Senin, 31 Mei 2021

(Do'a of the Day) 19 Syawwal 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Allaahumma inni a'uudzu bika min munkaraatil akhlaaqi wal a'maali wa ahwaa-i.

 

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak, amal, dan keinginan yang tercela.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18.

Pancasila, Trisila, Ekasila dalam Pandangan Sukarno dan KH Achmad Siddiq (Bagian 3-Habis)

Penetapan UUD pada 18 Agustus 1945 dan Dekrit Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959 juga seharusnya dalam konteks ini menyudahi diskusi antara lain soal Trisila dan Ekasila yang membuka kemungkinan berbagai persepsi.

 

“Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan konstitusi tersebut,” kata Sukarno dalam Dekrit Presiden yang ditetapkan di Jakarta pada 5 Juli 1959 dan kemudian dibacakan kembali dalam pidato 17 Agustus 1959. (Sukarno, Pancawarsa Manipol, [Jakarta, Panitia Pembina Jiwa Revolusi: 1964 M], halaman 43).

 

Dalam pengantar Pidato 1 Juni 1945 yang dibukukan dengan judul Camkan Pancasila: Pancasila Dasar Falsafah Negara, (Jakarta, Departemen Penerangan RI: 1964 M), Sukarno menyebut Pancasila sebagai satu-satunya ideologi nasional yang dipertahankan dengan gigih.

 

Sukarno mengajak segenap masyarakat untuk “berpegang teguh pada 3 pokok pengertian dari Pancasila ialah: (1) Pancasila sebagai pemerasan kesatuan jiwa Indonesia. (2) Pancasila sebagai manifestasi persatuan bangsa dan wilayah Indonesia. (3) Pancasila sebagai Weltanschauung bangsa Indonesia dalam penghidupan nasional dan internasional. (Sukarno, 1964 M: 3).

 

Sebenarnya Sukarno sendiri dalam pidato 1 Juni 1945 telah menegaskan bahwa apapun kesepakatan yang akan diambil oleh peserta sidang BPUPKI (yang saat itu muncul sejumlah opsi) harus mencakup lima sila yang diajukannya pada awal pidato. Bahkan, ia sendiri menginginkan Pancasila (dasar final) sebagai dasar bagi negara Indonesia Merdeka, bukan Trisila atau Ekasila (yang bersifat opsional).

 

“Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara-saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan, untuk permufakatan, untuk sociale rechtvaardigheid, untuk ke-Tuhanan. Pancasila itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun.” (Sukarno, 1964 M: 33).

 

Adapun pidato Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1959 berkepala “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (yang juga memuat di dalamnya Dekrit Presiden RI pada 5 Juli 1959) adalah garis-garis besar daripada haluan negara sebagaimana suara bulat Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam sidangnya ke-II tanggal 23, 24, dan 25 September 1959.

 

“Karena itu saya harapkan supaya Manifesto Politik (pidato Presiden RI pada tanggal 17 Agustus 1959 yang mengulang kembali teks dekrit presiden) tersebut dipelajari dan dipahami oleh tiap warga negara Indonesia….” (Sukarno, 1964 M: 9). []

 

(selesai…)

 

Alhafiz Kurniawan

Pancasila, Trisila, Ekasila dalam Pandangan Sukarno dan KH Achmad Siddiq (Bagian 2)

Masalah Pancasila, Trisila, dan Ekasila menarik perhatian Rais Aam PBNU 1984-1991 M KH Achmad Siddiq. Pada sebuah makalah panjang yang menjadi bahan Munas Alim Ulama NU pada 1983 (ketika pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila bagi orpol dan ormas ketika itu), KH Achmad Siddiq sempat menyingung masalah Pancasila, Trisila, dan Ekasila yang kembali didiskusikan.

 

KH Achmad Siddiq (1926-1991 M) mengatakan, penggunaan nama Pancasila bagi dasar negara Republik Indonesia tidak tertulis dalam undang-undang Dasar 1945, baik pada pembukaannya, batang tubuhnya, maupun pada penjelasannya. (Lihat KH Achmad Siddiq (ed Choirul Anam), Pemikiran KH Achmad Siddiq, [Jakarta, Duta Aksara Mulia: 2010 M], halaman 69).

 

Menurutnya, penggunaan nama itu semula hanya untuk mempersingkat penyebutan butir-butir dasar negara yang tercantum pada undang-undang dasar 1945 (pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya), supaya tidak usah memerincinya satu per satu. Meskipun demikian, tidak boleh ada perbedaan persepsi, ketika terucap atau tertulis kata Pancasila, dengan persepsi ketika terucap atau tertulis butir-butirnya secara terperinci: Ketuhanan yang Maha Esa, Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. (KH Achmad Siddiq, 2010 M: 69/70).

 

KH Achmad Siddiq bercerita perihal “pemerasan” Pancasila, Trisila, hingga menjadi Ekasila. Menurutnya, Pancasila mesti dipahami secara utuh dengan pembukaan UUD 1945 agar tidak melahirkan perbedaan persepsi dan ragam penafsiran.

 

“Pada waktu yang lalu, pernah Pancasila diperas menjadi Trisila bahkan menjadi Ekasila (Gotong Royong). Seolah-olah Pancasila dianggap sesuatu yang terlepas kaitannya sebagai satu kesatuan dari pembukaan UUD 1945, batang tubuhnya, dan penjelasannya, sehingga dapat ditafsirkan, diperluas, atau dipersempit makna dan fungsinya.” (KH Achmad Siddiq, 2010 M: 70). Reaksi logis yang timbul dari "pemerasan" itu, kata Kiai Achmad Siddiq, antara lain ialah perbedaan persepsi: (a) Ketika terdengar/terbaca kata Pancasila, terasa seolah-olah terselip ada kegiatan politik praktis di dalamnya. (b) Ketika terdengar/terbaca butir-butir dasar negara secara terperinci satu per satu, terasa betapa luhurnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya…Perbedaan persepsi ini harus diluruskan.

 

Sesungguhnya perumusan nilai-nilai luhur yang dijadikan dasar negara Republik Indonesia sudah tuntas dengan diundangkannya Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Semua pihak harus hanya memahami (memiliki persepsi tentang) dasar negara menurut bunyi dan maknanya yang terkandung pada UUD 1945 (pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya) itu.

 

Kaum muslimin Indonesia (bersama-sama dengan seluruh bangsa Indonesia) juga memikul kewajiban memenuhi kesepakatan bersama itu. (KH Achmad Siddiq, 2010 M: 70).

 

“Kalau kaum muslimin Indonesia (termasuk kaum nahdliyin) menerima dasar negara Republik Indonesia itu, maka dasarnya bukanlah sekadar taktik tetapi berdasar prinsip: (a) Bahwa kaum muslimin Indonesia (melalui para pemimpinnya) ikut aktif dalam perumusan dan kesepakatan tentang dasar negara itu. (b) Bahwa nilai-nilai luhur yang dirumuskan menjadi dasar negara itu dapat disepakati dan dibenarkan menurut pandangan Islam.” (KH Achmad Siddiq, 2010 M: 70/71).

 

KH Achmad Siddiq menjelaskan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia pada makalah berjudul Hubungan Agama dan Pancasila yang disampaikan dalam forum Balitbang Depag RI di Jakarta pada 14-15 Maret 1985.

 

Dalam makalah yang diterbitkan ulang oleh Kesekjenan PBNU pada 2017, Kiai Achmad Siddiq menulis bahwa Pancasila adalah lima butir nilai yang digali, dipilih, dan merupakan kristalisasi dari sekian banyak nilai luhur yang terdapat pada perbendaharaan budaya bangsa Indonesia. Lima butir itu dirangkai dan disepakati bersama menjadi dasar negara ketika kita mendirikan negara Indonesia merdeka.

 

“Tokoh utama bangsa Indonesia yang terkenal sebagai Panitia Sembilan berhasil menyusun rancangan rumusan yang ketika itu disetujui oleh semua pihak dan akan dijadikan sebagai pembukaan Undang-Undang Dasar Negara (Piagam Jakarta) yang kemudian diterima dan disahkan dalam sidang pleno Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 14 Juli 1945. (KH Achmad Siddiq, 2017 M: 13).

 

Materi dan rumusan rancangan pembukaan hukum dasar (Piagam Jakarta) yang disusun dan dirumuskan Panitia Sembilan itu seluruh dan seutuhnya–setelah diadakan perubahan sebagaimana tersebut di atas–maka dapat diterima dan disahkan sebagai pembukaan undang-undang dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. (KH Achmad Siddiq, 2017 M: 14).

 

Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah walau oleh MPR hasil pemilihan umum karena ia mempunyai kedudukan di bawah para pembentuk negara. Oleh karena itu, andai kata MPR hasil pemilu ini mengubah pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, maka berarti membubarkan negara RI, negara Proklamasi 17 Agustus 1945. (KH Achmad Siddiq, 2017 M: 16).

 

Apabila kita menyebut dan menulis Pancasila sebagai dasar negara RI, maka yang dimaksudkan adalah Pancasila yang termuat dan dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, merupakan satu kesatuan yang bulat dan tak terpisah-pisahkan, susunannya adalah hierarkis dan mempunyai bentuk piramidal. (KH Achmad Siddiq, 2017 M: 16).

 

Pada makalah yang sama, Kiai Achmad Siddiq mengatakan bahwa penetapan UUD pada 18 Agustus 1945 dan Dekrit Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 setelah pemberlakuan sekian tahun UUD Sementara 1950 harusnya menyudahi segala bentuk kekhawatiran dan kecurigaan berbagai kelompok. (KH Achmad Siddiq, 2017 M: 19). []

 

(bersambung...)

 

Alhafiz Kurniawan

Pancasila, Trisila, Ekasila dalam Pandangan Sukarno dan KH Achmad Siddiq (Bagian 1)

Masalah Trisila dan Ekasila kembali muncul di tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) pada 2020. Masalah ini kembali menjadi perbincangan publik dengan beragam tafsiran dan kecurigaan dari berbagai kelompok perihal dasar negara. Trisila (tiga sila) sendiri yang terdiri atas nasionalisme, demokrasi, dan ketuhanan adalah perasan dari Pancasila (lima sila). Sedangkan Ekasila yaitu gotong royong adalah perasan dari Trisila.

 

Awal Mula Trisila dan Ekasila

 

Trisila dan Ekasila muncul dari pidato Sukarno pada rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945 ketika para pendiri bangsa mendiskusikan antara lain dasar negara Indonesia. Pada pidato itu, Sukarno menyebutkan Pancasila sebagai prinsip bernegara. Setelah menjelaskan Pancasila, Sukarno menyebutkan secara opsional kepada para hadirin.

 

“Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah perasan yang tiga itu?” (Sukarno, Camkan Pancasila: Pancasila Dasar Falsafah Negara, [Jakarta, Departemen Penerangan RI: 1964 M], halaman 31).

 

Sukarno menyebut rincian trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Ia juga menjelaskan nasionalisme, demokrasi, dan ketuhanan seperti apa yang cocok sebagai prinsip negara Indonesia. Setelah itu, ia kemudian menawarkan perasan trisila menjadi ekasila kepada para anggota sidang.

 

“Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-democratie, dan ketuhanan. Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? (Sukarno, 1964 M: 31). Gotong royong.

 

Menurut Sukarno, kalau memang mau diperas lagi Indonesia dapat berdiri di atas satu prinsip, yaitu gotong royong. Ia berpikir keras untuk memeras tiga sila itu menjadi satu sila yang menjadi pijakan setiap kelompok dalam menegakkan Indonesia Merdeka. Tentu saja hal ini bersifat opsional.

 

“Semua buat semua! jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong.’ Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong (tepuk tangan riuh rendah).” (Sukarno, 1964 M: 31-32).

 

Namun demikian, Trisila dan Ekasila sendiri sebagai dasar negara Indonesia dalam pidato Pancasila Sukarno pada 1 Juni 1945 yang terkenal itu bersifat opsional. Secara sharih Sukarno mengatakan bahwa perasan Pancasila menjadi Trisila, yang kemudian diperas lagi menjadi Ekasila bersifat opsional belaka. Ini menunjukkan kekuatan daya pikir Sukarno dalam menentukan prinsip pokok yang melahirkan Indonesia Merdeka.

 

“Pancasila menjadi Trisila. Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila, ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi.” (Sukarno, 1964 M: 32).

 

Adapun Pancasila yang disebutkan Sukarno pada awal pidatonya adalah kebangsaan, internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan di mana ia mencita-citakan sebuah masyarakat Indonesia yang teguh dalam memegang agamanya masing-masing di satu sisi dan menghargai praktik beragama pemeluk agama lain yang berbeda pada sisi lainnya. Sukarno menyebutnya "bertuhan secara kebudayaan."

 

“Prinsip yang kelima hendaknya: menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa. Prinsip ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoism-agama. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan.” (Sukarno, 1964 M: 29-30). []

 

(bersambung...)

 

Alhafiz Kurniawan

(Ngaji of the Day) Ini Lafal Lengkap Takbir pada Malam dan Hari Raya Id

Berikut ini adalah lafal takbir yang dianjurkan untuk dibaca pada malam dan hari raya id. Takbir dilafalkan sebanyak tiga kali sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’, Syarhul Muhadzdzab:

 

اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ

 

Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar.

 

Artinya, “Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar.”

 

Selain tiga takbir ini, kita menambahkannya dengan zikir sebagai berikut sebagaimana zikir-takbir Rasulullah SAW di bukit Shafa yang diriwayatkan Imam Muslim:

 

اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَلَا نَعْبُدُ اِلَّا اِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُوْنَ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الاَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ

 

Allāhu akbar kabīrā, walhamdu lillāhi katsīrā, wa subhānallāhi bukratan wa ashīlā, lā ilāha illallāhu wa lā na‘budu illā iyyāhu mukhlishīna lahud dīna wa law karihal kāfirūn, lā ilāha illallāhu wahdah, shadaqa wa‘dah, wa nashara ‘abdah, wa hazamal ahzāba wahdah, lā ilāha illallāhu wallāhu akbar.

 

Artinya, “Allah maha besar. Segala puji yang banyak bagi Allah. Maha suci Allah pagi dan sore. Tiada tuhan selain Allah. Kami tidak menyembah kecuali kepada-Nya, memurnikan bagi-Nya sebuah agama meski orang kafir tidak menyukainya. Tiada tuhan selain Allah yang esa, yang menepati janji-Nya, membela hamba-Nya, dan sendiri memorak-porandakan pasukan musuh. Tiada tuhan selain Allah. Allah maha besar.”

 

Adapun lafal takbir yang sering dibaca masyarakat sebagai berikut tidak masalah. Lafal takbir itu cukup baik untuk dibaca.

 

اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

 

Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar. Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar. Allāhu akbar wa lillāhil hamdu.

 

Artinya, “Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar. Tiada tuhan selain Allah. Allah maha besar. Segala puji bagi-Nya.”

 

Imam An-Nawawi menjelaskan sifat takbir pada malam dan hari raya. Imam An-Nawawi menyebut tiga takbir berturut-turut yang dikutip dari Imam As-Syafi‘i dan ulama syafiiyah:

 

صفة التكبير المستحبة الله اكبر الله اكبر الله اكبر هذا هو المشهور من نصوص الشافعي في الام والمختصر وغيرهما وبه قطع الاصحاب

 

Artinya, “Sifat takbir yang dianjurkan, 'Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar.' Ini (takbir 3 kali) yang masyhur dari nash Imam As-Syafi’i dalam Kitab Al-Umm, Al-Mukhtashar, dan selain keduanya. Sifat ini yang dipegang ulama ashab,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz V, halaman 42).

 

Adapun berikut ini adalah penjelasan Imam An-Nawawi terkait lafal takbir yang lazim dibaca oleh masyarakat.

 

قال صاحب الشامل والذي يقوله الناس لا بأس به أيضا وهو الله اكبر الله اكبر الله اكبر لا اله الا الله والله اكبر الله اكبر ولله الحمد

 

Artinya, “Penulis Kitab As-Syamil mengatakan, lafal takbir yang dibaca masyarakat selama ini tidak masalah, yaitu ‘Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar. Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar. Allāhu akbar wa lillāhil hamdu,'” (Lihat Imam An-Nawawi, 2010 M: V/42-43).

 

Sebagian ulama mazhab As-Syafi’i menambahkan lafal takbir berdasarkan pandangan Imam As-Syafi’i pada qaul qadim:

 

اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا اللهُ اَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا وَالحَمْدُ للهِ عَلَى مَا أَوْلَانَا وَأَبْلَانَا

 

Allāhu akbar kabīrā, walhamdu lillāhi katsīrā, Allāhu akbar ‘alā mā hadānā, wal hamdu lilāhi ‘alā mā awlānā wa ablānā.

 

Artinya, “Allah maha besar, segala puji yang banyak bagi Allah. Allah maha besar atas hidayah-Nya kepada kita. Segala puji bagi Allah atas nikmat dan ujian-Nya untuk kita.” Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Musdah Mulia: KH Sanusi Baco, Ulama Berwajah Teduh danBerhati Emas

KH Sanusi Baco, Ulama Berwajah Teduh dan Berhati Emas

Oleh: Musdah Mulia

 

ULAMA berwajah teduh itu telah tiada. Meski sudah agak lama saya mendengar kondisinya kurang sehat, berita kepergian beliau pada Sabtu (15/5) malam tetap saja mengejutkan. Masyarakat Islam Indonesia kehilangan tokoh ulama karismatik, KH Sanusi Baco, Lc. Beliau amat berjasa mengembangkan ajaran Islam yang damai, sejuk, dan membahagiakan.

 

Dakwahnya selalu berisi ajakan peningkatan kualitas iman dan amal saleh, mengedepankan moralitas, serta empati kemanusiaan. Ceramah beliau selalu menarik, dinanti banyak orang dari semua kalangan. Meski bukanlah penceramah yang mampu membuat pendengarnya tertawa terbahak-bahak atau menangis se­senggukan, beliau tidak suka mendramatisir suasana. Kebanyakan orang yang pernah menyimak ceramahnya selalu rindu mendengarkan berulang kali. Tiada lain karena ceramahnya penuh hikmah, menyentuh relung kalbu terdalam.

 

Kiai Sanusi, demikian saya selalu memanggilnya, ialah sosok ulama langka, ucapan dan tindakannya selalu sejalan. Tutur katanya santun dan sarat makna, tak pernah lelah memberikan pelayanan kepada umat, tanpa membeda-bedakan manusia. Semua orang yang datang kepadanya diterima dengan hangat penuh ke­gembiraan. Kualitas keulamaan seorang terutama terletak pada aspek spiritualitas yang tecermin dalam perilaku nyata sehari-hari. Apakah dia memberikan pelayanan kemanusiaan kepada umat atau sebaliknya malah menjadikan umat sebagai pelayan atau sekadar alat pemenuhan kepentingan? Itu sebabnya, predikat ulama sebagai waratsatul anbiyaa (pewaris para nabi) penting selalu dijaga dan dihormati.

 

Pendidikan dalam keluarga


Beliau lahir pada 3 April 1937 di sebuah dusun kecil di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Ayahnya seorang petani bernama Baco Daeng Naba dan Besse Daeng Ratu nama ibunya. Almarhum sering menceritakan kehidupan keluarganya yang sederhana, tapi penuh kehangatan dan cinta kasih. Menurut beliau, pendidikan masa kecil dalam keluarga amatlah berkesan dan hal itu membentuk karakter beliau sekarang. Orangtuanya menanamkan nilai-nilai kejujuran, kasih sayang, solidaritas kepada sesama tanpa memandang latar belakang suku, agama, dan apa pun.

 

Menamatkan pendidikan dasar di Pesantren DDI Mangkoso langsung dari KH Abdurahman Ambo Dalle dan KH Amberi Said. Keduanya dikenal sebagai tokoh pendidik yang berjasa melahirkan kader-kader ulama yang kini tersebar di Nusantara. Selanjutnya, beliau studi ke Fakultas Syariah Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, sambil aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada 1963 beliau mendapat beasiswa dari Kementerian Agama melanjutkan pendidikan ke Fakultas Syariah, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Beliau berangkat ke Mesir bersama 25 pemuda lainnya dari berbagai wilayah Nusantara, di antaranya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Empat tahun di Mesir beliau berhasil menyandang gelar Lc.

 

Kembali ke Makassar ia mengabdi di berbagai perguruan tinggi, antara lain sebagai dosen favorit di UMI dan IAIN Alauddin. Semua mahasiswa yang pernah mengikuti kuliahnya pasti senang dengan metode penyajian yang tenang, tidak membosankan, ada selingan humor, tapi tidak me­­nyinggung perasaan orang lain. Selain sebagai dosen, beliau pun tumbuh menjadi ulama yang sangat disegani karena kelapangan jiwa, terbuka menerima semua kalangan tanpa diskriminasi sedikit pun.

 

Sejumlah jabatan penting pun sempat disandang, antara lain sebagai Ketua MUI Sulawesi Selatan, Rais Syuriah NU Sulsel, Pengurus PBNU, Rektor Universitas Al-Ghazali (UIM), dan seterusnya. Bagi beliau, semua jabat­an hanyalah amanah, tak membuat pongah dan berjarak dengan siapa pun.

 

Guru kemanusiaan Sejati

 

Bagi saya, Kiai Sanusi ialah guru kemanusiaan sejati yang selalu dinantikan kehadirannya pada setiap forum dakwah, hidupnya sangat bersahaja, tak silau kemewahan dan popularitas, teguh memegang prisip serta selalu ramah kepada semua orang. Berada dekat dengannya, jiwa kita merasa damai melihat wajahnya yang teduh, memancarkan aura kasih sayang, serta penuh perhatian.

 

Satu hal yang saya pelajari dari beliau ialah ketulusannya untuk selalu memenuhi setiap undangan. Beliau selalu dinantikan kehadirannya di setiap acara keislaman, bahkan juga pada acara kebangsaan. Demikian pula di berbagai acara keluarga, seperti perkawinan, syukuran kelahiran, dan takziah kematian.  

 

Hidupnya tak pernah sepi dari tugas kemanusiaan, memberikan ceramah dan tausiah; dari kantor ke kantor, dari rumah ke rumah, bahkan tak segan menempuh jarak yang sangat jauh demi memenuhi hajat orang-orang yang mengundangnya. Jangan bertanya soal tarif, sebab itu tak pernah ada dalam kamus hidupnya.

Pertama kali jumpa beliau pada 1975 ketika saya menjadi mahasiswanya di Fakultas Ushuludin UMI. Beliau mengampu mata kuliah ushul fiqh. Kuliahnya terasa renyah dan segar karena diselingi banyak humor dan contoh-contoh kasus berupa realitas sosial yang aneh tapi nyata. Hebat memilih diksi yang tepat sehingga penjelasannya dapat dimengerti dengan mudah, bahkan oleh mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi sekalipun.

 

Sebetulnya, saya sudah sering mendengar tentang beliau jauh sebelum bertemu langsung dengannya. Sebab, ibu saya, Buwaidah Achmad ialah kakak kelas beliau di Pesantren DDI Mangkoso. Mereka berdua ialah murid kesayangan Kiai Amberi Said, sosok pendidik teladan di pesanren tersebut. Ibu merupakan perempuan pertama di desanya yang berhasil menyelesaikan pendidikan pada pesantren tersebut. Ibu sering menuturkan, “Sebagai santri, Sanusi dikenal rajin, mudah bergaul, dan selalu siap membantu. Sejak santri sudah terlihat kebaikan hati dan kebesaran jiwa beliau untuk melayani sesama.”

 

Ramah dan rendah hati

 

Jika organisasi NU berkembang pesat di Indonesia Timur, salah satunya berkat jihad dan dakwah beliau. Kiai Sanusi sangat berjasa membesarkan sekaligus mengawal NU menjadi organisasi Islam yang netral dari berbagai political interest. Sikap beliau yang tulus, santun, dan ramah disenangi banyak orang, merupakan bekal utama dalam mengelola organisasi NU dan memajukannya seperti sekarang.

 

Saya memiliki banyak kenangan bersama beliau dalam aktivitas organisasi. Di masa beliau menjadi Ketua Tanfiziyah NU Wilayah Sulsel, saya menjadi Ketua Fatayat NU, di samping juga sebagai pengurus PMII. Masih segar dalam ingatan saya, di suatu siang beliau menjemput saya di rumah untuk menghadiri konferensi cabang dan Maulid Nabi di Kabupaten Pangkep. Pulang dari sana, saya merasa sangat letih dan tertidur pulas, dan saat terbangun saya amat terkejut melihat beliau pun tertidur sambil menyetir mobil. Entah sudah berapa lama beliau tertidur, herannya mobil kami tetap melaju normal dan terkendali.

 

Secara refleks saya membangunkan beliau, “Pak kiai tidur ya?” Anehnya beliau pun spontan menjawab, “Enaknya saya tidur tadi.” Subhanallah. Sejak itu saya percaya adanya karamah dari Allah SWT, Dia menganugerahkan kepada hamba terpilih.


Saya juga akrab degan istri beliau satu-satunya, Umi Aminah, kami berdua pengurus Muslimat NU. Umi Aminah sering menuturkan kebaikan suami tercinta, “Bapak orangnya sabar sekali, begitu perhatian pada anak-anak dan tidak risih membantu berbagai pekerjaan di rumah. Bapak juga selalu mendorong saya aktif di Muslimat agar lebih mengerti agama dan juga persoalan kemasyarakatan.”

 

Saya beruntung dapat menjenguk Umi Aminah pada hari-hari ter­akhirnya di Rumah Sakit Islam Faisal. Hampir sebulan beliau dirawat dan secara bersamaan ibu saya juga dirawat di sana sehingga saya bisa mampir setiap hari. Saya menyaksikan langsung betapa besar hormat dan cinta Kiai Sanusi kepada istrinya. Hampir di setiap saat beliau ada di samping istrinya, mendoakan dan memberi penghiburan. Sebuah contoh keluarga ideal yang berlimpah sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun, takdir berkata lain, istri tercinta lebih dahulu berpulang ke hadirat-Nya. Setelah 18 tahun ditinggal sang istri, beliau tetap memilih hidup sendiri, menikmati hari tua dalam kedamaian bersama anak dan cucu.

 

Selamat jalan guruku terkasih, engkau telah menunaikan tugas kemanusiaan dengan sebaik-baiknya. Kiprah dan teladanmu akan selalu dikenang sepanjang masa. Wajahmu abadi memancarkan kedamaian dan ketulusan tiada tara. Sang Maha Pengasih telah menyiapkan tempat terindah untukmu di alam sana. Amin. []

 

MEDIA INDONESIA, 19 Mei 2021

Musdah Mulia | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ketua Umum Indonesian Conference on Religions for Peace 

(Ngaji of the Day) Kisah Sahabat Nabi yang Pernah Berjumpa Dajjal

Fathimah ibn Qais meriwayatkan, dalam suatu kesempatan, usai menunaikan shalat berjamaah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam naik minbar seraya tertawa kecil. Terdengar dari kedua bibirnya ucapan, “Kepada semua yang baru saja menunaikan shalat, tetaplah berada di tempat.”

 

Setelah semua sahabat duduk tenang, beliau kemudian mengawali pembicaraannya, “Apakah kalian tahu, mengapa aku kumpulkan kalian?” Mereka menjawab, “Allah dan rasul-Nya tentu lebih mengetahui.”

 

Beliau kemudian melanjutkan, “Demi Allah, aku tidak mengumpulkan kalian untuk sebuah kabar yang menyenangkan atau yang menakutkan. Namun, aku kumpulkan kalian karena Tamim Ad-Dari yang dulunya adalah seorang Nasrani. Kemudian, dia datang berbaiat dan masuk Islam. Selain itu, dia juga menyampaikan sebuah cerita yang sesuai dengan apa yang ingin aku ceritakan tentang Dajjal.”

 

Sekadar informasi tambahan, Tamim Ad-Dari adalah seorang warga Nasrani Palestina yang pernah berjumpa Dajjal dalam salah satu perjalanannya ke Jazirah Arab. Sepulangnya ke rumah, Tamim Ad-Dari berhijrah ke Madinah dan masuk Islam. Setelah berada di Madinah, dia menceritakan kejadian yang dialaminya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

 

Mendapat kabar tersebut, beliau lantas mengumpulkan para sahabat dan menyampaikannya kepada mereka. Dengan demikian, tak perlu diragukan lagi bahwa kisah ini benar dan sahih. Jika tidak, tentu beliau tidak akan menyampaikannya kepada para sahabatnya. Sebab, Allah pun tidak ridha jika rasul-Nya menyebarkan berita bohong. Di samping itu, tidak ada celah sedikit pun bagi Tamim Ad-Dari untuk berbohong di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meneruskan kisahnya, “Tamim bercerita bahwa pada suatu ketika dirinya menaiki kapal laut bersama tiga puluh orang dari kabilah Lakhm dan Judzam. Selama satu bulan lamanya, mereka terombang-ambing di atas gelombang lautan. Sampai akhirnya mereka berlabuh di sebuah pulau yang ada di tengah lautan menjelang matahari terbenam. Mereka duduk tak jauh dari kapal. Beberapa waktu kemudian, mereka masuk ke dalam pulau dan menjumpai sebuah hewan yang berbulu lebat. Saking lebat bulunya hewan tersebut, mereka tidak tahu mana kubul dan mana duburnya. Mereka kemudian memberanikan diri berkata kepada hewan tadi, ‘Celakalah, hewan apa engkau?’ Anehnya, hewan itu bisa menjawab, ‘Aku adalah Al-Jassasah.’ Mereka kembali bertanya, ‘Apa itu hewan Al-Jassasah?’ Si hewan berkata, ‘Wahai kaum, pergilah kalian kepada seorang laki-laki yang berada di sebuah gereja. Sebab, dia sangat merindukan kabar kalian’.”

 

Seperti yang dikisahkan Rasulullah, Tamim menuturkan, “Setelah hewan tersebut menyebutkan seorang laki-laki kepada kami, kami menjadi takut. Jangan-jangan hewan itu adalah setan. Meski demikian, kami penasaran dan segera pergi menuju gereja yang ditunjukkan hewan tadi. Begitu sampai, ternyata benar di dalam gereja sudah ada sosok manusia terbesar sejauh yang pernah kami lihat. Dia diikat dengan kuat. Sedangkan kedua tangannya disimpan di tengkuknya. Dari kedua lutut sampai mata kakinya terikat dengan besi. Kala itu, kami bertanya, ‘Celakalah, siapakah kau?’ Manusia raksasa itu menjawab, ‘Kalian sudah bisa mengetahui kabarku, sekarang sampaikankah kepadaku, siapakah kalian?’”

 

Rombongan Tamim Ad-Dari menjawab, “Kami semua adalah orang Arab. Kami berlayar dengan sebuah kapal. Tiba-tiba kami dihadang ombak dan gelombang. Kami pun terombang-ambing selama satu bulan. Sampai akhirnya, kami berlabuh di pulaumu ini. Tiba-tiba, kami berjumpa dengan seekor hewan yang lebat bulunya dan ia meminta untuk ke sini menemuimu.

 

Sebab, tuturnya, kau begitu merindukan kabar kami, sehingga kami pun segera menemuimu.” Laki-laki itu berkata, “Sekarang sampaikanlah kepadaku tentang kurma Baisan.” Dituturkan oleh Tamim Ad-Dari, “Kami balik bertanya, ‘Tentang apanya yang ingin engkau tanyakan?’

 

‘Yang aku tanyakan kepada kalian, apakah kurma itu masih berbuah?’

 

‘Masih.’

 

‘Andai kurma itu nyaris tak berbuah. Sekarang sampaikanlah kepadaku tentang danau Ath-Thabariyyah.’

 

‘Tentang apanya yang ingin engkau tanyakan?’

 

‘Apakah ia masih terisi air?’

 

‘Danau itu masih banyak airnya.’

 

‘Sekiranya air danau itu sudah hampir kering,’ ucap si laki-laki.”

 

Laki-laki itu kembali bertanya, “Sekarang kabarkanlah kepadaku tentang sumur Zughar.”

 

“Tentang apanya yang ingin engkau tanyakan?” tanya mereka.

 

“Apakah sumur itu masih ada airnya? Apakah warga sekitar masih bercocok tanam dengan air sumur tersebut?”

 

Rombongan Tamim Ad-Dari menjawab, “Masih. Bahkan, airnya masih banyak dan para penduduk masih berladang dengan airnya.”

 

Laki-laki dalam gereja itu kembali menanyakan pertanyaan lainnya, “Lalu kabarkanlah kepadaku tentang nabi orang-orang Arab? Apa yang telah dia lakukan? Dia lahir di Makkah dan hijrah ke Madinah. Apakah nabi itu diperangi oleh orang-orang Arab?”

 

“Betul,” jawab kawan-kawan Tamim Ad-Dari.

 

“Lalu apa yang dia lakukan terhadap orang-orang Arab?”

 

Kawan-kawan Tamim Ad-Dari pun mengabarkan sejelas-jelasnya bahwa sang nabi telah muncul di tengah masyarakat Arab dan ditaati oleh mereka.

 

Terdengar si laki-laki bertanya lagi, “Apakah itu sudah terjadi?”

 

“Benar,” tegas mereka.

 

“Nabi itu lebih bagus bagi mereka jika mereka menaatinya. Karena itu, dia memberitahu kalian tentangku. Sesungguhnya, aku ini Al-Masih Dajjal. Aku hampir saja diizinkan keluar. Setelah keluar, aku akan berjalan di muka bumi. Tidaklah aku biarkan satu kampung pun kecuali akan aku singgahi dalam empat puluh hari selain kota Makkah dan Madinah. Keduanya diharamkan kepadaku. Setiap kali aku akan masuk ke dalam keduanya atau masuk ke dalam salah satunya, aku dihadapi satu malaikat dengan pedang terbungkus sarung di tangannya, yang siap dihunuskan untuk menghalangiku. Setiap jalan bukit yang ada di kota itu akan ada malaikat yang menjaganya.”

 

Di akhir kisahnya, perawi hadits ini, yakni Fathimah binti Qais menambahkan, “Sambil mengetuk minbar dengan tongkat, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ini baik…ini baik…ini baik…’ Maksudnya Madinah. Beliau memungkas kisahnya, ‘Bukankah aku telah menyampaikan hal itu kepada kalian?’ Para sahabat menjawab, ‘Benar.’ Beliau kembali bersabda, ‘Sungguh mengagumkanku cerita Tamim ini! Ceritanya sesuai dengan yang ingin aku sampaikan kepada kalian tentang Dajjal, Makkah, dan Madinah. Ingatlah, Dajjal itu berada di laut Syam atau di laut Yaman. Ia datang dari arah timur. Dari arah timur. Dari timur!’

 

Beliau mengatakan demikian sambil memberi isyarat ke arah timur.” Terakhir, Fathimah binti Qais berkomentar, “Ini yang aku hafal dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”

 

Demikian kisah yang disarikan dari hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya, tepatnya dalam “Kitab al-Fitan wa Asyrath al-Sa‘ah, Bab Qishah A-Jasasah,” nomor hadis 2942. Wallahu ‘alam. []

 

Sumber: NU Online