Rezim Pendidikan dan Penelitian
Oleh: Yudi Latif
Pendidikan itu bukan hanya memupuk kemampuan mengetahui (knowledge) dan membuat (skill), namun yang lebih mendasar keistimewaan dalam berbuat (virtues).
Fungsi pendidikan dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi harus didasari pendidikan nilai dan karakter sebagai modal sosial dan modal moral dalam rangka melahirkan manusia berbudi luhur sebagai bekal menjadi warga negara dan warga dunia yang baik. Aristoteles mengingatkan, “Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali.”
Ditambahkan CS Lewis, “Pendidikan tanpa nilai, seberapa pun manfaatnya, tampaknya hanya akan melahirkan iblis yang pintar.” Kecuali jika pengetahuan bisa ditransformasikan menjadi kebijaksanaan dan kebijaksanaan diekspresikan dalam karakter, pendidikan merupakan usaha kemubaziran yang destruktif.
Dengan demikian, pendidikan harus dimulai dari usaha humanisasi melalui penanaman nilai luhur akhlak-karakter. Kebajikan akhlak-karakter merupakan buah pembudayaan kebijaksanaan praktis (phronesis). Peserta didik dilatih secara fokus mengasah kemampuan bertindak, memilih dan merancang tujuan moral hidupnya secara baik dan benar, di bawah arahan pendidik kapabel.
Dalam usaha tersebut, keteladanan lebih efektif daripada berbusa omongan kosong, apalagi bohong. Bagaimana mungkin peserta didik bisa melatih kebijaksanaan praktis bila pendidiknya tak menunjukkan suri tauladan, dan pengampu kebijakan pendidikannya sering melakukan klarifikasi berbagai kekeliruan elementer yang merefleksikan kekurangan integritas dalam kesungguhan dan ketelitian berbuat.
Lebih dari itu, bagaimana mungkin komunitas kependidikan bisa yakin sektor pendidikan dan penelitian merupakan fokus pembangunan, bila terkuak aneka inkonsistensi antara yang disuarakan (voices) dengan pilihan kebijakan dan orang (choices).
Peta jalan pendidikan
Berbagai inkonsistensi itu tercermin dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Dalam konsideran tentang perubahan teknologi, sosiokultural, dan lingkungan, bisa kita temukan berbagai defisiensi.
Dalam mengargumentasikan tantangan disrupsi teknologi, penglihatannya lebih tertuju pada dampak perubahan teknologis terhadap bidang kehidupan pekerjaan dan keteknikan, sehingga jawaban terhadap tantangan ini lebih menekankan kecakapan teknis (literasi teknologis) peserta didik.
Dalam mengargumentasikan perubahan sosio-kultural, pusat perhatiannya lebih tertuju pada kelas menengah, urbanisasi dan mobilitas tenaga kerja. Konsekuensinya, masyarakat pedesaan, terpinggir dan terbelakang seakan di luar imajinasi tantangan pendidikan.
Dilupakan bahwa selain harus merespons tantangan disrupsi teknologi, kita juga harus terus memperjuangkan emansipasi dengan memerhatikan tingkat peradaban industrial Indonesia secara keseluruhan. Saat kita terobsesi membincangkan kehadiran era industri 4.0, kita lupa masih ada lapisan masyarakat Indonesia yang bahkan belum memasuki tahap industri 1.0.
Dengan kata lain, perhatian tak boleh hanya tertuju pada kalangan menengah atas yang memiliki akses terhadap teknologi baru, tapi juga harus secara serius meningkatkan taraf teknologis kelompok tertinggal. Hal ini penting karena dalam iringan kereta berkuda, kecepatan lari kereta berkuda tak ditentukan oleh kuda yang larinya paling kencang, tetapi oleh kuda yang larinya paling lambat.
Dilupakan juga, setiap perkembangan teknologi memiliki dampak positif dan negatifnya bagi kehidupan sosial. Membicarakan dampak perubahan teknologi seharusnya tak cukup memerhatikan pengaruhnya pada bidang pekerjaan-keteknikan secara terpukau dengan “janji-janji” kemajuannya. Harus juga dilihat konsekuensi etis dan mentalitasnya.
Pada masa ketika disrupsi jadi normalitas, segala sesuatu yang tak bisa didigitalisasi justru menjadi kian penting. Dengan artificial intelligence, big data dan connectivity, hal-hal yang bersifat teknis-taktikal bisa dikerjakan mesin.
Pendidikan harus bisa melihat kelebihan manusia atas mesin, yakni kemampuan melihat hutan secara keseluruhan, ketimbang melihat satuan-satuan pohon. Peserta didik tak cukup dibekali kecakapan teknis, tetapi juga kemampuan berpikir strategis dan analitis-sintesis dengan wawasan mental lebih holistik.
Seperti diingatkan Gerd Leonhard dalam film Change, pendidikan di era disrupsi teknologis harus lebih memberikan perhatian pada sesuatu di luar jangkauan mesin. Kreativitas, imajinasi, intuisi, emosi, etika jadi fokus perhatian. Mesin memang bagus dalam simulasi, namun tidak dalam proses "menjadi". Teknologi merepresentasikan "bagaimana" berubah, tapi tidak soal "mengapa".
Pendidikan harus memberikan kapabilitas agar manusia bisa melampaui jangkauan teknologi dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan dan kebijaksanaan. Peserta didik harus menguasai cara kerja baru dengan kemampuan untuk mendekap teknologi, bukan membuat diri jadi mesin. Dengan teknologi, mereka harus bisa menemukan “rumah” (home), bukan menjerumuskan mereka ke “tempat pengasingan” (exile).
Praktik terbaik visi pendidikan yang berwawasan nilai-budaya malah tercermin pada repelita China, yang taraf penguasaan teknologinya umumnya di atas Indonesia.
Menurut Richard Black, perwakilan Schiller Institute di PBB, program repelita China mencanangkan pemberantasan kemiskinan ekstrem, melalui model pembangunan khas China, yang lebih menekankan kualitas ketimbang kuantitas seperti PDB. Caranya dengan memadukan kreativitas-inovasi dengan penguatan nilai budaya. Sekitar 10 persen PDB dialokasikan untuk inovasi berbasis budaya, melalui penguatan sarana-prasarana dan pendidikan seni-budaya.
Dalam mengargumentasikan perubahan lingkungan, Peta Jalan Pendidikan lebih tertuju pada perubahan lingkungan fisik, seperti energi dan air. Dilupakan dampak globalisasi terhadap lingkungan sosial-budaya seperti perembesan berbagai ideologi trans-nasional yang mengarah pada pluralisasi dan konflik nilai.
Dilupakan juga perubahan lingkungan geo-stragis yang menempatkan Indonesia sebagai medan pertempuran dari konflik global di masa depan. Dengan melupakan hal-hal di luar lingkungan fisik, Peta Jalan Pendidikan kurang mampu menemukan basis argumen mengapa pendidikan Pancasila, kewargaan, multikulturalisme, keagamaan inklusif, perdamaian dan kemandirian kian penting dimasukkan ke kurikulum pendidikan.
Mempersoalkan rezim penelitian
Tatkala rezim pendidikan masih limbung dalam mendefinisikan substansi, orientasi dan strategi pendidikan, beban baru bertubi-tubi ditimpakan. Belum selesai urusan penggabungan kelembagaan pendidikan tinggi, tiba-tiba ditambah beban baru dengan penggabungan rezim riset dan teknologi (ristek). Segera terbayang keluasan rentang kendali dan kerumitan tata kelola.
Pertama, kebijakan politik Presiden tak memberikan pijakan kuat bagi prioritas pembangunan di bidang riset dan inovasi. Bambang Brodjonegoro diangkat jadi Menristek sekaligus Kepala BRIN di awal pemerintahan Jokowi periode kedua.
Selama 1,5 tahun ia persiapkan segala bentuk kajian dan desain tata kelola kelembagaan, dengan mencari keseimbangan antara visi baru dan pertimbangan realistis mengingat kondisi kelembagaan riset yang ada, setelah menerima masukan berbagai pihak.
Tinggal menunggu dukungan politik Presiden untuk mendapatkan legitimasi, responsnya malah pembubaran. Entah berapa banyak sumber daya pikiran, tenaga, waktu, dan material terbuang sia-sia. Yang lebih mengkhawatirkan, setelah BRIN berdiri sebagai lembaga tersendiri yang terpisah dari ristek, desain kelembagaan baru dengan tendensi padat politisasi tidak memberi landasan yang sehat bagi pemajuan dunia riset, bahkan bisa membuatnya kian kusut.
Saat rezim kebijakan ristek diintegrasikan ke dalam kelembagaan Kemendikbud-Dikti, suara publik meragukan kemampuan tata kelola bagi suatu kementerian dalam cakupan rentang kendali yang sebegitu luas. Penggabungan ini juga bisa mengarah pada politik kebijakan riset yang reduksionistik.
Segera setelah dilantik kembali sebagai menteri, Nadiem memberikan pernyataan pada media. Bahwa urusan riset dan teknologi sesuatu hal yang dekat dengan hatinya, dan mendaku sebagai sesuatu yang ia tekuni sebelum menjadi menteri.
Ia juga menyatakan, penggabungan itu akan mendorong pengembangan riset di berbagai perguruan tinggi. Di sini, publik bisa segera mencium aroma reduksionistik itu. Pertama, yang ia klaim sebagai sesuatu yang ia tekuni itu sejauh bisa diobservasi lebih terbatas pada bidang pengembangan teknologi digital, seperti diterapkan di platform Gojek.
Padahal, dimensi dan cakupan teknologi begitu luas, mulai dari teknologi bahan, proses, produk, dan pemasaran; mulai dari bidang pertanian hingga angkasa luar. Lingkup riset juga luas, mulai riset dasar, pengembangan dan penerapan. Dengan demikian mestinya sudah jelas, di lembaga apa sebaiknya titik tekannya pada riset dasar, pada lembaga mana titik tekan lebih tepat melakukan riset pengembangan dan penerapan.
Pengertian teknologi juga begitu luas, lebih dari sekadar alat (tools). Seperti dikatakan Johan Galtung, naif memandang teknologi sebatas persoalan hardware, keterampilan, dan software.
Komponen ini memang penting, tetapi hanya sekadar tampilan permukaan, seperti penampakan puncak gunung es. Teknologi juga menyangkut struktur terkait, bahkan struktur terdalam, kerangka mental, kosmologi sosial, yang berperan sebagai ladang subur di mana benih-benih pengetahuan tertentu bisa tertanam, tumbuh dan membangkitkan pengetahuan baru.
Dan agar suatu alat bisa dioperasikan secara baik, struktur perilaku tertentu dibutuhkan. Alat-alat tidaklah beroperasi di ruang vakum; mereka man-made dan man-used yang perlu pengelolaan sosial tertentu agar bisa dioperasikan.
Edward Wenk Jr menambahkan teknologi merupakan sistem sosial yang didorong spesialisasi pengetahuan dan melibatkan seluruh institusi sosial berikut jalinan komunikasinya. “Sebagai proses sosial, teknologi berhubungan dengan masyarakat, nilai, pilihan politik dan keterkaitan di antara ketiga unsur tersebut.“
Kedua, kelembagaan ristek sebagai rezim kebijakan riset dan inovasi tak sepatutnya hanya memusatkan perhatian pada aktivitas riset di perguruan tinggi. Juga tak cukup hanya memerhatian kebijakan riset bagi lembaga-lembaga riset negara. Rezim ristek dituntut mengambil kebijakan yang bisa menumbuhkan riset dalam lingkungan pasar dan komunitas.
Hambatan utama pemacuan riset dan inovasi di Indonesia karena terlalu memusat dan bergantung inisiatif serta dorongan negara. Kurang ada terobosan untuk memasyarakatkan hasil riset atau menggairahkan kegiatan riset di jantung pasar dan komunitas.
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan aktivitas riset di negeri ini mewarisi tradisi para apostel pencerahan Eropa yang bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial. Di bawah tradisi seperti itu, ilmuwan/peneliti profesional memperoleh legitimasi melalui negara. Pemerintah yang menentukan dan mengendalikan aktivitas riset. Pemerintah pula yang menjadi konsumen utama dari hasil penelitian.
Akibatnya, berapa pun anggaran riset, badan apapun yang mengoordinasikan lembaga-lembaga riset, dan dari mana rektor didatangkan, tak akan efektif mendorong aktivitas inovasi-teknologi dalam kerangka kemakmuran bangsa.
Bagaimana pun juga, riset inovatif itu harus sampai ke jantung pasar dan komunitas. Tak cukup mengandalkan dorongan negara (push factor), tetapi juga harus mengikuti kebutuhan dan tarikan (pull factor) dari pasar dan komunitas.
Oleh karena itu, selain harus mendekatkan hubungan antara lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar, juga harus menjadikan aktivitas riset dan inovasi sebagai bagian organik dari dunia usaha. Untuk itu, rezim politik kebijakan iptek harus bisa meluaskan imajinasinya.
Momentum Hari Pendidikan
Memperingati Hari Pendidikan mestinya kita bisa menggali api semangat Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan, dengan segala perubahan yang terjadi, hakikat pendidikan tidaklah berubah. Ia mendefinisikan pendidikan sebagai “proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan (mikro-kosmos dan makro-kosmos) sepanjang hayat.”
Dengan demikian, pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan berkebudayaan, yang mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan dan tekad-kemauan manusia yang mendorong kekuatan yang bisa melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar dan indah.
Pendidikan juga diharapkan jadi wahana pemupukan basis kapabilitas (tacit knowledge dan explisit knowledge) bagi transformasi peradaban bangsa. Bagi Ki Hadjar, pendidikan itu wahana pembangunan bangsa demi meraih kehidupan yang setara, sejahtera, maju (bermartabat), bersatu, berkepribadian, dan terlibat dalam pergaulan (perdamaian) dunia dengan merdeka lahir-batin. []
KOMPAS, 3 Mei 2021
Yudi Latif Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar