksudkan? Jika dalam praktiknya ia harus dikembalikan kepada sebagaimana
yang dimaksudkan dalam maknanya shighat, maka harus ada penelitian kembali
terhadap jenis akad yang berlangsung sehingga tidak terjadi salah sebut akad.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar