Menghafal Al-Qur’an merupakan salah satu ibadah yang sangat mulia, bahkan orang yang mampu menghafal hingga sempurna 30 juz, 114 surat, ia termasuk orang-orang pilihan, yang sangat istimewa. Sebab tidak semua orang diberikan anugerah mampu hafal Al-Qur’an secara sempurna.
Pada masa Nabi, tidak semua sahabat memiliki hafalan yang sempurna tiga puluh juz. Ada sebagian mereka yang sekadar hafal surat-surat tertentu dan ada yang hafal sebagian saja, sebab mereka tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk menghafal. Hanya sahabat-sahabat tertentu yang memiliki hafalan yang lengkap seluruh Al-Qur’an seperti Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Sayyidina Ali, Sayyidina Ustman, Zaid bin Tsabit, dan lain-lainnya.
Untuk itu, dalam suatu kesempatan Nabi memberi motivasi kepada mereka untuk senantiasa memperbanyak membaca Al-Qur’an dan memperdalam isi kandungannya. Di samping itu, Nabi juga memberi peringatan kepada mereka agar tidak melalaikan hafalannya. Sebab hafalan adalah amanat yang harus dijaga dan dipelihara. Jika hafalan itu dijaga dengan baik, maka ia akan mendapatkan predikat sebagai orang pilihan dan istimewa. Namun jika hafalan itu tidak dijaga dengan baik bahkan dilalaikan, maka hafalan itu akan hilang dari memori ingatannya dan mendapatkan ancaman yang sangat pedih.
Untuk itu, seseorang yang memiliki hafalan Al-Qur’an dituntut untuk selalu menjaga hafalannya dengan meluangkan waktu muraja’ah (mengulang hafalan) dan konsisten (dalam muraja’ah). Konsistensi dalam mengulang hafalan adalah sebuah keharusan bagi para penghafal Al-Qur’an.
Dalam sebuah hadits, Nabi menyamakan orang yang punya hafalan Al-Qur’an seperti pemilik unta. Jika unta itu dijaga dan dipelihara dengan baik, maka ia akan jinak dan patuh. Tapi jika ia dibiarkan dan telantarkan, maka ia akan pergi menghilang.
«إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ القُرْآنِ، كَمَثَلِ صَاحِبِ الإِبِلِ المُعَقَّلَةِ، إِنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا، وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ»
“Sesungguhnya perumpamaan penghafal Al-Qur’an, seperti pemilik unta yang diikat. Jika ia dijaga dan dipelihara, maka ia akan diam dan jinak, dan jika ia dibiarkan terlantar, maka dia akan pergi lepas dari ikatannya” (Imam Bukhari, Shahih Bukhari [Beirut: Dar Thauq al-Najah], tt, juz VI, hal 193. hadits nomor 5031).
Untuk itu, Nabi menganjurkan kepada penghafal Al-Qur’an agar selalu menjaga dan memelihara hafalanya, sebab hafalan itu lebih cepat hilangnya daripada unta yang diikat. Nabi bersabda:
تَعَاهَدُوا القُرْآنَ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنَ الإِبِلِ فِي عُقُلِهَا
“Jagalah (hafalan) Al-Qur’an itu, maka demi Dzat, jiwaku di kekuasaaNya, sungguh ia (Al-Qur’an) lebih cepat lepasnya daripada unta dari ikatannya”.(Imam Bukhari, Shahih Bukhari [Beirut: Dar Thauq al-Najah], tt, juz VI, hal 193. hadits nomor 5033).
Menjaga hafalan Al-Qur’an butuh meluangkan waktu agar hafalannya tetap terjaga dan melekat dalam jiwanya. Sebab menghafal Al-Qur’an bisa dilakukan di waktu luang sedangkan menjaganya butuh meluangkan waktu. Ibarat sebuah bangunan, bangunan yang sudah berdiri tegak butuh pemeliharaan dan penjagaan selama-lamanya agar bangunan itu tetap kokoh tidak roboh. Demikian pula hafalan Al-Qur’an, ia butuh waktu seumur hidup untuk menjaganya agar hafalan itu tidak lupa dari memori ingatannya. Sebab melalaikan hafalan sama halnya melalaikan amanah yang dianugerahkan kepadanya.
Oleh sebab itu, Nabi memberi peringatan kepada seorang yang melupakan hafalan yang dianugerahkan kepadanya dengan hukuman yang sangat berat. Nabi bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى القَذَاةُ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنَ الْمَسْجِدِ، وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي، فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا
“Ditunjukkan kepada saya seluruh pahala umatku bahkan sampai sekecil kotoran (debu) yang dikeluarkan oleh seseorang dari masjid, dan ditunjukkan kepada saya dosa-dosa umatku, saya tidak melihat sebuah dosa yang lebih besar dibandingkan surat atau ayat yang diberikan kepada seseorang kemudian ia melupakannya” (Imam Turmudzi, Sunan Turmudzi [Beirut: Dar al-Gharbiy al-Islami], 1998, juz V, hal 28, hadits no 2916).
Dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa orang yang melupakan hafalannya kelak di hari kiamat akan menemui Tuhannya dalam keadaan “judzam”.
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ ثُمَّ نَسِيَهُ لَقِيَ اللَّهَ وَهُوَ أَجْذَمُ
“Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an kemudian ia melupakannya, kelak (di hari kiamat) bertemu dengan Allah dalam keadaan judzam” (Imam Turmudzi, Sunan Turmudzi [Beirut: Dar al-Gharbiy al-Islami], 1998, juz V, hal 28, hadits no 2916).
Dalam riwayat lain imam al-Darimi meriwayatkan yang hampir sama esensinya dengan yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzi bahwa orang yang belajar Al-Qur’an kemudian melupakannya, maka kelak ia akan menemui Tuhannya dalam keadaan judzam.
مَا مِنْ رَجُلٍ يَتَعَلَّمُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَنْسَاهُ، إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ أَجْذَمُ
“Tidaklah seorang belajar Al-Qur’an kemudian melupakannya kecuali ia kelak di hari kiamat bertemu dengan Allah dalam keadaan judzam” (Imam al-Darimi, Sunan al-Darimi [Mekkah: Dar al-Mughni li al-Nasyr wa al-Tauzi’], 2000, juz IV, hal 2104, hadits nomor 3383).
Imam al-Qurthubi menegaskan bahwa orang yang hafal Al-Qur’an (secara sempurna) atau sebagiannya, maka ia mendapatkan pangkat yang tinggi dibandingkan orang yang tidak hafal Al-Qur’an. Jika pangkat ini terkotori (oleh perilakunya) hingga menjadi jauh darinya, maka sepantasnya ia mendapatkan hukuman atas itu. Sebab melalaikan apa yang sudah dianugerahkan itu sama saja kembali ketidakhafalan dan tidak hafal setelah hafal itu lebih parah (hukumannya) (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari fi Syarh Sahih al-Bukhari [Beirut: Dar al-Makrifat], 1379, juz IX, hal 86).
Dari pemaparan di atas, dapat diuraikan bahwa melalaikan hafalan Al-Qur’an akan mendapatkan ancaman. Namun demikian, apa esensi dari “nisyan” melalaikan?. Apakah melupakan hafalan termasuk kategori dosa besar?.
Dalam hal ini ulama mengklasifikasi tentang esensi melalaikan hafalan. Menurut sebagian ulama, jika lupa itu disebabkan oleh faktor kesibukan yang bersifat keagamaan seperti berjihad, mencari ilmu dan lain-lainnya, maka hal itu tidak masalah. Artinya tidak termasuk orang yang melalaikan dan tidak tercatat sebagai pendosa. Namun jika lupa itu disebabkan oleh faktor keduniaan, apalagi perbuatan yang dilarang, maka hal tersebut dianggap berdosa dan termasuk melakukan dosa besar (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari fi Syarh Sahih al-Bukhari [Beirut: Dar al-Makrifat], 1379, juz IX, hal 85).
Dari kalangan al-Syafi’iyah, seperti Abu al-Makarim dan al-Ruyani mengatakan bahwa berpaling dari membaca Al-Qur’an menjadi sebab hilangnya hafalan dan melupakan hafalan menunjukkan tidak adanya perhatian terhadap Al-Qur’an dan meremehkan perintahnya (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari fi Syarh Sahih al-Bukhari [Beirut: Dar al-Makrifat], 1379, juz IX, hal 86).
Oleh karena demikian, jika para hamil (penghafal) Al-Qur’an itu berprofesi sebagai agamawan, pendakwah, peneliti, pengajar dan lain-lain, sehingga tidak memungkinkan untuk mengulang hafalannya secara konsisten, namun tetap mengulang hafalannya dengan semampunya, maka dalam hal ini ia tidak masuk dalam ancaman hadits di atas. Namun jika para hamil Al-Qur’an itu berprofesi yang tidak ada sangkut pautnya dengan keagamaan, sehingga ia melalaikan hafalannya dan tidak ada usaha untuk mengulang hafalannya dengan kadar kemampuannya, maka ia masuk dalam ancaman hadits di atas.
Sementara itu, sebagian ulama yang lain menjelaskan bahwa yang dimaksud “melupakan” itu adalah melalaikan isi kandungan Al-Qur’an setelah mengetahuinya. Artinya, jika seseorang telah mengetahui isi kandungan Al-Qur’an; perintah dan larangannya, kemudian ia melalaikannya dan meremehkannya, maka orang tersebut masuk dalam kategori ancaman hadits di atas, ia telah melakukan dosa besar. Dalam hal ini yang menjadi persoalan adalah meremehkan ajaran Al-Qur’an.
Namun menurut penulis syarah kitab “Al-Mahabih” sebagaimana dikutif oleh Imam al-Syaukani dalam karyanya “Nailul Authar” bahwa yang dimaksud dosa dalam hadits itu adalah bagian dari dosa kecil, karena melupakan hafalan Al-Qur’an bukan termasuk dosa besar selama tidak meremehkan dan mengurangi ketakziman terhadap Al-Qur’an. Sebab ancaman yang disampaikan oleh Nabi kepada para penghafal Al-Qur’an sebagai motivasi untuk menjaga hafalan (Imam al-Syaukani, Nailul Authar [Mesir: Dar al-Hadits], 1993, juz II, hal 178). []
Ustadz Moh. Fathurrozi, Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar