KH Sanusi Baco, Ulama
Berwajah Teduh dan Berhati Emas
Oleh:
Musdah
Mulia
ULAMA berwajah teduh
itu telah tiada. Meski sudah agak lama saya mendengar kondisinya kurang sehat,
berita kepergian beliau pada Sabtu (15/5) malam tetap saja mengejutkan.
Masyarakat Islam Indonesia kehilangan tokoh ulama karismatik, KH Sanusi Baco,
Lc. Beliau amat berjasa mengembangkan ajaran Islam yang damai, sejuk, dan
membahagiakan.
Dakwahnya selalu berisi
ajakan peningkatan kualitas iman dan amal saleh, mengedepankan moralitas, serta
empati kemanusiaan. Ceramah beliau selalu menarik, dinanti banyak orang dari
semua kalangan. Meski bukanlah penceramah yang mampu membuat pendengarnya
tertawa terbahak-bahak atau menangis sesenggukan, beliau tidak suka
mendramatisir suasana. Kebanyakan orang yang pernah menyimak ceramahnya selalu
rindu mendengarkan berulang kali. Tiada lain karena ceramahnya penuh hikmah,
menyentuh relung kalbu terdalam.
Kiai Sanusi, demikian
saya selalu memanggilnya, ialah sosok ulama langka, ucapan dan tindakannya
selalu sejalan. Tutur katanya santun dan sarat makna, tak pernah lelah
memberikan pelayanan kepada umat, tanpa membeda-bedakan manusia. Semua orang
yang datang kepadanya diterima dengan hangat penuh kegembiraan. Kualitas
keulamaan seorang terutama terletak pada aspek spiritualitas yang tecermin
dalam perilaku nyata sehari-hari. Apakah dia memberikan pelayanan kemanusiaan
kepada umat atau sebaliknya malah menjadikan umat sebagai pelayan atau sekadar
alat pemenuhan kepentingan? Itu sebabnya, predikat ulama sebagai waratsatul
anbiyaa (pewaris para nabi) penting selalu dijaga dan dihormati.
Pendidikan
dalam keluarga
Beliau lahir pada 3 April 1937 di sebuah dusun kecil di Kabupaten Maros,
Sulawesi Selatan. Ayahnya seorang petani bernama Baco Daeng Naba dan Besse
Daeng Ratu nama ibunya. Almarhum sering menceritakan kehidupan keluarganya yang
sederhana, tapi penuh kehangatan dan cinta kasih. Menurut beliau, pendidikan
masa kecil dalam keluarga amatlah berkesan dan hal itu membentuk karakter
beliau sekarang. Orangtuanya menanamkan nilai-nilai kejujuran, kasih sayang,
solidaritas kepada sesama tanpa memandang latar belakang suku, agama, dan apa
pun.
Menamatkan pendidikan
dasar di Pesantren DDI Mangkoso langsung dari KH Abdurahman Ambo Dalle dan KH
Amberi Said. Keduanya dikenal sebagai tokoh pendidik yang berjasa melahirkan
kader-kader ulama yang kini tersebar di Nusantara. Selanjutnya, beliau studi ke
Fakultas Syariah Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, sambil aktif di
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada 1963 beliau mendapat beasiswa
dari Kementerian Agama melanjutkan pendidikan ke Fakultas Syariah, Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir. Beliau berangkat ke Mesir bersama 25 pemuda lainnya
dari berbagai wilayah Nusantara, di antaranya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan
KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Empat tahun di Mesir beliau berhasil menyandang
gelar Lc.
Kembali ke Makassar ia
mengabdi di berbagai perguruan tinggi, antara lain sebagai dosen favorit di UMI
dan IAIN Alauddin. Semua mahasiswa yang pernah mengikuti kuliahnya pasti senang
dengan metode penyajian yang tenang, tidak membosankan, ada selingan humor,
tapi tidak menyinggung perasaan orang lain. Selain sebagai dosen, beliau pun
tumbuh menjadi ulama yang sangat disegani karena kelapangan jiwa, terbuka
menerima semua kalangan tanpa diskriminasi sedikit pun.
Sejumlah jabatan
penting pun sempat disandang, antara lain sebagai Ketua MUI Sulawesi Selatan,
Rais Syuriah NU Sulsel, Pengurus PBNU, Rektor Universitas Al-Ghazali (UIM), dan
seterusnya. Bagi beliau, semua jabatan hanyalah amanah, tak membuat pongah dan
berjarak dengan siapa pun.
Guru
kemanusiaan Sejati
Bagi saya, Kiai Sanusi
ialah guru kemanusiaan sejati yang selalu dinantikan kehadirannya pada setiap
forum dakwah, hidupnya sangat bersahaja, tak silau kemewahan dan popularitas,
teguh memegang prisip serta selalu ramah kepada semua orang. Berada dekat
dengannya, jiwa kita merasa damai melihat wajahnya yang teduh, memancarkan aura
kasih sayang, serta penuh perhatian.
Satu hal yang saya
pelajari dari beliau ialah ketulusannya untuk selalu memenuhi setiap undangan.
Beliau selalu dinantikan kehadirannya di setiap acara keislaman, bahkan juga
pada acara kebangsaan. Demikian pula di berbagai acara keluarga, seperti
perkawinan, syukuran kelahiran, dan takziah kematian.
Hidupnya tak pernah
sepi dari tugas kemanusiaan, memberikan ceramah dan tausiah; dari kantor ke
kantor, dari rumah ke rumah, bahkan tak segan menempuh jarak yang sangat jauh
demi memenuhi hajat orang-orang yang mengundangnya. Jangan bertanya soal tarif,
sebab itu tak pernah ada dalam kamus hidupnya.
Pertama kali jumpa
beliau pada 1975 ketika saya menjadi mahasiswanya di Fakultas Ushuludin UMI.
Beliau mengampu mata kuliah ushul fiqh. Kuliahnya terasa renyah dan segar
karena diselingi banyak humor dan contoh-contoh kasus berupa realitas sosial
yang aneh tapi nyata. Hebat memilih diksi yang tepat sehingga penjelasannya
dapat dimengerti dengan mudah, bahkan oleh mereka yang tidak mengenyam
pendidikan tinggi sekalipun.
Sebetulnya, saya sudah
sering mendengar tentang beliau jauh sebelum bertemu langsung dengannya. Sebab,
ibu saya, Buwaidah Achmad ialah kakak kelas beliau di Pesantren DDI Mangkoso.
Mereka berdua ialah murid kesayangan Kiai Amberi Said, sosok pendidik teladan
di pesanren tersebut. Ibu merupakan perempuan pertama di desanya yang berhasil
menyelesaikan pendidikan pada pesantren tersebut. Ibu sering menuturkan,
“Sebagai santri, Sanusi dikenal rajin, mudah bergaul, dan selalu siap membantu.
Sejak santri sudah terlihat kebaikan hati dan kebesaran jiwa beliau untuk
melayani sesama.”
Ramah
dan rendah hati
Jika organisasi NU
berkembang pesat di Indonesia Timur, salah satunya berkat jihad dan dakwah
beliau. Kiai Sanusi sangat berjasa membesarkan sekaligus mengawal NU menjadi
organisasi Islam yang netral dari berbagai political interest. Sikap beliau
yang tulus, santun, dan ramah disenangi banyak orang, merupakan bekal utama
dalam mengelola organisasi NU dan memajukannya seperti sekarang.
Saya memiliki banyak
kenangan bersama beliau dalam aktivitas organisasi. Di masa beliau menjadi
Ketua Tanfiziyah NU Wilayah Sulsel, saya menjadi Ketua Fatayat NU, di samping
juga sebagai pengurus PMII. Masih segar dalam ingatan saya, di suatu siang
beliau menjemput saya di rumah untuk menghadiri konferensi cabang dan Maulid
Nabi di Kabupaten Pangkep. Pulang dari sana, saya merasa sangat letih dan tertidur
pulas, dan saat terbangun saya amat terkejut melihat beliau pun tertidur sambil
menyetir mobil. Entah sudah berapa lama beliau tertidur, herannya mobil kami
tetap melaju normal dan terkendali.
Secara refleks saya
membangunkan beliau, “Pak kiai tidur ya?” Anehnya beliau pun spontan menjawab,
“Enaknya saya tidur tadi.” Subhanallah. Sejak itu saya percaya adanya karamah
dari Allah SWT, Dia menganugerahkan kepada hamba terpilih.
Saya juga akrab degan istri beliau satu-satunya, Umi Aminah, kami berdua
pengurus Muslimat NU. Umi Aminah sering menuturkan kebaikan suami tercinta,
“Bapak orangnya sabar sekali, begitu perhatian pada anak-anak dan tidak risih
membantu berbagai pekerjaan di rumah. Bapak juga selalu mendorong saya aktif di
Muslimat agar lebih mengerti agama dan juga persoalan kemasyarakatan.”
Saya beruntung dapat
menjenguk Umi Aminah pada hari-hari terakhirnya di Rumah Sakit Islam Faisal.
Hampir sebulan beliau dirawat dan secara bersamaan ibu saya juga dirawat di
sana sehingga saya bisa mampir setiap hari. Saya menyaksikan langsung betapa
besar hormat dan cinta Kiai Sanusi kepada istrinya. Hampir di setiap saat
beliau ada di samping istrinya, mendoakan dan memberi penghiburan. Sebuah contoh
keluarga ideal yang berlimpah sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun, takdir
berkata lain, istri tercinta lebih dahulu berpulang ke hadirat-Nya. Setelah 18
tahun ditinggal sang istri, beliau tetap memilih hidup sendiri, menikmati hari
tua dalam kedamaian bersama anak dan cucu.
Selamat jalan guruku
terkasih, engkau telah menunaikan tugas kemanusiaan dengan sebaik-baiknya.
Kiprah dan teladanmu akan selalu dikenang sepanjang masa. Wajahmu abadi
memancarkan kedamaian dan ketulusan tiada tara. Sang Maha Pengasih telah
menyiapkan tempat terindah untukmu di alam sana. Amin.
[]
MEDIA
INDONESIA, 19
Mei 2021
Musdah Mulia | Guru
Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ketua Umum Indonesian Conference on
Religions for Peace