Senin, 09 April 2018

Kang Komar: Iman yang Membebaskan


Iman yang Membebaskan
Oleh: Komaruddin Hidayat

KITA sering kali atau bahkan selalu, saat dalam suasana galau, memiliki keinginan yang paradoksal. Satu sisi ingin menikmati kebebasan, tetapi ketika kebebasan diberikan sepenuhnya, kita juga dibuat lelah dan pusing oleh suasana yang serbabebas.

Dulu semasa Orde Baru kita menginginkan kebebasan untuk berserikat, berbicara, dan mengekspresikan perasaan serta pikiran sebebas-bebasnya karena merasa terkekang dan terancam oleh penguasa yang dinilai sebagai tiran. Tapi sekarang ketika ruang kebebasan terbuka lebar, bahkan kebebasan berbicara itu difasilitasi oleh media sosial (medsos), kita merasa pusing dan gaduh. Kritik dan caci maki bermunculan terhadap mereka yang berbeda agama dan aspirasi politiknya.

Oleh karenanya, kalau kita cermati dengan jeli, salah satu produk manusia dalam sejarah adalah menciptakan pagar dan batasan-batasan. Ribuan undang-undang (UU), peraturan, konvensi, traktat, kesepakatan, dan berbagai formula lain dirumuskan guna mengatur dan membatasi kebebasan manusia.

Kalau tidak ada aturan yang dikawal dengan kekuasaan, jika perlu dengan ancaman senjata, kehidupan manusia bagaikan homo homini lupus, demikian kata Thomas Hobbes. Ibarat serigala yang siap menerkam yang lain.

Masing-masing akan mengintai kelemahan dan kelengahan yang lain untuk menentukan saat dan cara yang tepat menerkam. Namun ketika peraturan dan pembatasan sudah menyesakkan, muncullah pemberontakan untuk merobohkan tembok pembatas itu.

Pergulatan antara kebebasan dan pembatasan juga terjadi dalam kehidupan dan keyakinan beragama. Filsuf seperti Sartre dan Nietzche dengan lantang menyuarakan agenda pembebasan manusia dari suasana ketertindasan dan perbudakan yang membuat manusia tidak merdeka, pikiran terkekang, serbatakut dan melumpuhkan potensi kehebatan dirinya.

Tawarannya yang paling ekstrem adalah agar membuang atau membunuh gagasan dan kepercayaan kepada Tuhan. Selama orang masih membayangkan Tuhan yang paling tahu urusan manusia dan selalu hadir mengatur serta menakut-nakuti manusia, selama itu pula manusia akan tetap terkondisikan sebagai budak. Umat beragama akan mengidap mental budak.

Sebatas tataran argumen, banyak orang yang terpengaruh dengan logika yang ditawarkannya. Namun pada tataran praksis, ketika kehidupan ini tak lagi memiliki pijakan nilai dan keyakinan yang absolut, seseorang justru bisa mabuk dan gila karena kebebasan yang tak terbatas, yang berujung pada nihilisme, bukan sekadar relativisme.

Orang akan terjangkiti the dizzy of freedom. Di situlah suasana paradoksal manusia, selalu merasa terjepit antara dorongan untuk mengelana––fisik dan pikiran––dalam suasana kebebasan serta pencarian tempat yang aman dan nyaman karena kebebasan tanpa batas bagaikan hidup terbuang tanpa rumah tempat kembali. Membuatnya terlunta-lunta bagaikan cerita Adam.

Lalu apa arti iman dan agama jika hanya merampas kemerdekaan seseorang? Dalam konteks Islam, sejauh yang saya pahami, Tuhan juga mengenalkan dirinya sebagai al-fattaah. Sang Pembebas.

Manusia diajari untuk membebaskan diri dari berbagai bentuk penghambaan pada objek material-duniawi, bahkan juga pemujaan pada kehebatan nalarnya. Nalar digunakan secara optimal untuk mengaktualkan kemanusiaannya serta untuk membaca jejak-jejak keagungan dan kasih Tuhan, tetapi nalar tidak boleh dipertuhankan.

Alquran mengajarkan bahwa manusia merupakan magnum opus atau masterpiece Tuhan, yaitu puncak ciptaanNya, maka logis saja muncul pemikir-pemikir hebat yang cenderung memberhalakan kehebatan dirinya. []

KORAN SINDO, 6 April 2018
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar