Jika Agama Kehilangan Fungsi Kritis
Oleh: Nasaruddin Umar
Salah satu fungsi agama ialah untuk menjadi petunjuk di dalam kehidupan bermasyarakat. Konsekuensinya agama juga harus mampu memerankan fungsi kritisnya kepada seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari lapisan atas sampai pada lapisan bawah.
Agama juga harus mampu memotivasi seluruh pemeluknya untuk memihak kepada kebenaran, kebaikan, keindahan, dan hal-hal yang positif. Jika agama gagal memerankan fungsi kritisnya, akibatnya dunia kemanusiaan akan mengalami degradasi.
Fungsi kritis agama tentu saja diwakili oleh pemuka atau pemimpinnya. Jika peran kritis agama diharapkan, tokoh atau pemimpin agama masing-masing agama diperlukan kemandirian. Jika pemimpin agama berada di bawah subordinasi kekuasaan penguasa, sulit diharapkan agama akan menampilkan fungsi kritisnya.
Jika fungsi kritis agama hendak diefektifkan, tidak ada cara lain kecuali tokoh agama dan pemimpinnya harus independen. Semakin independen tokoh dan pemuka agama semakin besar daya kritis agama itu. Sebaliknya semakin dependen tokoh dan pemuka agama kepada pemerintah semakin lemah pula daya kritis agama itu di dalam masyarakat.
Jika agama yang kehilangan daya kritis kemudian menjadi stempel pembenaran seluruh kebijakan negara dan penguasa, bisa terjadi kecelakaan sejarah yang sangat merugikan dunia kemanusiaan.
Ada sejumlah pesan kritis agama yang berat untuk disampaikan kepada kelompok masyarakat tertentu karena kelompok itu telah banyak memberikan bantuan kepada ormas agama itu. Sulit mengharapkan fatwa haram dalam satu kasus jika itu menjadi kebijakan pemerintah. Bahkan, kasus yang sesungguhnya haram itu diupayakan menjadi halal karena permintaan penguasa.
Kesan seperti ini pernah terjadi pada masa lampau sehingga lokalisasi perjudian, perempuan pekerja seks, dan berbagai sumbangan berhadiah kontroversi lainya, terjadi pembiaran di dalam masyarakat. Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, jargon-jargon agama begitu kuat disuarakan untuk melegitimasi garis kebijakan mereka.
Ironisnya, para penentang mereka juga menggunakan jargon-jargon agama. Akhirnya masyarakat menyaksikan pertarungan ayat dan hadis serta jargon-jargon agama lainnya. Ini semua menurunkan kredibilitas agama sebagai kekuatan moral masyarakat dan bangsa. Pada masa-masa merebaknya pemilukada, agama sangat riskan untuk digunakan sebagai kekuatan politik praktis yang berjangka pendek.
Sudah saatnya agama tidak lagi dijadikan penyulut api peperangan dan konflik di dalam masyarakat. Sudah saatnya agama tidak hanya dijadikan "pemadam kebakaran" untuk menyelesaikan berbagai akibat, yang ketika penyebabnya dirumuskan, agama tidak pernah dilibatkan. []
REPUBLIKA, 27 April 2021
Prof KH Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar