Ranah Minang, ABS-SBK-AM-SM, dan Kebanggaan Semu (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Adalah sastrawan tenar AA Navis (1924-2003), yang pertengahan abad ke-20 menerbitkan novel "Robohnya Surau Kami" (RSK), antologi yang memuat 10 cerpen.
Di antara cerpen yang 10 itu, RSK paling menggigit dan menyentak perhatian publik sekaligus melambungkan nama Navis di langit sastra Indonesia. Navis adalah sastrawan nasional tetapi tetap betah tinggal di ranah Minang sampai wafat.
Saya yang bukan sastrawan ini, rasanya sulit menetap di bumi beradat itu, sekalipun rindu kepadanya tidak pernah pupus. Berlaku di sini sebuah keganjilan: rindu ranah, tetapi bukan untuk menetap lama di sana.
Karena RSK telah banyak dikaji orang bahkan sampai sekarang, saya hanya menyinggung selintas dalam tulisan ini. Dalam RSK, Navis membuka sebuah titik kelabu dalam cara beragama yang selama ini banyak ditutupi.
Sebuah cara pandang baru yang keluar dari kotak (out of the box) lewat novelnya. Di dalamnya, dibidik kaitan agama dengan tanggung jawab sosial seseorang. Beragama tanpa hirau kepentingan masyarakat luas, bukanlah ajaran Islam sesungguhnya.
Kesalehan pribadi tak boleh melupakan kesalehan sosial. Sikap egoisme beragama yang dipercayai sebagai kebenaran ditembak di tempat oleh RSK. Tidak jarang dengan metafora sinisme.
Demikianlah sosok si kakek, seorang garin, ahli asah pisau, dalam RSK itu digambarkan seluruh hidupnya dihabiskan untuk kepentingan surau yang dijaga dan dirawatnya dengan baik.
Siang malam si kakek setia tinggal di situ. Ia tak memikirkan kawin, apalagi punya anak. Napasnya yang naik turun semata-mata diabdikan untuk beribadah dan mengabdi kepada Tuhan, demi surga yang dijanjikan.
Namun, paham agama yang menancap di hati kakek justru membawanya kepada situasi ketergantungan yang dipersoalkan dengan tajam oleh Navis. Hidupnya dari belas kasihan dan sedekah masyarakat karena dia tak punya mata pencarian tetap.
Namun, bagi kakek, demikian itu cara beragama yang benar yang harus dijalani. Sebagai sastrawan berbakat, Navis dengan bahasa yang lancar mengalir membongkar peta sosial keagamaan dengan menjadikan kasus di ranah Minang sebagai titik berangkat.
Si kakek tua yang taat itu, akhirnya menggorok lehernya dengan pisau cukur setelah mendengar cerita Ajo Sidi tentang Haji Saleh yang seluruh hidupnya juga hanya beribadah, serupa kakek. Ajo Sidi pembual nakal. Tak dipertimbangkannya kemungkinan akibat buruk bualannya itu.
Bualan Ajo Sidi sangat memukul iman kakek. Batinnya terluka berat. Dia jadi oleng. Haji Saleh yang taat itu, ternyata dimasukkan ke neraka karena mengabaikan tanggung jawab sosialnya selama hidup di dunia.
RSK adalah drama kehidupan yang berujung tragis. Pemahaman agama yang tidak berimbang dapat memicu bencana. Menurut paham ini, untuk meraih surga yang dibayangkan itu tidak memerlukan kerja keras di muka bumi.
Cukup dengan ibadah dan doa di surau tua, tempat si kakek menghabiskan hari-harinya yang panjang, sampai kedatangan Ajo Sidi yang membuat semuanya jadi lintang-pukang dan berantakan.
Melalui RSK, si kakek sebelum bunuh diri bertutur tentang filosofi hidupnya: “Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wa Taala.”
Hidup dari belas kasihan orang lain itu dilakukan atas nama Tuhan. Boleh jadi si kakek tidak pernah baca ayat 24 surat al-Anfal ini, “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan rasul, apabila ia [rasul] telah memanggilmu kepada apa yang menghidupkan kamu.”
(Dan, mohon izinkan jeda sebentar. Hati kecil saya sebenarnya simpati kepada si kakek yang sampai bunuh diri itu, tetapi karena menyangkut pemahaman agama yang perlu diluruskan, maka tulisan ini harus dilanjutkan).
Hamka menafsirkan makna hidup dalam ayat ini: “Sebab segala perintah yang diturunkan Allah kepada kita ialah untuk membuat supaya kita hidup. Yaitu hidup yang sesuai dengan kita sebagai manusia…Kadang-kadang ada orang yang berusia sampai seratus tahun, tetapi hidupnya kosong, sama dengan mati…Sebaliknya ada orang yang tewas karena mempertahankan nilai hidup, maka hiduplah dia berpuluh bahkan beratus tahun, walaupun badannya telah hancur di dalam tanah.” (Lih. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz IX. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, hlm. 282).
RSK adalah peta sosial keagamaan yang getir dan pahit, sebagaimana dilihat Navis, bukan saja untuk ranah Minang, tetapi bidikan itu juga dialamatkan untuk Indonesia secara keseluruhan.
Alam Indonesia yang kaya raya di sekitar katulistiwa yang ramah dan nyaman, tetapi mengapa kantong-kantong kemiskinan masih saja bertebaran di mana mana.
Ketimpangan pendapatan masyarakat belum teratasi sampai hari ini. Tanggung jawab sosial manusia Indonesia, termasuk pemerintah, dinilai sangat lemah. Si kakek adalah bentuk ekstrem. Agama hanya dipahami untuk kepentingan akhirat, sementara di dunia jadi paria, penerima sedekah. []
REPUBLIKA, 20 April 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar