Oleh: Alissa Wahid
Beberapa hari lalu, Zaskia Adya Mecca mengunggah sebuah video suara penyeru sahur pada pagi buta di akun media sosialnya. Dalam video itu tergambar penyeruan dilakukan dengan suara kencang diimbuhi senda gurau. Zaskia memprotes hal ini, dengan menyebutnya sebagai hal yang kurang etis dan ia pun bertanya apakah hal ini tidak mengganggu orang-orang yang tidak perlu bersahur. Oleh karena postingannya tersebut, Zaskia menuai dua reaksi: dukungan dan hujatan.
Dukungan disampaikan dengan alasan yang berbeda-beda, di antaranya oleh mereka yang merasa Zaskia menjadi saluran kegelisahan mereka selama ini terhadap praktik-praktik sejenis. Mereka meyakini bahwa penyeruan sahur bergaya seperti ini sebagai tidak peka keadaan dan tidak menghormati kebutuhan yang berbeda-beda.
Di sisi lain, hujatan disampaikan dengan argumentasi bahwa penyeruan sahur seperti ini adalah tradisi dan kearifan lokal yang sudah lama berlangsung dan tidak pernah dipersoalkan. Argumentasi lainnya adalah karena Islam adalah kelompok mayoritas, sudah sepantasnya yang tidak bersahur menghormati kebutuhan umat Islam yang hanya satu tahun satu kali.
Argumentasi terakhir soal hormat-menghormati kerap memicu perdebatan. Siapa yang seharusnya dihormati, siapa yang seharusnya menghormati? Bagaimana cara menentukan siapa yang berhak untuk menghormati atau dihormati? Akhirnya tak terhindarkan, muncul dorongan untuk saling menuntut pihak lain atas apa yang dianggap sebagai haknya.
Dalam dunia psikologi, ini dikenal dengan konsep rasa berhak (sense of entitlement). Biasanya sense of entitlement ini berangkat dari kesadaran atas posisi dan peran dalam konteks organisasi, sosial, ataupun politik. Psikolog Jasbindar Singh mengatakan, dalam hal ini, Siapa Saya (Who I Am) lebih kuat daripada Tindakan Saya (What I Do).
Alih-alih mengukur diri dari performa, kapasitas, atau kredibilitasnya, individu menuntut perlakuan tertentu karena label yang melekat pada dirinya tersebut. Bisa karena jabatan yang dihuninya, karena popularitasnya, atau karena kelompok afiliasinya.
Soal rasa berhak atau sense of entitlement ini memang tak hanya terjadi dalam drama TOA. Kisah-kisah para pejabat negara atau wakil rakyat yang menuntut pelayanan istimewa adalah hal yang sangat sering kita dengar. Dalam masyarakat dengan sistem patriarkal, seorang suami merasa mempunyai hak berkuasa atas istrinya karena kelaki-lakiannya, dan ini beresonansi sampai ruang publik di mana perempuan dan laki-laki pada posisi jabatan yang sama bisa menerima remunerasi yang berbeda karena jenis kelaminnya belaka.
Rasa berhak muncul dalam sikap egosentris dan hanya mampu melihat dari sudut pandangnya saja. Individu menuntut diperlakukan berbeda dengan orang lain. Akibatnya, sikap semena-mena dan mau menang sendiri pun mewujud dalam perilaku tidak peduli pada kepentingan orang lain, bahkan tidak peduli pada aturan yang berlaku. Contohnya, berita-berita viral di media tentang anggota TNI atau anggota Polri yang bersikap seenaknya di jalan raya karena rasa berhak ini.
Menguatnya rasa berhak adalah sebuah fenomena global. Di Amerika Serikat, kekerasan rasial terhadap warga Tionghoa meningkat drastis sejak pandemi berawal, dengan narasi warga Tionghoa tidak berhak menjadi warga AS. Kekerasan rasial terhadap masyarakat Amerika-Afrikan juga belum dapat sepenuhnya dihilangkan. Faktor utamanya adalah rasa berhak yang menghinggapi kaum kulit putih melalui sikap supremasi kulit putih (white supremacy).
Bahkan, beberapa riset mutakhir menunjukkan perubahan per generasi, dengan generasi milenial memiliki tingkat rasa berhak yang lebih tinggi dibandingkan dengan generasi-generasi seniornya. Diyakini, ini muncul dari konsep diri yang berlebihan (inflated sense of self) ditambah kurangnya ruang interaksi nyata karena kuatnya interaksi di dunia maya sehingga konsep diri yang tak laras tersebut tak memiliki ruang tumbuh yang memadai.
Di akarnya, ditengarai rasa berhak ini dipengaruhi proses pengasuhan yang kurang seimbang. Pola pengasuhan baru yang berfokus pada anak sering disalahpahami menjadi meninggikan anak. Pujian berlebihan tanpa sikap kritis dan membangun kesadaran diri yang sehat membuat anak terbiasa meletakkan dirinya sebagai pusat kehidupannya (self-centeredness) tanpa menyeimbangkannya dengan kehadiran orang-orang lain di sekitarnya.
Proses ini membuat banyak individu tidak terbiasa menimbang kebutuhan orang lain atau kepentingan bersama. Ia lebih sibuk berpikir tentang haknya daripada berpikir tentang hak orang lain. Maka, cerita tentang orang yang berutang marah saat ditagih utangnya menjadi bukti anekdotal tentang bagaimana kita berada dalam zaman wolak-walik ini.
Dalam ruang hidup bersama, kita bisa membayangkan bila semakin banyak orang yang hidup dalam mode rasa berhak berlebihan ini. Dalam konteks masyarakat sosio-sentris, seperti Indonesia, atribut kelompok berpotensi menjadi sumber rasa berhak. Semakin berbahaya ketika ini terjadi dalam konteks sosial, budaya, dan politik. Diskriminasi, sentimen kebencian dalam kontestasi kekuasaan, favoritisme dalam pengambilan kebijakan menjadi mudah terjadi, dan berujung pada pelanggaran hak masyarakat yang lebih lemah.
Bisa kita bayangkan seperti apa Indonesia apabila ratusan kelompok suku dan kelompok masyarakatnya merasa lebih berhak atas Tanah Air ini dibandingkan dengan lainnya? []
KOMPAS, 2 Mei 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar