Hakikat Isra Mikraj
Oleh: Haedar Nashir
Isra Mikraj merupakan peristiwa luar biasa diukur dari
rasionalitas manusia biasa. Ummu Hani, putri Abu Thalib, bahkan meminta
Muhammad agar tidak menceritakan ke publik seputar “perjalanan Nabi di
malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha serta dari Masjidil Aqsha naik
ke langit ketujuh hingga Sidratal Munthaha dalam tempo superkilat itu”.
Hal itu karena dianggap aneh dan secara nalar empirik tidak masuk
akal, yang tentu saja akan ditentang dan didustakan bangsa Arab kala itu. Namun
Nabi tetap memberitakannya secara jujur dan terbuka. Kaum Arab jahiliyah yang
sejak awal menolak kerisalahan Nabi semakin menentang dan menganggap Muhammad
bukan hanya berdusta, tetapi telah menjadi gila. Dengan kabar Isra Mikraj itu
bahkan sebagian orang yang telah masuk Islam berubah menjadi murtad. Sungguh
betapa makin beratnya posisi dan perjuangan Nabi akhir zaman itu dalam
mendakwahkan risalah Islam kala itu.
Di kalangan ulama, sejarawan, mufasir, dan umat Islam sendiri dari
dulu hingga kini berbeda pendapat apakah Muhammad menjalani Isra dan Mikraj itu
dengan ruh atau jasadnya atau keduanya. Hal itu menunjukkan betapa tidak
mudahnya memahami peristiwa yang menakjubkan dalam sejarah kerisalahan Nabi
akhir zaman itu. Peristiwa itu tidak dapat dipenggal dalam satu cara pandang,
tetapi perlu perspektif biyond yang melampaui banyak dimensi.
Dimensi ilahiah
Isra Mikraj memang bukan peristiwa biasa. Dari perspektif
keilahian ia merupakan pertanda dan penanda kekuasaan Allah atas nubuwah atau
kenabian Muhammad SAW dalam menunaikan misi Islam. Nabi sendiri tidak
merekayasa peristiwa langka itu. Muhammad justru “diperjalankan” (isra) dan
“dinaikkan” (mi’raj) oleh Dzat Maha Kuasa dan Maha Pemilik Segala Kuasa
sehingga mampu melakukan perjalanan yang melampaui batas ruang dan waktu (QS
Al-Isra: 1).
Sayyid Qutb dalam Tafsir “Fi Zhilalil Quran” menjelaskan, “Bagi
mereka yang sedikit saja dapat memahami karakter kekuasaan ilahiah dan karakter
nubuwah (kenabian), mereka pasti tidak akan melihat satu keanehan sedikit
pun. Karena di hadapan kekuasaan ilahiah tidak ada perbedaan jarak antara semua
bentuk pergerakan makhluk, yang sering tampak di mata manusia, dengan keterbatasan
kemampuan dan persepsinya, serta beda tingkat kesulitan dan kemudahannya,
karena diukur dengan apa yang biasa ia lihat dan alami sehari-hari. Yang tampak
dan yang terlihat di permukaan alam kasat mata manusia tidaklah tepat untuk
jadi hakim dalam mengetahui kadar ukuran segala sesuatu, jika dibanding kan
ukuran kekuasaan Allah. Sementara tabiat nubuwah adalah hubungan komunikasi
dengan alam samawi nan tinggi, di luar kadar dan kebiasaan manusia umumnya.”
Kekuasaan Allah itu sangatlah luas dan tak terjangkau nalar
empirik manusia. Jika Allah berkehendak, berlaku hukum mutlak “kun fayakun”,
segalanya pasti terjadi. Allah-lah pemilik segala kuasa, sedangkan manusia
hanya hamba-Nya yang dhaif dan tidak berdaya. Dia berikan kekuasaan kepada yang
dikhendaki, sebaliknya Dia cabut kekuasaan apa pun yang dimiliki manusia dengan
cara yang manusia sendiri tak kuasa dan sulit memahaminya. Jangankan untuk
memperjalankan Muhammad dalam ruang dan waktu yang tak terjangkau nalar
manusia, lebih dari itu pun Allah sungguh Maha Segalanya.
Dalam kontroversi Isra dan Mikraj itu, maka dasar yang dapat
dijadikan rujukan ialah sikap Abu Bakar Ash-Shidiq, yang menyampaikan kesaksian
sebagai berikut: “Janganlah keterangannya (Muhammad) bahwa dia telah
bersembahyang di Masjidil Aqsha, bahkan lebih dari itu pun bahwa dia baru saja
kembali dari langit dan membawa berita langit, saya pun percaya. Saya sungguh
percaya.” Sebab, jauh sebelum kenabian, Muhammad telah diakui
keterpercayaannya, sehingga kaum Jahiliyah pun menjulukinya “Al-Amin”. Inilah
dimensi iman yang penting untuk menjadi dasar memahami hakikat Isra Mikraj Nabi
Muhammas SAW.
Dimensi ilmiah
Masyarakat ilmu di kemudian hari mencoba menjelaskan isra-mikraj
dengan pendekatan ilmiah. Dengan teori “kecepatan cahaya”, teori relativitas
tentang pelambatan waktu, dan adanya partikel- partikel yang dapat
melewati batas ruang dan waktu, maka peristiwa yang aneh secara rasio itu
juga dapat terjadi dan dipahami. Dunia modern juga mengakui adanya telepati, sementara
masyarakat saat ini sudah terbiasa dengan pesawat terbang dan pesawat ruang
angkasa. Semua hal dapat terjadi dan memperoleh dukungan ilmu pengetahuan.
Namun pendekatan ilmiah tidaklah tunggal. Selalu ada yang berbeda
dan bahkan bertentangan satu sama lain. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir
Al-Azhar, bahwa kendati ilmu pengetahuan modern atau “Modern Wetenchap”
dapat digunakan untuk mendukung kebenaran Isra Mikraj, perlu disadari bahwa
ilmu pengetahuan yang bersifat empirik itu tidaklah selalu dapat disesuaikan
dengan sesuatu yang berkenaan dengan iman dan keyakinan. Boleh jadi, menurut
Hamka, terdapat ilmu pengetahuan yang timpang, yang ahli-ahli ilmu pengetahuan
sendiri belum menerima penjelasan itu, sementara agama pun belum tentu
mengakuinya.
Pada posisi ini hikmah Israj Mikraj dapat menginspirasi para
ilmuwan untuk terus mengungkap berbagai rahasia alam semesta ciptaan Tuhan yang
sangat luas dan kaya sebagai anugerah. Pada saat yang sama, ilmu pengetahuan
juga tetap memiliki relativitas sehingga perlu rendah hati terhadap
fenomena-fenomena yang dalam agama bersifat imani dan ilahiah. Para ilmuwan
memiliki kewajiban berpikir dan berdzikir atas segala ciptaan Tuhan di seluruh
alam raya yang tak ada satu hal pun sia-sia (QS Ali Imran: 190-191). Ilmuwan,
lebih-lebih yang menyandang sebutan tokoh agama, tidak menjadi arogan seolah
menjadi tuhan bagi orang lain.
Dialog antara agama dan ilmu pengetahuan perlu terus dilakukan
untuk mengungkap rahasia alam semesta, sekaligus menjadikannya sebagai tempat
manusia dan seluruh ciptaan Allah hidup secara harmoni menuju keutamaan
peradaban semesta. Para ilmuwan tetap rendah hati dan tidak angkuh dengan
kebenaran yang diyakininya, sementara pemeluk agama juga mau membuka diri pada
ilmu pengetahuan agar makin berkemajuan selaku khalifah di muka bumi,
sebagaimana firman Allah: “Allah akan mengangkat mereka yang beriman dan mereka
yang berilmu beberapa derajat” (QS Al-Mujadilah: 11). Agama dan ilmu akan
membentuk sikap profetik yang menyemai harmoni dan menyelamatkan masa depan
kehidupan.
Dimensi ubudiah
Ayat pertama Surat Al-Isra di mana Nabi “diperjalankan oleh Allah
Yang Maha Suci” dan bukan perjalanan atas kehendak sendiri, menegaskan antara
lain posisi Muhammad sebagai “abdullah” atau hamba Allah yang terkena hukum
keibadahan atau ubudiah, yakni tunduk dan taat kepada Sang Khaliq. Nabi dari
Mikraj-nya bahkan memperoleh kewajiban ibadah mahdhah, yakni shalat lima waktu
dengan penuh ketundukan. Jika bukan atas saran Nabi Musa, boleh jadi shalat
bagi umat Islam tetap 50 kali, sebagaimana ketentuan semula yang Nabi
menerimanya tanpa keberatan. Inilah sifat ta’abudi atau ketaatan total Nabi
kepada Allah.
Hal serupa tentu berlaku bagi umat Islam dan kaum beriman di mana
pun saat ini. Bahwa manusia diberi kewajiban utama untuk beribadah kepada Allah
dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya,
menjauhi larangan-larangan-Nya, serta menjalankan apa-apa yang diizinkan
oleh-Nya. Dengan ibadah itu manusia akan meraih kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat, memperoleh rida dan karunia-Nya, serta pada akhirnya masuk ke dalam
Jannatun Na’im yang abadi.
Siapa pun yang mengaku beriman dan jadi hamba-hamba Allah di muka
bumi jadilah insan yang senantiasa dekat dengan Allah sekaligus berbuat ihsan
atau kebajikan yang melampaui kepada sesama dan lingkungannya. Perbedaan agama
dan segala kemajemukan tidak menghalangi para pemeluk agama untuk
terus-menerus jadi umat yang saleh secara vertikal dan horizontal. Jadikan
habluminallah (hubungan dengan Allah) sebagai pembentuk sikap diri yang taat,
tulus, baik, rendah hati, toleran, damai, dan welas asih dalam kehidupan
bersama.
Menjadi hamba Allah termasuk dalam mencintai lingkungan dan alam
raya agar memanfaatkannya dengan penuh pertanggungjawaban moral yang tinggi
serta tidak merusak, mengeksploitasi, dan memonopoli yang merugikan hajat hidup
sesama. Hidup harmoni dengan keanekaragaman sesama makhluk Tuhan dan alam
sehingga kehadirannya jadi rahmat bagi semesta. Menjauhi sikap takabur, benar
sendiri, dan merasa paling digdaya seolah memakai pakaian Tuhan, padahal
dirinya lemah dan tak kuasa selaku ciptaan-Nya.
Dimensi risalah
Isra Mikraj selain menegaskan kenabian Muhammad, sekaligus
mengokohkan kerasulannya untuk mengemban misi dakwah Islam sebagai rahmat bagi
alam semesta. Nabi tidak berlama-lama di Sidratul Muntaha berjumpa dengan
Tuhannya Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, sebagaimana idaman spiritual para
sufi ke puncak tertinggi Ilahi. Muhammad justru dari bumi naik ke langit terus
turun kembali ke bumi untuk menyinari seluruh negeri di muka bumi. Dalam masa
kesedihan (‘am al-hazm) pasca-ditinggal istri tercinta, Khadijah, dan paman
yang membelanya, Abu Thalib, dari segala intimidasi kaum Arab jahiliah, Nabi
tidak larut diri bersama Tuhan di atas ‘Arsy. Nabi kembali berjuang di dunia
nyata yang sarat tantangan untuk membawa misi “tanwir”, yakni pencerahan bagi
umat manusia, “litukhrija al-nas min al-dhulumat ila al-nuur”.
Nabi pasca-Isra Mikraj hijrah ke Yasrib dan membangun kehidupan
baru. Dalam tempo sekitar 13 tahun ia berhasil menjadikan desa kecil itu
menjadi al-Madinah al-Munawwarah, kota peradaban yang cerah dan mencerahkan.
Segala kegelapan selama periode Makkah diubah jadi tatanan dunia baru yang
berperadaban mulia. Dari masyarakat penyembah berhala menjadi bangsa bertauhid
yang memuliakan kaum perempuan dan semua umat manusia, meniadakan riba,
meluruhkan ego golongan, menghilangkan diskriminasi, dan menjadikan umat yang
satu dalam keragaman sebagaimana dideklarasaikan dalam pidato akhir kerisalahan
Nabi pada Haji Wada. Sejak itu, pasca-Nabi wafat, risalah Islam meluas dan
menyinari seluruh dunia sehingga Islam menjadi Din al-Hadlarah atau agama
peradaban yang mencerahkan semesta.
Kini umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan memperingati Isra
Mikraj niscaya mengambil peran pencerahan sebagaimana jejak kerisalahan Nabi
akhir zaman. Melalui gerakan pencerahan Islam, umat Islam Indonesia yang
mayoritas harus tampil sebagai umat yang berkemajuan, bukan sebagai golongan
yang besar sebatas jumlah. Islam yang berada di garis depan dalam menghasilkan
pusat-pusat keunggulan yang memberi manfaat untuk bangsa dan kemanusiaan
universal.
Umat Islam dengan spirit risalah Nabi niscaya menjadi uswah
hasanah atau contoh terbaik dalam menampilkan Islam yang tengahan atau moderat
dengan menampilkan perilaku damai, toleran, dan menebar kebajikan bagi sesama
dan lingkungan di negeri tercinta ini. Islam yang menggelorakan kemanusiaan dan
kebersamaan hatta dengan golongan yang berbeda sekalipun; bukan
menampilkan sikap garang, keras, dan memusuhi sesama. Meski dilandasi
keyakinan kebenaran agama, tak perlu berpakaian atas nama Tuhan yang menghardik
siapa pun yang berbeda dan diapandang salah secara sepihak. Tampillah seperti
Nabi yang lemah lembut, hikmah, dan uswah hasanah.
Umat Islam Indonesia dengan hikmah Isra Mikraj harus menjadi
kekuatan prodemokrasi, penegakan hak asasi manusia, dan membangun civil society
yang berkeadaban mulia. Menjadi penyebar keadaban mulia dalam segala hal,
termasuk dalam berpolitik yang menebar hikmah dan bukan penabuh genderang
perang dan kegaduhan. Menjadi umat yang maju dan pembangun peradaban utama.
Dengan demikian kehadiran Islam dan umat Islam benar-benar menjadi rahmaan
lil-‘alamin yang menjadikan negeri dan segenap persada buana menjadi Baldatun
Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur; sebuah negeri yang subur dan makmur, adil dan
aman. []
KOMPAS, 13 April 2018
Haedar Nashir | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar