Patuhi Prokes untuk Hindari Gelombang Kedua Pandemi
Oleh: Bambang Soesatyo
Ketika durasi pandemi COVID-19 kian sulit diprediksi, kepatuhan publik pada protokol kesehatan (Prokes) tetap saja memprihatinkan. Kini, semua pihak yang peduli mulai was-was, karena ada potensi terjadinya lonjakan kasus baru akibat mobilitas masyarakat melanggar ketentuan larangan mudik.
Kecemasan itu wajar. Apalagi, seperti telah dikemukakan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, telah muncul klaster baru dari kegiatan masyarakat di perkantoran, kegiatan buka puasa bersama (Bukber), tarawih, dan pergerakan mudik. Akibatnya, jelang akhir April 2021, terjadi pula kencenderungan melonjaknya jumlah kasus baru. Laporan dari sejumlah kota/kabupaten di Pulau Jawa telah mengonfirmasi kecenderungan ini.
Semua tentu berharap pengalaman buruk seperti yang terjadi di India tidak terjadi di dalam negeri. Namun, perkembangan pandemi COVID-19 pasca periode libur Idul Fitri 2021 memang patut diwaspadai. Indikatornya sudah terlihat dari beberapa temuan. Misalnya, survei oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terkait mudik 2021 yang menunjukkan bahwa 7 persen dari total jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 18 juta orang tetap ingin mudik.
Jumlahnya memang jauh lebih rendah dibanding jika tidak ada larangan. Jika mudik tidak dilarang, sekitar 33 persen penduduk akan melakukan perjalanan pulang kampung. Namun, tetap saja jumlah pemudik yang 18 juta orang di tengah pandemi sekarang ini jelas bukan jumlah yang sedikit.
Kalau temuan Kemenhub itu dikaitkan dengan hasil survei Kemenkes, kecemasan banyak orang menjadi sangat beralasan. Survei Kemenkes yang dipublikasikan Selasa (4/5) menyebutkan bahwa ada 55 daerah yang menjadi tujuan mudik atau 15,32 persen dari total 359 Kabupaten/Kota. Ada potensi masalah karena pada 55 daerah itu tingkat kepatuhan masyarakat pada prokes, khususnya memakai masker, kurang dari 60 persen.
Tingkat kepatuhan memakai masker 61-75 persen terdapat di 58 daerah atau 16,16 persen dari total Kabupaten/Kota. Sedangkan 125 daerah lainnya memiliki kepatuhan memakai masker 76-90 persen. Tingkat kepatuhan menjaga jarak dan menghindari kerumunan juga rendah pada 50 kabupaten/kota, kurang dari 60 persen.
Padahal, ketidakpatuhan publik pada prokes, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menjadi salah satu faktor pemicu gelombang kedua COVID-19 di India. Dua faktor lainnya adalah tingkat vaksinasi yang rendah dan penyebaran virus baru varian B1617 yang lebih menular dan ganas.
Situs worldometers.info mengungkap gambaran mengerikan di India akibat rendahnya kepatuhan publik pada prokes. Awal April 2021, jumlah pasien yang positif terpapar virus Corona baru 12,3 juta jiwa.
Tiga pekan kemudian, menurut data Minggu 25 April 2021, jumlah pasien sudah mencapai 16,9 juta jiwa. Lonjakan jumlah pasien yang nyaris mencapai lima juta kasus itu jelas mengerikan. Pada 5 Mei 2021, India tetap menempati posisi kedua terparah di dunia setelah Amerika, dengan 20.658.234 kasus dan 226.169 orang meninggal dunia.
Jauh sebelum WHO mengeluarkan peringatan, pemerintah sebenarnya telah mengantisipasi. Sejumlah kebijakan untuk menekan laju penularan COVID-19 di dalam negeri diterbitkan dan diberlakukan. Antara lain melalui Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu, diatur juga kebijakan bekerja dari rumah, sekolah di rumah, pembatasan kegiatan keagamaan, hingga pembatasan kegiatan lain di ruang publik.
Tapi, kembali lagi, kepatuhan publik pada prokes masih memprihatinkan. Padahal kepatuhan pada Prokes menjadi ujian penentu lolos tidaknya Indonesia dari gelombang kedua pandemi COVID-19. Faktanya, di bulan Ramadan sekalipun, sebagian masyarakat tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berdesak-desakan di pusat belanja.
Pemandangan seperti itu, misalnya, tampak nyata ketika terjadi ledakan pengunjung di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, belum lama ini. Padahal, jauh hari sebelumnya, masyarakat sudah diingatkan dan didorong untuk belajar dari pengalaman India. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya lonjakan jumlah kasus COVID-19 di India adalah kerumunan massa saat melakukan ritual keagamaan di Sungai Gangga.
Untuk menekan penularan COVID-19, pemerintah menetapkan larangan mudik Lebaran 2021, yang dituangkan melalui Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021. Namun, kepatuhan publik terhadap larangan mudik itu lagi-lagi sangat rendah. Alih-alih taat aturan, banyak pemudik yang justru bersiasat agar tetap bisa pulang ke kampung halaman.
Polri pun telah menerjunkan ribuan anggotanya pada 381 titik penyekatan, terbanyak di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tapi, tingkat kepatuhan publik masih memprihatinkan. Langkah penyekatan bahkan tidak menurunkan volume kendaraan pemudik. Penyekatan justru menimbulkan kemacetan yang mengular hingga delapan kilometer jelang Gerbang Tol Cikarang Barat menuju Cikampek di hari pertama pemberlakuan larangan.
Ketika gelombang perjalanan dari 18 juta pemudik tidak terbendung, benteng terakhir untuk mencegah terjadinya klaster mudik pada akhirnya ada di pemerintah daerah yang wilayahnya menjadi tujuan para pemudik. Jauh hari sebelumnya, Presiden Joko Widodo sudah mengajak para pemimpin daerah menerapkan serangkaian langkah luar biasa dan mendesak untuk mencegah pemudik.
Maka, setiap pemerintah daerah diminta menyimak dan menyikapi data kepatuhan publik pada prokes berdasarkan informasi dari Kemenkes itu. Apalagi, realisasi vaksinasi masih jauh dari target. Ketika tingkat kepatuhan publik terhadap prokes terbilang rendah dan vaksinasi COVID-19 masih jauh dari target, ini kode keras bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Kedua faktor itu berpotensi menjadi pemicu lonjakan kasus baru COVID-19.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah. Mohon Maaf Lahir Batin. []
DETIK, 10 Mei 2021
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI/ Wakil Ketua Umum Partai Golkar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar