Berpuasa adalah melatih diri untuk menjaga jarak dengan kebutuhan kita. Misalnya, sebagai manusia kita sangat membutuhkan makanan dan minuman, tapi selama Ramadhan kita diminta untuk mengambil jarak sekian waktu dari kebutuhan kita tersebut. Artinya, ada kesabaran yang harus kita hidupkan di diri kita, dan berpuasa, jika direnungkan dengan jernih, dapat meningkatkan kesabaran kita.
Dalam kitab Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Sayyid Abdul Aziz al-Darani mengutip ayat Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 153):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Dengan ayat tersebut, Sayyid Abdul Aziz al-Darani hendak mengajarkan manusia untuk meminta pertolongan kepada Allah agar dimudahkan dalam mendapatkan keberuntungan akhirat dan selamat dari kesusahannya.
Permintaan pertolongan (isti’ânah), menurut Sayyid Abdul Aziz al-Darani, harus bersandar pada kesabaran dan pengendalian diri. Ia mengatakan: “bish shabri ‘alâ mâ tukrihûn wa habs nufûsikum ‘ammâ tasytahûn” (dengan bersabar atas sesuatu yang kalian tidak sukai dan menahan diri kalian dari sesuatu yang kalian syahwati/hasrati) (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 150)
Dengan puasa manusia dilatih untuk mampu melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Jika kita bicara tentang puasa, menahan lapar dan haus dari mulai fajar menyingsing hingga matahari tenggelam, tentu berat. Tetapi keimanan kita kepada Allah membuat kita rela melakukannya, dan tanpa sadar kesabaran telah hadir dalam diri kita.
Begitupun sebaliknya, dengan puasa manusia dididik untuk mampu bersabar ketika apa yang dikehendaki dan diinginkannya tidak terwujud. Ketika lapar meremas perut; ketika haus mengganggu kerongkongan, dan ketika nafsu membangkitkan gairah, kita disuruh bertahan. Menghindar dari segala keinginan dan hasrat. Dan lagi, kesabaran, tanpa kita sadari telah hadir dalam diri kita.
Artinya, puasa dapat meningkatkan kesabaran kita, dan menyadarkan kita akan potensi sabar yang kita miliki. Bahkan, menurut Imam Mujahid, kata “ash-shabr” dalam surah al-Baqarah: 153 adalah puasa. Ia mengatakan, “ash-shabru hunâsh shaum” (sabar di sini adalah puasa). Sayyid Abdul Aziz al-Darani menulis dalam kitabnya:
وقال مجاهد: الصبر هنا الصوم. فمعناه استعينوا بالصوم والصلاة علي نيل ما ترجون ودفع ما تخافون
“Imam Mujahid berkata: ‘ash-shabr’ di sini adalah puasa. Maka maknanya adalah, ‘minta pertolonganlah kalian dengan puasa dan shalat agar kalian dapat memperoleh apa yang kalian harapkan dan terhindar dari apa yang kalian takuti.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 150)
Di satu sisi kita harus bersabar melakukan sesuatu yang tidak kita senangi dan menahan diri dari sesuatu yang kita hasrati. Di sisi lain, puasa dapat mengantarkan diri kita untuk mendapatkan apa yang kita harapkan dan menghindarkan dari apa yang kita takuti.
Dua hal tersebut seakan bertentangan, padahal tidak. Keduanya adalah proses yang saling melengkapi. Penjelasannya begini, tahap awal adalah perilaku aktif kita, yaitu kita berjuang dan berusaha melatih diri kita untuk bersabar dan menahan diri. Kemudian, ketika kita sedang berproses dan mengamalkannya secara sungguh-sungguh, kita akan mendapatkan hasil yang sebenarnya kita harapkan dalam pelatihan kita. Sebab, tidak ada pelatihan atau pendidikan yang tidak menuju kepada sesuatu. Misalnya dalam belajar. Tujuan kita belajar adalah untuk menambah pengetahuan dan menjauh dari kebodohan.
Meminta pertolongan atau “isti’ânah” merupakan bentuk deklarasi kemakhlukan kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Bahwa kita adalah hamba yang tidak mungkin mampu bergerak, bernapas, berkedip, berjalan, berdiri, dan “ber-ber” lainnya tanpa izin-Nya. Kita sangat lemah, hingga membutuhkan pertolongan-Nya, baik ketika memenuhi kebutuhan sehari-hari kita, maupun ketika berjuang agar tetap berada di jalan-Nya. Kita tidak mungkin bisa melakukannya sendirian, dengan sok percaya diri bahwa kita mampu menjadi baik tanpa bantuan-Nya. Sekali kita merasa mampu, kita sudah sangat dekat dengan jurang kelalaian.
Jangan sampai kita termasuk dalam orang yang dipanggil Sayyid Abdul Aziz al-Darani dengan sebutan, “yâ râqidan fî ghaflah” (wahai orang yang tidur dalam kelalaian), “yâ qâ’idan ‘ammâ umir” (wahai orang yang duduk [malas-malasan] dari [melakukan] sesuatu yang diperintahkan) (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 151).
Jika kita merasakan panggilan tersebut, artinya hati kita masih hidup dan terbuka untuk memperbaiki kesalahan dan kelalaian kita. Namun, jika kita tidak merasakan apa pun, artinya hati kita telah terkunci dan perlu dibuka dengan usaha keras, salah satunya dengan meminta pertolongan (isti’anah). Semua orang pasti pernah lalai, dan pernah merasa malas untuk melakukan apa yang diperintahkan, sebaik apa pun orang tersebut. Karena itu, kita butuh memohon pertolongan, meski di hati kita, kita tidak merasakan ada yang salah sama sekali (tidak menyadari), sehingga perlahan-lahan kita menjadi lebih sadar akan kesalahan dan kelalaian yang menetap di hati kita. Karena isti’anah sendiri adalah pernyataan kehambaan seorang hamba.
Di samping itu, “isti’anah” dapat menjadi penjaga untuk kelalaian kita yang akan datang, dan Ramadhan adalah momen yang tepat untuk memulai semuanya dari awal, bahkan bagi orang yang telah melakukan pelatihan dan penjagaan diri bertahun-tahun lamanya (istiqamah beramal). Karena lalai pasti mendatangi semua manusia selama ia hidup, dan sabar selalu dibutuhkan manusia sampai ia mati. Semoga kita diberi kesabaran dalam meminta pertolongan dan beramal.
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar