Setan dan Hikmah
Penciptaannya
Jarang sekali para
filosof menggunjing tentang setan. Kecuali membicarakan “Good and Evil”, baik dan
buruk. Keburukan mustahil dikaitkan dengan Tuhan, karena Tuhan adalah Dzat Yang
Maha Sempurna dan Maha Segalanya secara absolut. Tidak ada gugatan atas hal
tersebut. Tuhan ada sebelum adanya segala sesuatu itu ada.
Setan pada muasalnya
adalah penghuni surga, kesombonganlah yang membuat ia terlempar. Namun, tidak
bisa dipungkiri, bahwa setan adalah pelengkap dari kesempurnaan ciptaan Tuhan
dan mengandung hikmah bagi kehidupan.
Memfilosofikan setan
sama saja dengan membicarakan keburukan. Pendapat itu pasti yang akan keluar
dari pikiran kita, setan identik dengan laku buruk, dan pemahaman tersebut
sudah tidak bisa ditawar lagi, seperti halnya seseorang yang ingin melakukan
aktivitas, mengaji atau apapun.
Sebelum menyebut nama
Tuhannya Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ia lebih dulu meminta
perlindungan dari godaan setan yang terkutuk. Artinya, keterkutukan setan sudah
menjadi harga mati.
Karena itu, wajar
saja jika setan menjadi bulan-bulanan manusia ketika manusia membuat kesalahan.
Sampai-sampai ada anekdot, setan sakit hati selalu disalahkan, padahal setan
belum melakukan aksi godaannya. Faktor itulah yang membuat setan mengadakan
'Rapat Kerja Nasional Setan' dengan tema apakah perlu setan pensiun dini?
Kinerjanya sudah tidak seperti dulu, manusia sudah mengambil alih sendiri tanpa
harus ada godaan.
Dalam 'Rapat Kerja
Nasional Setan' tersebut setan menggugat, sebaiknya kita sudahi saja menggoda
manusia, seburuk-buruknya golongan setan tidak pernah membuat video porno,
tidak pernah mengaku Tuhan, dan tidak pernah menTuhankan yang lain selain
Allah.
Di pihak lain
menyerukan, jangan pensiun, kita sudah membuat komitmen sampai akhir hayat
menggoda manusia, jangan sampai kita menyesal nantinya. Kestabilan dunia tanpa
setan tidak akan seimbang.
Ya, memang demikian,
terlahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan kejaksaan, fungsinya
untuk “menangkap setan”. Kalau setan pensiun, banyak sekali pengangguran,
lembaga-lembaga hukum tersebut tidak lagi memiliki fungsi.
Setan juga yang
memacu diri kita menjadi kreatif dan bekerja sungguh-sungguh supaya menjadi
lebih baik. Berdirinya lembaga-lembaga kemanusiaan, lembaga pendidikan, majlis
ta’lim, dan sebagainya. Itu sebagai usaha kreatif manusia agar tidak terperdaya
oleh bujuk rayu setan yang menipu.
Untuk melihat bahwa
setan mengandung potensi hikmah dalam kehidupan manusia, sekadar anekdot:
alkisah, pada bulan Ramadhan sebagai bulan suci, setan juga ingin bertaubat,
dan ia datang menghadap Syekhul Azhar, untuk didoakan kepada Allah agar
taubatnya diterima. Sepuluh hari pertama Ramadhan doa Sang Syekh belum dapat
jawaban dari Allah. Demikian juga sepuluh kedua.
Pada sepuluh ketiga
Sang Syekh berpikir, bagaimana kalau taubat setan nanti diterima Allah, tentu
tidak ada lagi kejahatan dipermukaan bumi ini, dan tentu tidak diperlukan lagi
lembaga-lembaga pendidikan agama dan tempat-tempat peribadatan.
Akhirnya pikir Sang
Syekh, Al-Azhar akan ditutup dan bubar, dan saya kata Sang Syekh, tentu tidak
punya jabatan dalam pekerjaan apa-apa lagi. Sekarang Sang Syekh yang datang
menghadap setan dan berkata, “Kamu tidak perlu taubat dan teruskan saja
pekerjaanmu menggoda manusia.” Sungguh benar, Tuhan menciptakan segala sesuatu
tidak main-main, mesti ada hikmahnya, fa’tabiru ya ulul al-bab.
Dengan demikian,
kontrol diri merupakan hal terpenting sebagai pengendali, sebab godaan akan
datang dari berbagai penjuru. Setan adalah eksistensi lain dari ciptaan Tuhan
yang selalu mendukung potensi buruk kita. Oleh karena itu, pada akhirnya kita
lah yang menyetir kehidupan kita, keburukan mustahil datang dari Yang Maha
Baik.
Bahkan semua
ciptaan-Nya adalah baik. Baik dan buruk ada secara potensial pada diri manusia,
tergantung bagaimana manusia dalam memandang kehidupan, apakah bersandar kepada
Yang Maha Baik atau hanya menuruti hawa nafsu setan, apakah optimis atau
pesimis, dan apakah positif atau negatif. Kita lah penentunya, kenali dirimu
sendiri. Lakukanlah perjalanan ke dalam diri, sebelum kita “mengkambinghitamkan”
setan. []
Aswab Mahasin, Dewan
Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar